Seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan mereka di rumah yang terbilang mewah itu. Queen menarik nafas perlahan lalu menghembuskannya dan mencoba menyuguhkan senyuman, dia tahu keadaan sedang tidak baik hari ini, terutama Tara.
"Ayo masuk."Ujarnya kepada keduanya
"Biarkan dia istirahat Dian, lalu temui aku,"
"Ada yang ingin aku bicarakan padamu," lanjutnya. Dia mengangguk, lalu menghantarkan Tara ke kamar tamu, membiarkannya istirahat dan turun ke bawah untuk menemui ibunya.
"Duduklah bersamaku," ujar Queen seraya menepuk sofa di sampingnya, meminta Dian untuk duduk di sana.
"Masalah itu lagi?" tanyanya setelah gadis itu duduk di sampingnya. Rumah ini terasa hening, dentingan jam dapat terdengar, juga suara AC, dan suara TV yang di nyalakan tapi tidak ada yang menontonnya. Rumah ini terbilang sangat luas dan mewah hanya untuk di tempati berdua saja.
Dian hanya diam, gadis itu tahu ibunya pasti mengerti, dia juga terlalu lelah untuk menjawabnya.
Sejenak keheningan menyelimuti keduanya, secangkir teh hangat yang kini dingin karena tidak disentuh sama sekali oleh Dian dan jam dinding yang menunjukkan hari yang semakin larut.
"Semuanya menjadi rumit, kacau, hanya karena satu hal yang tidak sama; agama." Air mata gadis itu meluncur begitu saja, seperti hujan yang turun dari langit, tidak ada yang dapat membendungnya. Queen tidak dapat menjawab pertanyaan putri angkatnya dengan baik, dia memeluk tubuhnya, mencium keningnya, mengelus kepalanya berharap hal itu dapat menenangkannya.
"Bu, kita beda juga kan? Aku Hindu, ibu Kristen, tapi semuanya baik-baik saja, tidak ada masalah. Tapi kenapa aku dengan Tara tidak bisa sebaik ini?" lanjut Dian. Air matanya kembali meluncur di pipi gadis itu, matanya mulai memerah.
"Padangan setiap orang itu berbeda Dian, aku tidak memandang perbedaan itu sebagai sesuatu yang harus di permasalahkan, harus di perdebatkan. Tapi tidak semua orang berpikir seperti itu."
"Sekarang kamu perjuangkan hal yang pantas di perjuangkan, jangan biarkan semuanya berlalu begitu saja. Jangan pasrah,..............seperti aku." Ucapan wanita paruh baya itu membuat tangisan Dian terhenti sejenak, gadis itu lalu memandangi wanita tua yang kini dia panggil ibu, meminta penjelasan dari kata-katanya itu.
Pukul 23:50 WITA, ini sudah larut malam, hampir semua orang sudah tertidur sekarang. Tapi Dian masih mendengarkan Queen yang menceritakan kenangan yang entah itu disebut menyenangkan atau menyedihkan. Siapa sangka seorang wanita paruh baya yang sukses dan terkenal pernah menyukai seorang lelaki yang tinggal di provinsi yang berbeda dengannya, beda agama, ras juga kasta. Saat itu jika kau ingin menikah maka menikahlah dengan orang yang sama denganmu. Inti dari masalahnya juga hampir sama, bahkan lebih rumit, Queen dan lelaki itu sama-sama sudah di jodohkan dengan pilihan orang tua masing-masing. Beberapa kali lelaki itu mencoba meyakinkan orang tuanya juga orang tua Queen, dia rela menyeberangi lautan hanya untuk di tampar dan dicaci oleh orang tua Queen karena dia mencintai dan ingin menikahinya. Harapannya telah hilang saat itu, dengan berat hati dia memilih untuk pergi, membuang semua rencananya dengan Queen. Membiarkan semua itu menjadi kenangan saja.
"Aku membiarkan dia pergi, tidak ada usaha apa pun yang aku lakukan, dan sekarang aku menyesal." Untuk pertama kalinya Dian melihat ada air mata yang mengalir di wajahnya yang kini sudah mulai keriput itu. Sebelumnya Dian melihat Queen adalah wanita yang tangguh, kuat, percaya diri. Dia adalah tokoh idola untuk Dian. Tapi hari ini dia melihat idolanya menangis, membuatnya juga ikut merasakan bagaimana kesedihan itu.
Lelaki itu tertunduk di pojok kamar tamu yang luas ini, memandangi selembar fotonya bersama Dian saat masih di panti, saat semuanya baik-baik saja. Ingatan-ingatan tentang masa-masa itu kembali datang menyerbunya, tercampur aduk dengan ingatan kemarin, membuatnya semakin kacau sekarang. Sejenak lelaki itu bisa tersenyum mengingat masa-masa itu, namun dalam sekejap semuanya lenyap saat dia sadar hal itu sudah berlalu. Kini keadaan sudah berbeda, tidak lagi seindah dulu. Kata-kata pamannya yang semalam masih saja mengiang-ngiang di kepalanya, membuat badai besar yang tak teredam. Tara hanya diam mematung, lalu ada air mata yang meluncur dari matanya. Pintu yang di ketuk pelan dan disusul sosok Dian di ambang pintu membuat lelaki itu segera menghapus air matanya.
"Selamat pagi, Tara. Ayo sarapan, ibu sudah menunggu di bawah." Ujar Dian seraya menghampiri Tara. Lelaki itu masih diam, tidak menjawab atau mengangguk, dia benar-benar kacau, amat sangat kacau.
"Ada apa?" Dian menyentuh pelan pundaknya
"Kita sudahi saja semuanya." Kata-kata yang baru saja diucapkan Tara itu sukses membuat Dian mematung dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Aku tidak perlu lagi menjelaskannya bukan? Kau pasti mengerti. Aku hanya takut, jika terlalu lama kita bertahan maka nanti lukanya juga semakin lama. Cepat atau lambat pasti hal semacam ini akan terjadi kan?" Dian masih terdiam, bibirnya ingin berucap tapi terasa berat.
"Apa kau tidak ingin berjuang lagi?" ujar Dian dengan suara bergetar menahan tangisnya sedari tadi.
"Ini sudah cukup, Dian. Terlalu berat untukku,"
"Kau membuatku paham, bahwa aku tidak terlalu pantas untuk di perjuangkan. Terima kasih." Gadis itu beranjak pergi dari sana, namun langkahnya terhenti ketika tangannya digenggam erat oleh Tara.
"Ini bukan berarti aku tidak menyayangimu." Tara memeluknya, membiarkannya menangis dalam dekapannya.
"Maafkan aku, aku harus pergi. Dan, terima kasih telah menjadi yang terbaik." Tara beranjak pergi setelah melepaskan dekapannya, meninggalkan Dian yang terduduk mematung di belakangnya. Lelaki itu pergi berbekal luka yang membekas di hatinya juga di hati gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
DianTara
Romancekau bilang perbedaan bukan halangan, tetapi mengapa kita tidak dapat disatukan?