Bagian 12

7 1 0
                                    

Matahari terbit dan terbenam dengan cepat, malam berganti pagi, detik, menit, jam, hari, minggu, juga bulan, semunya terasa amat sangat cepat. Kesibukan mereka masing-masing turut mempengaruhi semuanya terasa semakin cepat saja. Ini bulan kedua setelah hari dimana mereka di tonton oleh banyak orang setelah Tara menyatakan perasaannya kepada Dian. Sesibuk apa pun mereka selalu ada sedikit waktu yang mereka bagi bersama, sekedar untuk duduk berdua di atas balkon di malam hari, atau menonton kartu di hari minggu. Sejauh ini tidak ada masalah, semuanya baik. Queen juga sudah tahu tentang hal ini, dan itu tidak menjadi masalah untuknya. Bahkan sesekali dia ikut bergabung dengan mereka ketika menonton serial kartun atau ketika menikmati secangkir teh di beranda rumahnya. Hanya saja keluarga Tara tidak punya pemikiran yang sama dengan Queen. Mereka melihat perbedaan yang terdapat pada keduanya; perbedaan kepercayaan.

Beberapa minggu lalu hal itu tidak menjadi masalah besar, namun makin hari semunya tampak rumit. Tara lebih susah untuk menemui Dian. Berkali-kali lelaki itu meyakinkan keluarganya, terutama pamannya bahwa semua akan baik-baik saja.

"Dia itu Hindu, kita Islam, kalian itu berbeda!! Dan yang berbeda itu tidak bisa di samakan!!" Ujar pamanya Tara, untuk kesekian kalinya lelaki itu tidak pernah berhasil membujuk pamannya. Tara hanya diam ketika kata-kata itu keluar dari mulut salah satu keluarganya. Wajahnya memerah, kedua tangannya terkepal sangat erat, "Aku menyanyangi dia!! Dan semua akan baik-baik saja. Apa menurut mu yang berbeda itu tidak bisa bersama?!!?" kemarahan lelaki itu benar-benar memuncak, dia berujar sambil mengacungkan jarinya ke depan wajah pamannya. Tidak ada anggota keluarga yang lain yang melerai mereka, andai mereka disini mungkin perdebatan ini tidak ada terjadi.

Tara tertunduk, sofa empuk yang dia duduki tidak terasa nyaman sama sekali, justru lebih terasa seperti jutaan paku tajam. Pamannya masih berdiri, nafasnya terengah-engah, keringatnya bercucuran. Lelaki usia 69 tahun itu tidak pernah semarah ini sebelumnya, apalagi kepada Tara, anak dari kakaknya. Setelah keheningan beberapa saat, Tara beranjak menuju kamarnya, membereskan barang-barangnya, etah barang apa saja yang dia jejalkan ke dalam tas rasel hitamnya itu, yang pasti tas itu akan penuh dengan kemarahannya malam ini.

"Aku pergi." Tara berjalan keluar rumah dengan tas ransel yang menempel di punggungnya, lelaki 69 tahun yang kini duduk termenung di sofa itu hanya diam, tatapannya mengarah ke lantai, berusaha menyampaikan bahwa dia tidak perduli dengan Tara. Suasana rumah menjadi henin, hanya deru nafas dan dan detak jam dinding, tangan tuanya yang kasar itu sangat ini mencegah Tara, memintanya untuk jangan pergi, atau setidaknya berharap agar bibirnya cukup mampu mengatakan maaf. Namun dia terlalu munafik, dia justru ingin terlihat tidak perduli.

Sinar lampu jalanan yang temaram menerpa wajah lelaki itu yang kini duduk di atas bangku besi di pinggir jalan. Pukul 21.00 WITA, orang-orang masih berlalu lalang di jalanan, namun keramaian yang dia rasakan hanya ada dalam kepalanya, selain itu terasa sepi bahkan lelaki itu dapat mendengar detik jam tangannya dengan jelas. Ini adalah kemungkinan yang sudah terbayangkan dalam benaknya, kemungkinan terburuk yang bisa dia pikirkan dan kini kemungkinan itu tidak lagi ada dalam benaknya, tapi dalam hidupnya. Jadi nyata.

"Masalah itu lagi?" seorang gadis menghampirinya, seraya duduk di sampingnya di atas besi dingin yang di sinari lampu jalan.

Lelaki itu diam, hanya anggukan kecil yang bisa menjawab pertanyaan Dian, mengiyakan pertanyaan itu. memberitahukan bahwa semuanya tidak lagi baik. Lelaki itu tertunduk, menatap trotoar jalan lekat-lekat, membiarkan gadis di sampingnya ikut merasakan sepinya di tengah kerumunan orang yang berlalulalang.

"Siapa yang harus aku pilih sekarang?" ujarnya memecah keheningan yang sedari tadi dia ciptakan. Kini giliran Dian yang termenung, pertanyaan sesingkat itu mampu membuat bibir tipisnya tak berucap, hanya bergetar menahan tangis yang mulai memuncak.

"Kita coba lagi, dengan usaha yang lebih baik." Suaranya bergetar, matanya memerah tapi seutas senyum yang di paksakan itu diciptakan agar dia terlihat baik-baik saja. Itu hal yang sia-sia, kekacauan di dalam hatinya tidak bisa di sembunyikan begitu saja.

"Ayo ikut aku pulang, aku tidak ingin melihatmu tidur di emperan toko lagi." Dian menarik tangannya, lelaki itu masih terlihat sangat kacau, kedua kakinya berjalan karena terpaksa. Tidak ada niat sekali pun sebenarnya walau hanya melangkah sejengkal saja. Dia terlalu lelah.

DianTara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang