[24] Sakit

867 40 0
                                    


SAKA melirik jam dipergelangan tangan ketika berada didalam lift yang membawanya ke lantai tujuh. Laki-laki itu masih bersikap tenang, jauh berbeda dengan jantungnya yang berdebar gusar.

Tak lama kemudian, pintu lift terbuka.

Laki-laki itu keluar itu dari lift dengan kedua tangan tenggelam dalam saku. Ia melewati lorong lantai tujuhnya sambil menggigit bibir bawahnya cemas. Apa yang akan ia lakukan jika sampai diappartemen nanti? Langsung memeluk Safa? Meminta maaf? Membuatkannya makanan? Atau berbegas tidur?

Cowok itu mendesah frustasi, kesal sendiri dengan dirinya yang bodoh dan gengsi? Mungkin, iya. Setengah dari kedinginan Saka adalah gengsi. Dan, Saka tidak sadar akan hal itu.

Saka sudah berdiri didepan kediamannya. Jarinya ragu akan menekan tombol password. Lalu, satu detik kemudian, ia menggeleng dengan hidung berkerut aneh.

Buat apa ia ragu untuk masuk kerumahnya sendiri?

Saka menyeringai pendek. Lalu bergegas menekan password hingga pintu dihadapannya tak terkunci. Saka lekas masuk, dan melepas sepatunya sebelum memasuki ruangan.

Ia bisa mendengar suara PS dari tempatnya berdiri, juga suara Niko yang mengumpat beberapakali.

“Udah balik, Sak?”

Sesampainya diruang tengah, ia langsung mendapat pertanyaan dari Niko yang sibuk dengan stick PS ditangan dan tayangan games ditv besar dihadapannya. Dipangkuan Niko, terdapat kepala gadis yang hidungnya memerah dan dahinya berkerut gelisah. Tubuhnya yang mengenakan hoodie besar dan celana panjang kembali dibungkus dengan selimut tebal. Dan itu sempat membuat Saka bertanya-tanya.

“Kenapa?” tanya Saka mengacuhkan pertanyaan Niko sebelumnya.

Niko menoleh setelah menekan tombol pause di stick ditangannya. “Apanya?”

“Safa.”

Niko ber-oh sebentar lalu kembali menghadap depan. “Demam, pulang sekolah keujanan. Jadi langsung sakit. Mungkin gara-gara sakit perut tadi siang jadi tambah parah sekarang. Mau gue bawa ke dokter ujan. Gue nggak tega kalo ngebawa dia keluar. Ntar kedinginan. Besok aja gue bawa ke dokter.”

Saka mengangguk, lalu melangkah maju dengan satu tangan masuk dalam saku celana. Kakinya berhenti ketika ia sampai dibelakang sofa yang diduduki Niko. Tubuhnya membungkuk, menyentuh dahi Safa yang panas dan terdapat titik-titik keringat.

“Kenapa diluar?”

“Safa kalo demam gak bisa tidur sendiri. Daritadi panggil-panggil nyokap gue. Gue kalo nungguin dikamar malah ngantuk. Jadi disini, dia nurut aja daripada sendiri katanya.” jawab Niko panjang lebar.

Saka mengangguk mengerti, ia melangkah mengitari sofa dan berjongkok dengan satu kaki sebagai tumpuan dihadapan Safa.

“Dingin, Ko.” kata Saka.

Niko melirik. “Ye gimana lagi, Sak. Gue juga nggak tega sama nih bocah. Lagian balita banget, balik sekolah malah ujan-ujanan.”

Saka mendesah pendek, ia menatap Safa yang makin gelisah itu lamat-lamat lalu memperhatikan sekitar. Merasa bahwa udara AC masih terasa, Saka meraih remote AC berniat mematikannya.

“Mau ngapain lo?”

“Matiin AC.”

“Jangan, elah,” ujar Niko protes, ia meletakan stick nya asal lalu menyerobot remote AC dari tangan Saka, tidak memperdulikan games nya yang belum selesai. “Gerah kali, makanya gue koloran aja nih.”

Saka dan SafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang