2

67 11 0
                                    

"Welcome to the real Bumia Reeey!!!" teriak teman-temanku saat melihat kedatanganku dengan sayap yang sudah berfungsi. Mereka menyambutku dengan ceria dan lega, lantaran akulah satu-satunya yang belum get-day di antara mereka tadi. Resiko paling muda, kataku bangga sambil mengepakkan sayapku dengan sombong.
"Terima kasih teman, sebagai traktirannya, aku beri kalian sekantong madu yang kukumpulkan tadi" kataku sambil meletakkan kantong madu itu di atas meja.
Rumah pohon yang terbuat dari kayu ini adalah tempat kumpul kami, selalu menghabiskan waktu bersama di sini sejak kami masih menjadi peri kecil dulu sampai sudah get-day sekarang. Penghuni rumah pohon itu adalah kami, empat peri yang suka menjelajah.
Fhu adalah temanku yang paling pertama get-day, lebih tepatnya paling tua, mempunyai watak yang super duper dewasa, selalu menjadi penengah di antara kami yang masih berpikiran anak-anak. Rhoe adalah temanku yang bisa dibilang paling cantik, dan berasal dari keluarga terkaya nomor dua di Bumia, keluarga Oogu.
Satu lagi, Zee, si pemikir ini memang sangat cerdas, selalu saja menemukan solusi-solusi bagus saat kami masih suka menjelajah di bukit Mahira dulu. Tetapi sayangnya pertanyaan yang sering diajukannya itu kadang-kadang aneh. Haha. Lalu bagaimana denganku, jujur saja aku memiliki watak yang tidak ada bagus-bagusnya. Nakal, tidak mau diatur, kekanak-kanakkan dan juga suka marah-marah tidak jelas. Tetapi, itulah aku.
Sesuatu yang dari dulu aku ingin tahu dan sangat penasaran akan rahasia dibaliknya adalah Bumi. Chan dan Bee selalu saja bercerita tentang keburukan Bumi, tetapi aku rasa semua itu seperti omong kosong saja. Aku pernah membaca salah satu majalah ciptaan makhluk Bumi, bahasa kita tidak terlalu berbeda, hanya ada beberapa kata yang sedikit aku tidak mengerti, dan aku cukup penasaran dengan keadaan disana. Para peri di planetku juga pernah bercerita bahwa banyak makhluk-makhluk tak berperasaan yang disebut manusia di sana dan patut dijauhi. Apa benar?
"Zee, kau kan yang paling cerdas di sini, apa kautahu Bumi itu seperti apa?" tanyaku tiba-tiba saat semua sedang enaknya menyantap madu. Kompak mereka bertiga melihat ke arahku.
"Apakah aku harus menjawab pertanyaan tak berbobotmu itu Reey?" jawab Zee balik bertanya, mendengar jawaban itu aku cemberut, sedangkan mereka tertawa lepas melihat ekspresiku.
"Sudahlah, buang jauh-jauh pertanyaanmu itu dan segera habiskan madumu Reey, kalau tidak tiga peri kelaparan ini akan merebutnya" kata Fhu menenangkan suasana.
"Tapi aku penasaran" ungkapku dengan pikiran yang berkelibat dipenuhi imajinasi-imajinasi liar. Fhu, Zee dan Rhoe mencoba menghiraukannya dan terus saja menyantap madu lezat yang kubawa tadi.
Tanpa disadari sepasang mata dibalik pepohonan dan bersembunyi di semak-semak sedari tadi sibuk mengawasi empat peri tersebut, mencuri beberapa informasi dari apa yang ia dengar, lalu kemudian pergi.
"Heii, aku seperti melihat sesuatu di sana!" teriakku saat menyadari seperti ada yang lewat sekilas diantara semak-semak. Mereka melihat ke arah yang kutunjuk, karena tidak ada apa-apa, mereka pun bergumam lalu bergeleng-geleng.
"Reey, aku rasa kau harus dibawa ke tabib langgananku dulu" ucap Rhoe dengan ekspresi datar yang dibuat-buat.
***
"Shiit, teh apa ini? Sudah lima tahun jadi ibu tiriku, buat teh kesukaanku saja tidak bisa!" San memuntahkan teh yang diminumnya lalu meletakkan kembali cangkir teh tersebut. Lebih baik aku minum susu saja ucap San seraya berjalan keluar kamar menuju dapur.
San mengambil satu kotak susu siap minum berukuran sedang di kulkas, lalu kembali ke kamarnya yang terletak di lantai dua. Di perjalanan menuju kamar, tidak sengaja San melihat ibu tirinya sedang terdiam menatap teleskop ayahnya yang diletakkan di sebuah ruang kaca khusus barang-barang antik milik ayahnya itu. Lalu San mencoba mendekat dan memperhatikan apa yang dilakukan ibu tirinya itu. San hanya melihat ibu tirinya diam, lalu perlahan entah mengapa menangis sambil terus melihat teleskop ayahnya.
"Apa sih yang sebenarnya kaulakukan?" tanya San tiba-tiba, mengejutkan ibu tirinya yang langsung cepat-cepat menghapus air matanya.
"Aku selalu melihat kau terdiam lalu menangis sambil melihat teleskop butut ayah itu" ungkap San sambil menyeruput susu yang ada di tangannya.
Apa kau berniat ingin menjual teleskop itu, karena mungkin harganya sekarang sudah miliaran rupiah, lalu karena ruangannya terkunci dan kau tidak dapat mencuri dan menjualnya, jadi kau menangis? tanya San lagi dan lagi, senyum sinis pun menghiasi wajahnya. Ibu tirinya hanya terdiam, tidak menjawab satu pun pertanyaan San. Perlahan ia pergi meninggalkan San dengan seruntutan pertanyaan yang tak terjawab.
"Anggap saja semua jawabannya iya" cibir San seraya berniat pergi menjauh juga dari ruangan tersebut.
"Apa yang kautanyakan pada ibumu San?" sindir ayahnya kesal, tiba-tiba berada di depannya, San tertegun. Kemudian tersenyum sinis menatap ayahnya.
"Aku hanya bertanya apa yang seharusnya kautanyakan" jawab San singkat, lalu melewati ayahnya. Oh iya, ralat, dia bukan ibuku tapi ibu tiriku yah lanjut San berhasil membuat ayahnya terdiam seribu bahasa.
***
"Kita mau menjelajah kemana? Aku rasa sudah terlalu bosan ke bukit Mahira" tanya Rhoe tiba-tiba, aku dan yang lain hanya mengangguk mengiyakan.
"Bagaimana kalau ke Awan Cumolonimbus" usul Zee dengan mata yang berbinar-binar. Bagus, lumayan juga idemu Zee sahut Fhu sambil mengacak-acak pelan rambut Zee.
"Tidak, bagaimana denganku? Itu kan khusus 18 tahun ke atas, katanya berbahaya, banyak angin, hujan lebat, badai juga pula!!" sanggahku menggeleng-gelengkan kepala ketakutan. Ketiga temanku seketika langsung menatapku tajam.
"REEEEY, KAU KAN SUDAH 18 TAHUUUUN!!" teriak mereka bersamaan, bagus sekali, sangat kompak. Aku terdiam lalu menepuk dahiku dan sedikit merasa malu di depan mereka.
"Ma-maaf teman, aku lupa" kataku pelan dengan cengiran dan pipi yang memerah.
"Ya sudah, jadi keputusannya kita menjelajah ke Awan Cumolonimbus nih?" tanya Rhoe memastikan.
"Iya, jangan lupa minta izin dulu, lalu bawa perlengkapan seadanya dan kita kumpul disini jam 8 pagi, oke?" jelas Fhu panjang lebar, Zee dan Rhoe dengan cepat mengangguk, begitu juga aku walaupun dengan perasaaan sedikit terpaksa.
Malam harinya ketika sedang makan malam, aku berusaha meminta izin untuk misi penjelajahanku besok. Alhasil pesan terakhir mereka, "Reey, kamu itu baru saja 18 tahun, jika terjadi apa-apa denganmu bagaimana? Pokoknya pupu dan mumu tidak mengizinkan kamu ke sana, apalagi kalian perempuan semua."

Bumi+aTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang