Eight

2.6K 524 150
                                    

“LO udah bangun?” Yeri menyapa, melihat Jungkook yang baru saja terbangun dari alam mimpinya. Lelaki itu mengerjap sejenak, lantas bangun, bersender di senderan kasur. “Jangan banyak gerak dulu. Lo kan masih sakit.”

“Udah nggak,” sahut Jungkook datar, memejamkan matanya untuk beberapa saat. Sejujurnya, memang kondisinya belum benar-benar pulih. Bahkan rasa pusing masih menjalar walau hanya sesekali. Yah, semoga saja ia segera pulih.

Yeri yang saat itu tengah membereskan kamar Jungkook yang sedikit berantakan, langsung menghentikan aktivitasnya. Kemudian gadis itu melangkah, menghampiri Jungkook yang masih memejamkan matanya. “Wajahnya masih pucet gitu,” ujarnya pelan. Tangannya terjulur ke arah dahi lelaki itu. Ia menghela napas panjang. “Jangan pernah main-main sama kesehatan. Lo belum sembuh, Jungkook. Badan lo masih panas.”

“Berarti semalem obat yang lo kasih nggak mempan,” gumamnya pelan, membuka mata perlahan.

“Biasanya gue kalau minum itu langsung sembuh,” tutur Yeri, tersenyum miring. “Lo mau ke dokter? Biar gue anterin.”

Jungkook segera menggeleng pelan, tersenyum sekilas. “Nggak usah.”

“Jungkook,” Yeri berdesah pelan, berharap Jungkook mau mengikuti sarannya. Namun lagi-lagi, lelaki itu hanya menggeleng, menolak halus tawarannya. Gadis itu menghela napas pasrah. “Kalau gitu, gue kompres lo aja, ya? Dan hari ini, lo nggak usah kuliah dulu.”

“Tap--”

“Nanti biar gue bilang ke Chaeyoung,” balas Yeri datar, kemudian beranjak dari tepi kasur.

Langkahnya terhenti mengambil sebuah baskom, handuk kecil, juga air hangat--yang memang biasa digunakan untuk mengompres. Setelah mengambil beberapa perlengkapan, ia kembali menghampiri lelaki itu, terduduk di tepi kasur, memandang Jungkook sebentar.

“Rasanya aneh kalau lihat lo sakit begini,” gumamnya pelan, seraya menempelkan handuk kecil di dahi lelaki itu. Sementara Jungkook hanya diam, memandang Yeri yang sibuk mengompresnya. “Lo sakit jadi diem gini, ya? Nggak bawel lagi.”

Jungkook tersenyum miring. “Kenapa? Lo kangen gue bacot lagi?”

“Kalau boleh jujur, iya.” Kali ini Yeri memilih untuk sedikit terbuka. Walau Jungkook memang baru dikenalnya beberapa hari belakangan ini, tapi entah kenapa ia merasa seperti sudah mengenal lelaki itu sejak lama. “Rasanya kalau lo nggak marah-marah itu sepi banget.”

“Berarti gue mending sakit terus ya,” gumam Jungkook pelan.

Yeri sontak membulatkan matanya, memukul lengan Jungkook pelan. “Apaan, sih. Ngaco deh lo kalau ngomong,” sungutnya pelan. “Di mana-mana orang tuh pengen sehat. Ini malah pengen sakit.”

“Iya, lah. Biar lo kangen gue terus tiap hari,” balas Jungkook asal, diiringi kekehan pelan. Sementara Yeri hanya mendengus pelan, membuang muka yang entah sejak kapan sudah merah merona. “Lo udah sarapan?”

Yeri menggeleng. “Tapi gue udah siapin sarapan buat lo. Ini, bubur yang baru aja gue buat tadi. Gue nggak begitu yakin sama rasanya. Tapi, semoga lo suka,” ujarnya, lalu menyodorkan semangkuk bubur panas ke arah Jungkook.

“Suapin.”

Alis Yeri lantas tertaut sebelah. Di detik selanjutnya, gadis itu melongos. “Manja banget,” dengusnya. “Makan sendiri.”

“Mager.”

Pasrah, akhirnya Yeri menyerah. Dengan sedikit ragu-ragu, ia mulai menyuapkan sesendok bubur ke arah Jungkook. Sesekali, ia membuang muka, enggan menatap wajah Jungkook yang juga tengah memandangnya sejak tadi. Terlebih lagi mendengar jantungnya yang mendadak berdegup tidak normal, membuat Yeri semakin ingin buru-buru menghilang dari hadapan Jungkook.

Singapore Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang