Kian hari aku melupakan Rafi, bagaimana tidak! Aku harus membagi waktuku untuk belajar, tetapi ia selalu mengirimku pesan.
"Ting!", begitu bunyi notif hp-ku
Tak ku buka, tak ku baca. Aku masih sibuk dengan kertas kertas latihan soalku.
"Maaf Rafi, tidak sekarang. Ayolah!", batinku, aku harap dia dapat mengerti situasi ini.
Bukan maksudku melupakan dia, dan tidak peduli dengannya, tapi aku harus membagi waktuku antara melayaninya dan belajar.
Pukul 21.20, seharusnya orang-orang sudah tertidur. Tetapi aku baru saja beres belajar dan membuka notif. Ya betul saja beberapa pesan dari Rafi. Dia menyapaku terus menerus dan aku membalas pesannya, dan mencoba menjelaskannya dengan situasi ini. Aku harap dia paham denganku.
Besok adalah hari ulang tahunku, pukul 23.30 aku belum juga tidur. Aku masih di posisi duduk di kursi belajar, memegang kertas yang berserakan di meja belajar dan sesekali melihat lampu belajar ketika bosan.
Tumben sekali aku bergadang, padahal besok harus sekolah. Aku sengaja, agar orang-orang yang mengucap ultahku tepat di jam 00.00 akan balas langsung. Terutama ucapan dari Rafi. Aku harap Rafi tidak melupakan ulang tahunku.
Waktu menunjukan 00.15 belum juga yang mengucapkan.
Tiba-tiba...
"Ting!", suara dering hp-ku, aku harap dari Rafi.
Ternyata dari operator mengingatkan bahwa masa aktif nomorku sebentar lagi. -_-
Sepertinya malam itu aku sia-sia bergadang. Aku mematikan lampu meja belajarku dan memberaskan kertas kertas yang berserakan. Dan aku mulai berjalan ke tempat tidur. Tak lama kemudian,
"Ting!", bunyi hp-ku lagi.
"Ayolah operator, jangan malam-malam gini", celetusku.
Ketika aku buka, ternyata bukan dari operator. Tetapi ucapan ulang tahun dari sahabat sahabatku. Aku senang ada yang ingat, tapi senangnya belum seberapa sebelum Rafi mengucapkan ulang tahun kepadaku.
Di pagi hari aku terbangun, dan melihat jam dinding pukul menunjukan aku harus bangun dan bersekolah. Aku lalu meraih hp-ku, sedikit kecewa, belum saja ada notif dari dia.
Sore hari setelah aku pulang sekolah, aku mengecek notif hp-ku lagi. Belum ada juga notif dari dia, apa dia benar-benar lupa?. Aku tak mau terlalu memikirkannya. Lalu aku tidur, karena lelah.
Satu jam kemudian, ada yang mengunjungi rumahku. Aku terkejut. Yang mengunjungiku adalah Rafi, dia membawakan boneka beruang sangat besar sampai badan dia tak terlihat dan membawa bunga plastik. Dia sangat romantis. Siapa wanita yang tidak suka dengan ini? Aku makin suka!
Ketika aku mulai mengobrol dengan dia, aku masih terlihat bt.
"Kenapa sih? Kan aku udah ngasih surprise. Kamu ga suka?", tanya dia.
"Aku suka banget, tapi kamu kenapa ga bisa jadi orang yang pertama ngucapin?"
"Iya deh maaf banget, semalem aku ketiduran. Aku cape semalem nyari-nyari boneka sama bunga ini"
"Duh maaf banget aku malah jadi ngerepotin. Kamu semalem nyari sama siapa Raf?"
"Sama Amel", jawab dia.
Sedikit tercabik-cabik hatiku, tapi aku masih terlihat biasa saja. Lagi pula Rafi bukan siapa-siapa aku, itu hak dia. Lagi pula ini juga buat aku. Hehe.
...
Beberapa hari, beberapa minggu kemudian waktu tinggal mengitung hari untuk ujian nasional. Aku semakin tak merespon pesan dari Rafi. Aku sering tak mengecek notif hp-ku.
Suatu ketika, malam itu pukul 21.00 aku baru melihat notif. Pesan dari Rafi cukup banyak. Dia mengirim pesan lewat sms, whatsapp, dan line. Memang sih selama hari itu aku belum membalas pesan dari dia satupun.
Ketika aku lihat pesan terakhir dari dia,
"Gin, aku mau nonton dulu ya sama Amel. Jangan dulu bales pesan aku.", pukul 17.00.
Aku agak merasa kaget, lalu aku scroll pesan dia, dan dia awalnya memang mengajakku nonton. Tetapi karena aku tidak membalas pesannya, jadi dia mengajak Amel yang katanya sahabatnya itu. Sebetulnya aku patah hati, tetapi aku ingin terlihat biasa saja.
Aku balas pesannya.
"Ya Raf. Maaf aku baru buka hp"
Tetapi sudah setengah jam pesanku belum saja di balas. Aku berfikir dia sudah tidur karena kelelahan.
Apakah Rafi sudah merasa bosan denganku yang mengabaikannya?
-bersambung-
Vote& comment ya❤❤

KAMU SEDANG MEMBACA
Love or Future?
Romansa-SELESAI- Aku menyayanginya, tetapi aku tak bisa memilikinya. aku dilema antara memilih cinta atau tetap beristiqomah. ditambah aku dituntut untuk sukses oleh orangtuaku. aku berdiri di antara cinta atau masa depan. kemanakah aku akan pergi?