eight

2.7K 367 11
                                    

Cahaya membangunkan Irene dari tidurnya yang jauh dari kata nyenyak. Sudah pagi, tapi tetap seperti malam. Gadis itu selalu berdoa saat ia terbangun dari tidurnya maka ia akan kembali pada kehidupannya yang semula. Tapi, ini dunia nyata, bukan fantasi. Irene yang kini memiliki ponselnya kembali, membuka pesan yang kemarin ia dapatkan dari orang misterius.

010-xxx-xxx
-selamat pagi, bagaimana tidurmu? Nyenyak? Aku harap kau menjawab ya-

Lagi-lagi orang itu mengirimnya pesan, Irene mengacak rambutnya frustasi. Haruskah ia merasa aman? Atau takut? Karena ia sama sekali tak kenal dengan orang ini. Mungkin Joonmyun, tapi Irene tahu nomor ponsel Joonmyun tidak seperti itu, tentunya bukan nomor yang baru saja datang di ponselnya. Bisa saja orang ini masih satu barisan dengan Sehun.

Gadis bersurai coklat tua itu mengikat rambutnya asal, merasa panas tak ada angin sejuk dan udara segar. Tentu saja, ia bahkan tak mengganti pakaian sekitar satu minggu setelah di sandera seperti ini, Irene sudah merasa seperti orang gila yang tak pernah mandi atau membersihkan rambut. Ia jijik pada dirinya sendiri.
Irene mengetuk pintu, memberanikan diri untuk meminta izin membeli perlengkapan mandi ataupun pakaiannya. Hanya ada sedikit uang tersisa di kantung celananya yang belum tersentuh semenjak kejadian penculikan.

"S-Sehun-ah, boleh aku mengatakan sesuatu?" Ujar Irene sambil menempelkan telinganya dipintu, memastikan ada seseorang diluar.

Suara langkah kaki mendekat, semakin berdebar jantung Irene ketika langkah kaki itu sudah tepat di depan pintu. Pintu terbuka membuat Irene dengan otomatis mundur lebih jauh, pria berkulit putih itu bersandar di ambang pintu.

"Apa?" Tanya dingin dan kaku.

"Begini.. boleh aku membeli perlengkapanku? Sekitar seminggu aku tidak membersihkan tubuhku dan--" perkataan Irene terpotong karena telunjuk Sehun menyentuh bibirnya dengan cepat.

"Sudah kusedikan, ambil di lemari samping ranjangmu, pakaian sampai perlangkapanmu, bahkan barang pribadimu,"

Kata 'pribadi' membuat Irene terlonjak kaget, kupingnya memerah seketika.

"Tidak. Bukan aku yang membelinya, bodoh." Sela Sehun setelah melihat telinga Irene memerah. Irene menghela nafas lega.
Sehun pergi lalu menutup pintunya kembali.

"Huh, jantungku." Gumam Irene sambil mengelus dadanya yang merasa jantungnya akan keluar sekarang juga.

--

"Cepat! Cepat! Jangan biarkan mereka lolos karena kelambatan kalian!" Teriak seorang pria memerintah pasukannya untuk bergegas menyiapkan senjata untuk mereka pakai untuk sesuatu.

"Semua siap, bos." Ujar Junhoe.

G-dragon dengan tujuh orang lainnya siap menggubris ketenangan pasukan Willis dengan tujuh orang lainnya.
Delapan lawan delapan.

Seimbang.

Mereka bisa bergerak cepat, secepat teleportasi.

--

"Bersiaplah, bergegas, siapkan diri kalian semua, mereka akan datang." Perintah Chanyeol di hadapan para anak buahnya. Chanyeol memberitakukan kapan harus bertindak, berjaga, dan mengamankan diri. Karena ia tahu lawannya bukanlah hal yang kecil untuk dikalahkan, G-dragon adalah musuh sedari dulu hingga kini.

Dipikirkan lebih jauh lagi, pasukan pembunuh tersebar luas di Korea, namun hanya kedua ini yang menjadi sorotan publik tanpa diketahui keberadaannya sampai-sampai keduanya tidak tertangkap satu orang pun. Kecerdasan mereka dapat mengelabui polisi yang memang seharusnya pintar menyelesaikan masalah, dan akhirnya mereka selalu lolos dari semuanya.

Sepasukan G-dragon masuk ke daerah Sehun dan lainnya, mempersiapkan senjata untuk menghabisi semuanya. Pasukan Sehun tentu tidak kalah cepat untuk berjaga dari musuhnya.

Sekarang, keduanya sudah saling bertemu. Berhadapan dengan wajah menantang tanpa takut, seringai di masing-masing wajah menambah suasana mencekam dan menakutkan.

"Hai, musuh setia." Sapa G-Dragon dengan penuh kebencian di setiap katanya.

"Kalian membangunkan singa yang tertidur." Ujar Chanyeol menjawab pria berambut hijau mint itu.

"Itu tujuan kami, mencari kemenangan dengan mengusik lawan lalu melemahkannya. Cih." Ucap G-Dragon yang diakhiri dengan meludah kearah Chanyeol dan berhenti tepat di depan kaki Chanyeol. Pria bertubuh tinggi itu tersenyum miring melihatnya di perlakukan tidak sopan, bahkan dengan musuhnya sendiri.

Satu kepalan mendarat di pipi pria bernama asli Kwon Jiyoung, tapi pria itu menghindar dengan cepat sehingga pukulan meleset yang membuat Chanyeol geram.

"Ini yang dinamakan pembunuh veteran? Kurang cekatan, haha" ujar G-Dragon lalu tertawa meremehkan.

"Habisi saja dia, hyung." Bisik Sehun yang tepat di belakang Chanyeol.
"Tunggu, permulaan." Jawab Chanyeol. Tangan-tangan mereka sudah bersiap dibalik jaket kulit mereka masing-masing yang terisi dengan senjata. Tinggal menunggu perintah, semua mulai.
Dari belakang, Kai menugaskan semuanya tanpa diketahui lawan. Tentu satu lawan satu, satu orang memiliki satu lawan, tidak lebih.

Dibelakang tubuh Chanyeol, Sehun melihat jari Chanyeol bergerak memberi aba-aba, segera Sehun meminta perhatian untuk memperhatikan jari Chanyeol yang bergerak.

1..2..3..

"Bergerak!" Perintah Chanyeol. Semua mulai bergerak, termasuk pasukan G-dragon. Mereka mencari lawannya sendiri.

"Kemarilah, Kim Hanbin." Gumam Sehun.

Semua bertarung, melawan untuk memperebutkan kemenangan. Perjanjian dahulu kala yang tak berhenti, perjanjian untuk mendapatkan kekuasaan di Korea untuk mengatur semua yang berhubungan dengan membunuh, mau itu keamanan ataupun kericuhan.

Darah kini sudah tersebar di tanah, tidak sedikit juga darah yang keluar dari tubuh pasukan Sehun.
Orang yang pertama tumbang dari pasukan Sehun adalah Chen, ia seorang pemula jika dibanding dengan yang lain. Darah keluar dari lengan yang tergores pisau belati milik Bobby, memang bukan lawan yang tepat untuk seorang pemula.

Hanbin tak henti pula melawan Sehun, pisaunya nampak seperti melayang-layang saking bergerak dengan cepatnya. Jika saja Sehun bukan orang yang cekatan, mungkin ia sudah tertusuk di sekujur tubuh. Sehun pandai menghindar, Hanbin pandai melawan. Keduanya tidak terkalahkan, ada kalanya Sehun kehabisan energi sehingga satu goresan mengenai pipinya.

"Sial!" Umpatnya lalu mengusap darahnya.

"Bertarung tanpa senjata?" Tawar Hanbin dengan senyum menantang.

"Baiklah, itu maumu." Jawba Sehun lalu menjatuhkan pisaunya ke tanah, begitu juga dengan Hanbin.

Satu kepalan mendarat di pipi Hanbin yang menimbulkan luka berdarah di ujung bibirnya, mungkin energinya sedikit terkuras, atau mungkin juga ia hanya mampu dengan senjata.
Sehun tersenyum puas melihat lawannya terluka, Sehun melemaskan tubuhnya selagi Hanbin mengusap darahnya. Perkelahian terus berlangsung sebelum ada yang menyerah, tak sedikit pula yang sudah tergeletak berdarah di tanah.
Semua ricuh, penuh teriakkan karena tertusuk atau tergores, rintihan menahan sakit, suara-suara pukulan, dan suara besi beradu.

Bunyi sirine menghentikan semua. Semuanya terdiam seketika, lalu dengan bersamaan mereka berlari sekuat tenaga kemanapun arahnya. Tak lupa membantu teman-temannya yang lemas karena terluka di tubuhnya.

"Lari!" Teriak Jongin sambil membantu Kyungsoo untuk berdiri karena kakinya terpukul oleh kayu.

Sehun berlari tanpa mengingat apapun, hanya ingat apa? Irene.
Gadis itu sendirian. Ia tak ingat sama sekali pada gadis itu, ia hanya mementingkan perkelahiannya tanpa memikirkan Irene.

.

.

.

.

To be continue..

Ini perang tergaring diseluruh dunia, author jarang baca tentang war gitu jadi maklumin aja ya kalo kurang greget wkwk.

Jangan lupa pencet bintang yaa, ga cape kok. Terimakasih.

Black Rose [Hunrene]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang