seven

2.8K 396 6
                                    

Kau sudah bersedia menjadi permainanku, thank you, dear.

Kata-kata itu terus terngiang di telinga Irene, terulang terus di otaknya. Seakan tidak ada kata lain yang dapat mengalihkan pikirannya selain kata-kata itu.
Irene melamun dengan mata yang sembab akibat menangis sepanjang hari, ia amat sangat merindukan sahabatnya, keluarganya, bahkan Joonmyun.

Suara pintu terbuka membuyarkan lamunannya, Sehun masuk tanpa permisi. Pria itu bersandar di dinding polos berwarna kelabu, lalu melipat lengannya di dada.

Irene menunduk, tidak berani menatap wajah Sehun yang penuh seringai mematikan.

"Punya niat untuk kabur hari ini?" Tanya Sehun dengan satu alis terangkat ke atas.

Irene tidak menjawab, tepatnya tidak ingin. Tentu saja selalu ada niat, tapi tidak bisa melakukan itu.

"Jawab atau---"

"Tidak, aku diam disini."

Sehun mengangguk.

"Aku pergi sebentar, jika kau kabur? Kau tahu akibatnya?"

Irene mengangguk.

"Kalau begitu, aku pergi," ucap Sehun lalu meninggalkan Irene yang masih menunduk lesu di tempat tidur yang terdapat bercak darah yang berasal dari tangan Irene tadi.

--

Tiga pria dengan wajah tampan nan gagah berkumpul membentuk lingkaran. Terlihat seperti membicarakan sesuatu didalamnya, mereka memasang wajah serius tanpa seringai, hanya alis yang saling bertautan. Nafas Chanyeol menderu menahan amarah, telinganya juga memerah karenanya. Jongin memijat pelipisnya untuk menahan rasa pening dikepalanya.

"Sudah kuduga ini akan terjadi." Ujar Sehun memecah keheneningan penuh suasana membingungkan. Sementara Chanyeol beranjak dan mengambil sebuah map dari laci meja penuh senjata.

Chanyeol melempar pelan map tersebut di meja bundar hadapan Jongin dan Sehun, didalamnya terdapat dua kertas, berisikan ancaman aneh tak dimengerti.

"Dua orang ini aneh, mereka memberi ancaman pada kita sedangkan mereka bahkan pernah termasuk bagian dari kita," ujar Jongin lalu menyimpan kembali kertas yang tertera nama 'Kris'.
"Pengkhianat," gumam Sehun sedikit mencengkram kertas di genggamannya. "Satu orang ini datang setelah sekian lama tidak mengusik kita. Apa maksudnya?" Tanya Sehun.

"Aku mengawasi kalian semua, selalu berhati-hatilah saat bertindak, aku memang tidak ada tapi mataku selalu ada untuk mengawasi kalian semua" Chanyeol membacakan isi surat dari Kris, bibir Chanyeol membentuk seringai penuh kebencian.

"Isi suratnya tidak jauh beda dengan Luhan,, 'berhentilah mengotori diri sendiri dengan perbuatan kalian, aku mengawasimu, walaupun aku jauh dari kalian, i can see you' konyol," Jongin berdecak sebal setelahnya. Mereka beranggap ini sangat kekanak-kanakan, terlihat seperti surat teror pun tidak. Tentu saja mereka tidak takut, itu biasa, masih bisa diatasi dengan sekejap saja bagi mereka. Tapi, bukan hanya itu yang mereka bicarakan, surat lain datang tanpa nama.

'Tenang, pisau untuk menguliti sudah ditanganku. I'll kill you.'
-unknown

"Komplotan pembunuh lain, mereka ingin menghancurkan kita," ujar Chanyeol lalu mengambil kertasnya dan menyimpan di mejanya secara asal.

Jongin tertawa kecil.

"The war?" Tanyanya sambil mengangkat sebelah alisnya. Chanyeol dan Sehun meliriknya secara bersamaan.

"Jika itu yang mereka minta, why not?" Ujar Chanyeol.

--

Irene tertidur di kamar yang menyesakan, sekitar seharian Sehun meninggalkannya. Ia bisa saja mati secara perlahan karena dikurung tanpa udara. Irene tidak tidur, seperti biasa, hanya memejamkan mata untuk menghilangkan rasa takut.
Sehun sudah kembali tanpa sepengetahuan Irene, sampai Irene terkejut saat Sehun sudah berdiri di samping ranjangnya.
"Sampai aku melupakanmu disini, Bae Joohyun." Ujar Sehun lalu menyimpan satu nampan berisi sepiring nasi dan air.

"Lebih baik kau melupakanku," balas Irene yang mengejutkan Sehun.

"Benarkah? Cepat makan, jangan menyusahkanku," Sehun meninggalkan gadis itu setelah berbicara. Pria itu tidak mempedulikan ucapan Irene, ia pun tak peduli jika gadis itu melupakannya atau tidak, karena tidak mungkin ia atau Irene melupakannya.

Malam ini sama seperti biasanya, tak ada perubahan. Masih sepi dengan cahaya redup, Irene masih sama hanya bisa menunggu seseorang untuk menolongnya keluar dari nerakanya. Di suasana sepi, Sehun kembali datang, dengan ponsel di tangannya.

Ponsel milik Irene.

Sehun menaruh ponsel milik gadis itu di meja samping ranjangnya.

"Aku kembalikan, dengan nomor yang berbeda, tidak ada nomor yang tersimpan disana, hanya ada nomor ponselku sendiri, mengerti?" Jelas Sehun. Irene hanya mengangguk.

"Oh ya, satu lagi, jangan berani kau menelpon polisi, atau kau akan kehilangan kedua matamu." Ujar Sehun yang membuat Irene bergidik ngeri. Irene hanya bisa mengangguk, seperti pelayan suruhan yang diberi tugas oleh atasannya namun tak bisa menolak.
Sehun kembali keluar kamar, Irene menatap kepergian pria dengan bahu tegap itu. Ujung bibir Irene sedikit naik menimbulkan senyum kecil karena ia diberi kesempatan untuk memegang ponselnya kembali, setidaknya masih ada peluang untuk keluar walaupun Sehun melarang memanggil siapapun di ponselnya.

Ponsel putihnya berbunyi, sebuah pesan masuk.

Irene mengerutkan keningnya saat melihat pesan dari nomor tak dikenal, orang misterius yang pertama memberinya pesan singkat.

010-xxx-xxx
-jangan khawatir, aku disini melindungimu-

.

.

.

.

To be continue..

Setelah sekian lama ga up, akhirnya ada ide masuk, dikit. Aneh banget ini ya ampun:(

Oh iya, siapa coba yang mau lindungin Irene?

Authornya.

Ga deng.

Pencet bintang pojok ya, ga rugi kok. Banyak banget siders soalnya, kan sedih:(

Black Rose [Hunrene]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang