fourteen

2.3K 316 14
                                    

"Oke, aku tahu dia sudah lepas dari kandangnya,"

"Apa yang kau tunggu? Cepat lakukan,"

"Hanya menunggu waktu yang tepat, kalau begitu, aku tutup telponnya, sampai jumpa."

Soojung kembali mengantungi ponselnya di saku jaketnya, ia tersenyum licik saat mengetahui gadis yang ingin ia habisi telah keluar dari kandang. Bahkan, sekarang ia tahu penghalangnya telah terbunuh oleh Sehun. Ini memudahkannya untuk membunuh Irene, mungkin. Akan mudah jika Sehun tidak menghalanginya, atau Sehun tidak boleh tahu tentang ini. Walaupun seorang gadis berparas cantik, rambut panjang dengan gaya yang feminim, tetap saja masih bisa membunuh seseorang, dengan gayanya yang seperti itu orang-orang banyak tertipu.

Soojung merogoh kantungnya untuk mengambil kembali ponselnya, lalu menekan beberapa nomor untuk menghubungi seseorang.
Hanya menunggu beberapa detik, telponnya sudah tersambung.

"Ada apa?"

"Oh, Jongin. Apa kabar?"

"Baik, kenapa?"

"Boleh aku meminta bantuan?" Soojung menggigit kukunya sambil menunggu jawaban.

"Untuk apa?"

"Bantu aku membunuh Bae Joohyun, kau mau, kan?"

"Astaga, Jung Soojung. Jangan nekat, itu hanya masa lalumu, lagipula semua orang sudah tak berniat membunuhnya, termasuk Sehun."

"Ya, aku tahu. Tapi, tolonglah aku, aku ingin dia hilang,"

"Kau tak pernah bertemu dia lagi, untuk apa kau ingin dia hilang? Sudahlah, aku tak ingin membantu, itu urusanmu."

Soojung berdecak sebal saat sambungannya dimatikan sepihak. Tangannya tidak bisa diam di tempat, terus memainkan rambut atau jarinya, ia terlalu gelisah untuk terdiam. Masa lalunya yang menuntut dirinya untuk membunuh gadis itu, mungkin Irene sudah melupakan semua itu, tapi Soojung tak pernah melupakan itu.
Hanya masalah seorang pria yang sebenarnya tak ingin diperebutkan oleh Irene, hanya sebuah kesalahpahaman. Irene tak ingin merebut semuanya dari Soojung, tapi keadaan yang membuat semuanya berubah.

--

"Oh? Reuni? Benarkah? Kapan?" Tanya Irene berturut-turut dengan ekspresi wajah yang senang dan mata yang berbinar.

"Acaranya dua minggu lagi, ayo datang bersamaku."

"Aku pasti datang bersamamu, Seulgi."

"Baiklah, aku tak sabar menunggu waktu dua minggu lagi."

"Huh kau benar, aku matikan telponnya, aku sedang berada di kampusku."

"Oh ya, baiklah."

Irene menyimpan ponselnya di meja yang terletak di hadapannya. Ia sedang berada di kantin kampusnya, mengerjakan tugas bersama teman kelompoknya.

"Kau terlihat bahagia, ada apa?" Tanya Wendy sambil tetap menulis di sebuah kertas yang sudah penuh setengahnya.

"Kau belum tahu?" Tanya Irene, Wendy menggeleng tanda tak tahu. "Dua minggu lagi akan ada reuni sekolah, kau ikut, kan?" Lanjut Irene, wajah Wendy berubah lebih cerah, tentunya ia juga senang dengan adanya ada reuni, semua kenangan mereka berada di sana.

"Tentu aku ikut, ah.. aku tak sabar," ujar Wendy sambil mengepalkan tangannya memperlihatkan rasa tak sabarnya.

"Andai saja aku satu sekolah dengan kalian, aku pasti akan ikut reuni itu," keluh Joy.

"Tak apa, pasti sekolahmu akan mengadakan reuni," timpal Irene berusaha menghibur, tapi wajah Joy malah bertambah murung setelahnya.

"Kau pikir aku harus pergi ke Tokyo hanya untuk reuni? Ayolah, uangku lebih berharga," ujar Joy.

"Salahmu sendiri untuk sekolah jauh-jauh," celetuk Wendy yang dibalas senggolan dari Joy.

Mereka kembali fokus pada tugasnya, Irene kembali berkutat dengan pulpen dan buku.

Di sela-sela kefokusannya, otak Irene tak berhenti memikirkan---tidak lain dan tidak bukan---Sehun. Tentu Joonmyun juga selalu berputar di otaknya, air matanya menetes di kertas tugasnya tanpa ia sadari. Sampai beberapa tetes membasahi kertasnya, Irene baru tersadar.

"Astaga, kertasku basah," gumamnya lalu segera mengambil tisu, bukan untuk wajahnya yang penuh air mata, tapi kertas tugasnya lebih penting.

"Kau menangis? Gwaenchanayo?" Tanya Wendy panik.

"Ah. Tak apa, aku baik-baik saja," jawab Irene yang kini mengusap wajahnya untuk membersihkan air matanya. Irene menenggelamkan wajah di lengannya, kepalanya terasa berat sekarang, nafasnya terasa panas.

"Kami antar ke ruang kesehatan, Wendy bantu aku memapah Irene," ujar Joy lalu mengalungkan lengan Irene di bahunya. Awalnya, Irene masih bisa menahan tubuhnya sendiri, tapi setelah ia mulai berjalan, tubuhnya mulai lemas dan pingsan.

"Astaga, tetaplah terjaga, Irene." Gumam Wendy.

"Ya! Kau laki-laki di sana, tolong bantu aku mengangkat temanku!" Teriak Joy pada sekumpulan anak musik yang sedang berlatih. Semua langsung menghampiri mereka.

"Ayo, bawa dia ke ruang kesehatan,"

--

Irene mengerjapkan matanya, berusaha menyesuaikan matanya dengan cahaya. Irene meringis menahan sakit di kepalanya, ia melihat teman-temannya tersenyum lega.

"Syukurlah kau sadar," ujar Wendy dan Joy sambil menghela nafas lega.

"Kenapa aku ada di sini?" Tanya Irene, ia berusaha mendudukkan badannya, dibantu oleh kedua temannya.

"Kau pingsan, untung saja banyak anak musik yang berkumpul, jadi kami mudah meminta tolong," jelas Joy.

Hening sejenak sebelum helaan nafas Irene memenuhi ruangan sepi.

"Tolong panggilkan aku taksi, aku ingin pulang." Irene merapikan rambutnya dan isi tasnya yang berantakan.

"Oke, tunggu di sini, aku keluar." Joy berlari keluar.

--

Soojung sudah tersenyum puas, sebuah pertemuan yang menjadikannya lebih mudah melakukan balas dendamnya. Batinnya hanya mengucapkan terimakasih pada orang yang mengadakan acara reuni sekolah karena orang itu secara tidak langsung membantunya melakukan aksi pembunuhan. Soojung sebenarnya termasuk orang yang sulit bergaul saat di sekolahnya, sekalinya ia mendapatkan masalah dengan seseorang, ia akan mengingatnya walaupun masalah itu sudah selesai. Contohnya seperti ia dengan Irene saat ini, mereka bisa dibilang cukup memiliki hubungan pertemanan yang dekat, hanya saja saat kesalahpahaman menghantamnya, semua jadi hancur dan ia tak memiliki teman lagi setelahnya, orang bilang semua ini adalah 'karma' karena ia tak ingin berteman dengan siapapun dan menjauhi Irene yang tak bersalah.

Ia juga kurang perhatian dari kedua keluarga, kedua orangtuanya terlalu sibuk dengan karir tanpa mengingat anaknya di rumah yang terjerumus ke dalam jurang yang penuh kejahatan dan kekejian. Sekarang ia sudah mempunyai harta sendiri, menghasilkan uang sendiri tanpa bergantung pada orangtuanya. Soojung berpikir, mungkin orangtuanya sudah lupa pada anaknya sendiri.

"Akan ku hancurkan dia seperti apa yang dia hancurkan dulu, lihat saja nanti, Bae Joohyun."

.

.

.

.

To be continue..

Maafkan udah menunggu lama hehe..

Author mau ngasih bocoran aja nih kalau cerita ini sekitar 4 atau 5 part lagi akan selesai.. horee.. gatau juga sih, masih perkiraan.

Nahh, aku mau tanya, apakah ada yang mau usul untuk ff berikutnya? Mau cast siapa? Hehe, nanya doang sih belum tentu nulis, tapi insyaallah nulis kalo sempet.

Yasudah itu saja, sekian.

Black Rose [Hunrene]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang