six

2.9K 383 0
                                    

Irene tidur meringkuk di ranjangnya. Matahari masih tertutup tirai hitam dikamar, ia tidak tidur, ia hanya memejamkan mata dengan tangis tersedu-sedu.

Entah apa yang ia tangisi, ia hanya rindu rumah. Apa yang terjadi disana ketika ia hilang tanpa kabar, itu pikirnya. Tanpa dosa, Sehun hanya mengunci Irene tanpa sebutir nasi atau setetes air. Kalau saja Irene tidak merengek, ia akan mati kelaparan.

.

.

.

Keringat Joonmyun sudah mengalir dipelipisnya, ia terus mencari Irene tanpa lelah. Ia tak pernah berhenti mencoba menghubungi ponsel Irene, tapi nihil, semua percuma, Sehun sudah memutuskan semua jaringannya.
Joonmyun berjalan menyusuri gang kecil di seluruh kota Seoul, tapi ia tak kunjung bertemu dengan gadis yang ia cari. Polisi juga tak henti mencari keberadaan pembunuh yang tersembunyi satu ini.

Joonmyun sempat pasrah, tapi ia tidak bisa membiarkan gadis yang ia cintai terbunuh begitu saja. Bukan joonmyun namanya jika ia mudah menyerah.
Cinta pertama Joonmyun hilang, bagai ditelan bumi bersama jejak pembunuh tak diketahui sampai sekarang. Meskipun Irene hanya menganggapnya sebagai sahabat dekat, ia tidak menyerah untuk membuat Irene tersadar dengan perasaannya sekarang.

Joonmyun terus menekan tombol nomor seseorang, entah itu nomor Baekhyun atau Irene yang pasti ia tak henti menatapi layar ponsel yang tampak bercahaya lebih terang di gang yang gelap.
"Cepat jawab panggilanku, Bae Joohyun" gumam Joonmyun.

Percuma, semua percuma. Ia hanya membuang-buang waktu hanya untuk menelepon Irene yang sama sekali tidak akan menjawab panggilannya.

--

Irene menyuap suapan terakhirnya, makanan yang Sehun beri benar-benar tidak cukup, tentu, pria itu hanya memberi Irene makan dalam sekali sehari, makan siang pun cukup menurut Sehun.

Gadis itu menyimpan piring makanannya dengan hati-hati, lalu ia berdiri untuk mencoba mengetuk pintu.

Tok.. tok.. tok..

"Sehun-ssi, bolehkah aku keluar? Sebentar saja. Aku tidak pergi, hanya mencari angin," ujar Irene dengan hati-hati dan nada memohon. Tidak ada suara diluar, tapi ada suara gesekan antara besi dengan besi yang sedang di asah agar lebih tajam, Irene tahu itu pasti Sehun.

"Sehun-ssi, a-aku ingin--buang air" bohong, Irene berbohong. Ia sama sekali tak ingin buang air atau apapun itu, ini alasan tepat yang mungkin Sehun mengizinkan Irene keluar kamar.

Suara kunci terbuka membuat Irene tersenyum.

"Kamar ini sudah di sediakan toilet, lihat dibelakangmu. Jangan banyak alasan untuk mencoba keluar kamar," ujar sehun dengan nada yang masih dingin. Pintu kembali tertutup, Irene menghela nafas pasrah, kesempatannya gugur.

Irene kembali terduduk lemas di pojok ruangan, sudah tak nyaman terus duduk atau tertidur di ranjang. Irene memeluk kedua lututnya lalu menyandarkan kepala yang terasa berat ke dinding, memejamkan matanya sekejap lalu kembali membukanya, berharap saat membuka mata ia sudah kembali dirumah tanpa luka dan sakit apapun. Luka di pipinya belum mengering sepenuhnya, hanya berbalut perban tidak memungkinkan pulih dengan cepat.

Irene berjalan menuju jendela untuk melihat keadaan luar yang selalu sepi, jendela selalu terkunci. Irene menaruh kepalanya di sandaran kursi yang tepat berada di dekat jendela, ia menatap suasana luar yang mencekam walaupun masih pukul dua siang. Entah efek apa tapi langit di daerah ini selalu gelap, tampak seperti dalam film horror yang selalu Irene tonton tiap bulan bersama teman-temannya.

Suara langkah kaki menyadarkan Irene dari lamunannya. Tidak, bukan dirumah, tapi diluar. Irene berusaha melihat keluar dan memaksa kuncinya agar bisa terbuka.

"Seseorang diluar? Tolong! Aku didalam sini!" Dengan keberanian yang kuat, Irene berteriak. Tidak peduli apa yang terjadi jika Sehun tahu.
Suara langkah kaki itu mendekat, mulai dengan bayangan kecil sampai sekarang sudah besar karena sudah mendekat. Sekali lagi Irene mengetuk jendela agar seseorang diluar sana mendengar.
Tapi, keberuntungan Irene bukan hari ini, Sehun sudah berdiri tepat dibelakangnya. Ia sudah menyiapkan lakban dan tali.

Sehun mendekat lalu dengan cepat mengikat tangan dan kaki Irene.

"Jangan coba-coba meminta bantuan!"

Irene tidak bisa bersuara, mulutnya sudah tertutup lakban hitam yang sangat melekat. Gerakan Sehun sangat cepat.

Sehun menyelipkan pisau di sela-sela pergelangan tangan Irene, bukan untuk membantu Irene melepaskan tali.

"Bergerak sedikit? Pisau itu akan merusak kulitmu" ujarnya lalu keluar kamar.

Irene sudah menangis, air matanya sudah deras.

Tolong aku, aku mohon. Batin Irene. Ia terus memohon pertolongan.

--

Joonmyun menoleh ke segala arah, suara seorang wanita itu terus terngiang di telinganya. Suara permintaan tolong itu persis seperti suara seorang gadis yang ia kenal, Irene. Ia berjalan mendekat ke arah suara ketukan, namun tak lama suara itu hilang. Kehilangan suara itu membuat Joonmyun semakin panik, itu tandanya ada yang terjadi dengan wanita itu. Joonmyun melangkah lebih cepat dengan langkah entah mengarah kemana, wajahnya sudah dipenuhi dengan kecemasan, khawatir dan rasa takut.

Dengan tak sadar, satu tetes air menetes di pipi Joonmyun. Bukan ketakutan, tapi kekhawatiran yang amat sangat.
"Dasar pria cengeng, jangan menangis bodoh," gumamnya pada dirinya sendiri. Ia kesal pada dirinya sendiri yang tak mampu mencari Irene dengan baik. Lutut Joonmyun lemas saat pikiran buruk terlintas di otaknya, tidak bisa berpikir jernih saat keadaan panik.

--

Pisau itu sudah menancap di pergelangan tangan Irene, untung saja tidak dalam dan tidak tepat bagian nadi. Namun, tetap saja, darah sudah mengalir deras di sepanjang lengannya, pakaiannya sudah bersimbah darah yang berasal dari pergelangannya. Rasa sakit itu sudah tidak terasa oleh Irene, terlalu banyak darah yang keluar. Untung saja tali sudah terlepas oleh pisau itu sendiri, ia bisa menahan darahnya dengan kain seadanya di ruangan itu. Air matanya pun sudah mengering, tidak bisa mengeluarkan air mata lagi, seperti semua sudah terkuras habis. Entah Irene yang sudah pasrah jika akhirnya ia mati kehabisan darah dan cairan.

"Bagus, kau melepas talinya," ujar seseorang di pintu dengan bahu tersender di sana. Irene yang tidak menyadari itu langsung terperanjat, terkejut.
Irene menunduk, tidak berani menatap mata tajam Sehun yang terlihat sadis.
Sehun menghampiri Irene lalu duduk di hadapannya.
"Look at me, Joohyun-ssi" ujar Sehun, suaranya membuat Irene merinding di sekujur tubuhnya. Sehun menarik dagu Irene untuk tetap melihat ke arah matanya. Nafas Irene tak beraturan, rasanya sesak.

"Kau sudah bersedia menjadi permainanku, thank you, dear" ucap Sehun di telinga Irene membuat tubuhnya kembali sulit digerakkan, menegang seketika dengan bulu di kulitnya merinding.

Sungguh, amat sulit ditebak. Irene entah harus bagaimana.

.

.

.

.

To be continue..

Baru awal eehh udah buntu duluan.
Kan sebel:'

Black Rose [Hunrene]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang