Tumpukan kertas dengan coretan di atasnya berserakan dimana-mana, memenuhi kamar tidur gadis itu. Sudah dua tahun berselang sejak Tara pergi, dan sejak itu pula Dian lebih sering menghabiskan waktu untuknya sendiri. Dia berhenti mengelola restoran ibunya, hanya sesekali dia berkunjung kesana. Waktunya lebih banyak dihabiskan dengan menulis dan travelling; sendirian tentunya. Dia juga menjadi pribadi yang lebih dekat dengan Tuhan, setiap hari dia sembahyang di sanggah (tempat suci yang ada di setiap rumah), melakukan yoga dan sesekali membaca buku-buku rohani. Dian lebih sering berada di depan komputer untuk mengetik naskah ceritanya atau sekedar mengeditnya ketimbang berada di dapur seperti dulu.
"Dian, ayo makan. Ini sudah malam dan sejak pagi aku tidak melihatmu meninggalkan komputermu barang semenit. Apa kau tidak lapar?" wanita yang di panggilnya ibu itu kini bertambah tua juga, tapi dia ibu yang baik, selalu berusaha mengertikan anaknya dan sesibuk apa pun Queen selalu menyempatkan diri sekedar untuk menanyakan keadaan Dian.
"Baiklah bu," ujarnya dengan tersenyum lalu menyusul ibunya ke bawah.
Malam ini seorang anak dan ibunya bercakap-cakap dengan hangatnya di meja makan, walau mereka hanya berdua tidak pernah sedikitpun mereka merasa kesepian. Malam ini ada banyak hal yang mereka bahas, mulai dari restoran yang jarang dikunjungi Dian, resep-resep baru yang diciptakan oleh para koki, buku-buku Dian yang sudah diterbitkan, termasuk termasuk peluncuran buku terbarunya di Yogjakarta.
"Kapan kau akan berangkat?"
"Tiga hari lagi sepertinya, semoga saja aku tidak ketinggalan pesawat karena kesiangan," ujar Dian dengan sedikit tertawa.
"Kau sudah berkemas?"
"Sudah beres buu, hanya tinggal beberapa foto untuk pameran saja."
"Baiklah, padahal baru saja aku akan membantumu."
Malam sudah semakin larut, mereka mengobrol terlalu banyak sepertinya. Wajar saja, sudah lama ibu dan anak itu tidak meluangkan waktu bersama seperti saat ini. Setelah selesai makan malam, gadis itu kembali ke kamarnya, merapikan naskah-naskahnya dan bersiap-siap tidur.
"Uh, aku bahkan tidar sadar bahwa kamar ku sehancur ini," ujarnya seraya memandang ke seluruh bagian tempat tidurnya. Sepertinya dia akan begadang malam ini untuk merapikan tempat yang kacau ini. Dian mulai merapikan tumpukan kertas itu, memasukannya ke dalam kotak. Tangannya terhenti ketika selembar foto jatuh; fotonya bersama Tara tengah tersenyum. Gadis itu terdiam, kenangan-kenangan masa lalu itu muncul lagi menyelinap masuk ke dalam kepalanya tanpa permisi, seperti ada sebuah film dokumentasi yang sedang diputar di dalam bioskop dengan alur mundur. Dulu Dian pernah mencari Tara, memintanya untuk kembali bersama, tapi walau mereka masih sangat ingin bersama, keadaan tidak mendukung. Dan mundur perlahan dan mengalah dari persaan masing-masing mungkin jalan yang tepat mereka pilih. Selama dua tahun belakangan ini Dian selalu berusaha membiasakan diri, berusaha menghilangkan perasaannya kepada Tara. Malam ini semuanya terbukti, bahwa dia tidak baik dalam hal melupakan, bahwa laki-laki itu masih ada di sudut hatinya, masih hangat dalam ingatannya. Ada sebuah novel yang dia tulis untuk Tara, sekedar untuk mengenangnya, setidaknya dia bisa menuangkan semua emosinya disana. Kemarin novel dengan sampul putih dan berisi gambar dua orang yang duduk di atas bangku kayu dengan sedikit tersenyum dan ada jarak diantara keduanya itu terpajang di etalase toko buku. Novel dengan tebal 314 halaman itu terjual laris, banyak orang yang suka membacanya. Dan malam ini selembar foto dan sebuah novel mengembalikan ingatannya disaat dia masih bisa tertawa bersama lelaki itu, mengantar surat dengan sepeda merah Tara, menyaksikan Denpasar malam dari atas balkon, dan kenangan-kenangan saat masih di panti.
Hari ini gadis itu berangkat ke Yogjakarta, dia sampai tepat waktu di bandara, untungnya Queen membangunkannya pagi ini atau pesawat itu akan pergi duluan tanpanya. Sepanjang perjalanan tidak ada hal spesial, justru terasa membosankankan.
Tidak butuh waktu banyak, gadis itu kini sudah sampai di hotel setelah di jemput oleh pendampingnya di bandara dan cek in hotel. Teleponnya berdering pelan, dengan cekatan gadis yang sedang merapikan barang-barangnya itu langsung mengangkatnya.
"Iya bu?"
"Bagaimana disana?"
"Baik bu, tidak ada yang perlu di kawatirkan."
Setengah jam mereka berbincang di telepon, menceritakan perjalannya ke Yogjakarta, suasana di kota ini, tentang Tara yang kembali ke dalam pikirannya.
"Semua akan baik-baik saja Dian." Ujar Queen seraya menutup teleponnya.
Pukul 18.00 WIB, Dian duduk nyaman di dalam mobil Avanza hitam yang menjemputnya. Gadis itu sedikit kawatir sekarang, bagaimana akan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari wartawan nanti, apa dia akan bisa menjawabnya dengan baik.
"Aku menyukai bukumu, ujar lelaki yang duduk di sampinnya." Namanya Dion, dia pendamping gadis itu untuk launchingnya kali ini. Gadis itu kini sadar bahwa tidak hanya dia dan supir yang sedang menyetir di depan yang ada dalam mobil ini.
"Oh, terimakasih." Ujarnya singkat seraya tersenyum.
"Sepertinya buku ini sangat berbeda, aku sempat membaca revisinya dan sepertinya sebagian besar adalah kisahmu bukan?"
"Nanti saja aku menjawabnya, pasti akan banyak yang mempertanyakan hal yang sama." Gadis itu langsung bergegas keluar dari mobil ketika mereka sudah sampai di tempat tujuan. Tidak perlu waktu yang lama dari hotel ke tempat ini, jaraknya hanya beberapa kilometer saja.
Dua jam berada dalam gedung itu membuat Dian kembali kemasa lalunya karena pertanyaan yang wartawan tanyakan. Setidaknya sekarang dia sudah lega, dia mampu memjawab pertanyaan itu dengan baik.
"Jika itu benar kisah hidupmu, lalu dimana Tara sekarang? Apa kau sudah melupakannya?" ujar seorang wanita dengan baju putih berkerah dengan name tag menggantung di lehernya.
"Maaf sebelumnya, walau itu memang benar kisahku, tapi aku tak tahu dimana Tara sekarang. Kami tidak pernah berkomunikasi lagi. Dan tentang melupakan, aku lebih senang menyebutnya sebagai membiasakan. Karena secara psikologi, anda tidak akan pernah bisa memaksa otak anda untuk melupakan seseorang. Hanya rasa untuk orang itu yang bisa di hilangkan. Begitu juga dengan saya." Ujarnya dengan senyum yang dia sunggingkan.
Gadis itu tersenyum kembali ketika mengingat wawancara yang singkat itu, ada tekat dalam dirinya untuk benar-benar bisa membiasakan diri, menghilankan rasa yang masih saja ada dalam hatinya. Jika memang Tara tak ingin memperjuangkannya, maka dia juga harus pintar untuk melepaskan. Karena tanpa sengaja Tara telah kehilangan seorang yang benar-benar mencintainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DianTara
Romancekau bilang perbedaan bukan halangan, tetapi mengapa kita tidak dapat disatukan?