[25] Lebih nyaman

766 41 0
                                    


“JADI mie dikamar gue lo buang semua? Kok tega sih, Sa. Gue kan beli pake uang saku gue semua. Lo nggak tau gimana rasanya saat lo dipaksa ngejauh dari hal yang lo suka. Berat, Sa. Apalagi setiap hari gue pengen.”

Dengan wajah berlimpat menahan gondok, Saka mengupas apel dihadapan Safa yang masih terduduk dengan kaki berselonjor diatas sofa. Saka memilih tinggal karena ancaman Safa sebelumnya. Dan ini sudah pukul 9 pagi. Yang artinya jam istirahat sudah berbunyi disekolah.

Saka mendengus kecil, ia tidak menyahuti omelan Safa sebelumnya. Laki-laki itu berdiri, meletakan piring apel itu diatas bantal sofa yang berada diatas paha Safa.

“Gue mau pergi.” kata Saka meraih tasnya.

Safa merengut. “Kemana?”

“Sekolah.”

“Yaelah, Sa, udah jam segini.” ujar Safa memasukan potongan apel kedalam mulut.

Saka menghela napas, ia tidak perlu memperjelas bahwa murid seperti Saka pasti tahu jalan pintas jika terlambat. Jadi laki-laki itu hanya diam sambil berdiri dihadapan Safa.

“Nanti deh ya, sekalian jam makan siang. Masa gue mau minum obat tanpa makan apa-apa? Ntar gue mati.”

“Malahan,” gumam Saka melengos malas.

“Apa lo bilang?” tanya Safa yang tidak begitu mendengar apa yang Saka ucapkan.

Saka menoleh.

“Nggak,” jawabnya kembali meletakan tas dibahu ke sofa yang lain.

“Lo pengen makan apa?” tanya Saka pelan.

Bola mata Safa tertuju keatas, tengah berfikir. “Mmmm... mie.”

Saka langsung menjitak Safa. Safa meringis. “Aish, kejam banget sih jitaknya nggak mikir. Gue bukan cowok ya! Gue yakin nih lo jitak gue pake kekuatan yang sama kalo lo jitak Niko.”

“Nggak.” sahut Saka tersenyum geli.

“Oh ya?” Safa berbinar antusias.

“Ini lebih tinggi.”

“Sialan,” dengus gadis itu pelan, “pasti kalo lo disuruh milih gue apa Niko. Lo pasti pilih Niko.”

“Itu tau.” sahut Saka membawa langkah pergi.

Menuju dapur.

Safa yang berada disofa pun langsung menelongok kebelakang, lalu kemudian berangsut turun dari sofa berniat menghampiri laki-laki berseragam didapur itu.

“Pake sandal.”

Safa yang sudah melangkah pun memutar arah jalannya kembali kedekat sofa, ia mengenakan sandal jepitnya dan berlari kecil menuju dapur.

“Nggak usah lari-lari.” Saka kembali melarang, matanya sedikit melotot dan nada suaranya meninggi.

Bibir bawah Safa maju sedikit, langkahnya pun memelan hingga ia sampai di pantry. “Hobi banget bentak gue.”

“Ya lo susah!” sahut Saka masih tidak santai.

“Susah apaan sih? Emang gue ngerepotin lo banget, ya? Gue nggak minta temenin ambil minum kalo malem kok. Gue juga nggak minta lo cuciin baju gue!” sentak Safa tak terima.

Saka menghela napas sabar. Ini gangguan pertama jika berada disekitar Safa. Harus tahan mendengar segala sahutan rewel gadis itu padahal Saka hanya bilang sekata.

“Nyusahin.” ketus laki-laki itu berpaling dari potongan daun bawang kepada Safa didepannya.

Safa melengos malas, lalu menarik rambut Saka kebelakang ketika rambut gondrong itu hampir menutupi matanya.

Saka dan SafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang