"Ini temen aku bunda." Jawab gue ragu.
Setelah sadar apa yang gue katakan, gue memaki diri sendiri dalam hati. Bagaimana bisa gue mengatakan Taeyong teman, padahal Taeyong itu pacar gue.
Sementara itu wajah Taeyong udah gak enak banget, tapi tetep ganteng banget sih pacar gue ini huhu.
"Jis, gue duluan." Ujar Taeyong.
"Hah?" Seru gue.
"Saya duluan tante." Ujar Taeyong lagi pada Ibu mas Jinyoung, sebelum akhirnya Taeyong pergi.
Gue dengan panik menyusul Taeyong, "Bunda, Jisoo duluan juga ya." Pamit gue pada Ibu mas Jinyoung.
"Oh, iya iya. Hati-hati ya Jis."
"Iya, bunda." Jawab gue sampai akhirnya gue pergi mengejar Taeyong.
Setelah Taeyong terkejar, gue bingung juga mau ngejelasin gimana sama Taeyong. Ini emang salah gue.
"Yong, tadi-"
"Ayok masuk, filmnya udah mau diputer." Potong Taeyong, tak memberikan gue kesempatan berbicara.
Selama menonton film, baik gue maupun Taeyong tidak ada yang bersuara sama sekali.
Bukan terbawa oleh film, tapi gue dan dia terlarut dalam pikiran masing-masing.
Gue bingun gimana cara ngejelasin sama Taeyong nanti.
Film selesai diputar, gue sama Taeyong pulang.
Sampai di mobil pun gue sama Taeyong belum ada yang bersuara, sampai akhirnya gue memberanikan diri bertanya.
"Yong, kamu marah?" Tanya gue.
"Iya." Jawab Taeyong singkat, matanya masih fokus sama jalan.
"Maaf, tadi itu-"
"Kamu malu punya pacar kaya aku?" Potong Taeyong.
"Yaampun yong, gimana bisa aku malu punya pacar kaya kamu?" Balas gue.
"Ya itu tadi apa. Kamu bilang aku cuma temen kamu."
"Masalahnya tadi itu bundanya mas Jinyoung." Jelas gue.
"Ya aku tau, terus kenapa?" Tanya Taeyong.
"Aku putus dari mas Jinyoung belum ada tiga bulan loh. Terus sekarang masak aku udah punya pacar lagi. Aku nggak mau terlihat jelek di mata orang tua mas Jinyoung." Jelas gue lagi panjang lebar.
Tahu perdebatan ini akan panjang, Taeyong memilih untuk menghentikan mobilnya di pinggir jalan.
"Kamu bukan wanita yang dicerai Jis, nggak ada masa iddahnya." Ujar Taeyong.
"Hhhhh ya iya aku juga tau Yong."
"Makanya, sangat tidak masalah kan kalo kamu punya pacar lagi?" Ujar Taeyong lagi.
"Iya, iya deh." Balas gue.
"Mangkanya aku pengen kita cepet tunangan aja." Kata Taeyong.
"Bahas itu lagi." Keluh gue.
"Ini demi kebaikan kita Jis." Tegas Taeyong. "Kamu sendiri yang dulu pengen cepet-cepet nikah."
"...ya tapi sekarang nggak." Jawab gue.
"Kenapa sih Jis? Kamu sebenernya suka nggak sih sama aku?" Tanya Taeyong menatap mata gue dalam-dalam.
"Suka suka." Jawab gue secepatnya, lalu mencoba menghindar dari tatapan Taeyong.
"Ih, matanya liat aku dulu coba." Seru Taeyong, menangkup pipi gue, lalu memutarnya menghadapkan ke wajahnya. "Kamu suka, sayang dan cinta sama aku nggak sih Jis?" Tanya Taeyong lagi serius.
Gue cuma menghela napas berat.
"Jis???" Taeyong masih menuntut jawaban dari gue.
Tapi gue nggak jawab.
Gue dengan cepat menempelkan bibir gue dengan bibir Taeyong, lalu melepasnya dengan cepat juga.
Itu udah cukup menjawab pertanyaanya kan?
"Siapa suruh cium?" Tanya Taeyong.
Pipi gue udah merah ini kayanya.
"Aku tanya siapa suruh cium?" Tanya Taeyong lagi.
"Yaudah, sorry. Nggak akan cium-cium lagi." Jawab gue sambil berusaha melepaskan tangan Taeyong dari pipi gue, malu men.
Tapi, walaupun sudah berusaha, tangan Taeyong tidak mau lepas. Taeyong malah mendekatkan wajahnya dengan wajah gue, lalu memberikan ciuman di bibir gue.
Berbeda dengan ciuman punya gue tadi, bibir gue sama Taeyong menempel cukup lama sekarang.
Taeyong baru melepaskan bibirnya setelah gue memukul dadanya, "Hhhhh Kamu gila? Ini tempat umum loh." Omel gue masih terengah-engah.
Tapi Taeyong cuma nyengir, "Lanjut di rumah aku atau kamu nih?" Tanya Taeyong menggoda gue.
"Ih, sinting."
Satu chapt lagi selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
finding the groom [taeyong x jisoo] [complete]
Fiksi Penggemar"Katanya mau nikah 22 tahun?" "Udah 22 tahun kok belum punya gandengan sih?"