Rhoe berjalan menuju rumahnya, terlihat begitu megah dari luar namun sepi di dalam. Rhin dan Rhies saudara kembarnya sudah tinggal di rumah mereka masing-masing, hanya pupu dan mumulah yang menghuni rumah sebesar ini sekarang.
"Aku lebih suka berada di rumah gugu dan tutu" jawab Rhoe saat ratu Lien memintanya pulang dan tinggal di rumah. Ratu Lien menanggapi jawaban Rhoe dengan kesal.
"Terlalu lama kau di sana, mereka sudah mulai menua, sudahlah cepat ambil barang-barangmu dan pindah ke sini secepatnya!!" suruh ratu Lien dengan nada tinggi.
"Aku akan menjodohkanmu dengan pangeran, jadi kau harus berada di rumah ini" lanjut ratu Lien membuat Rhoe menganga. Mengapa nasibnya sama seperti Reey. Apakah perjodohan sedang marak-maraknya di Bumia ini. Seperti tidak ada cara lain saja.
"Aku? Dijodohkan? Aku tidak mau" tolak Rhoe kesal dan pergi begitu saja meninggalkan mumunya sendirian terpaku dengan kalimat terakhir Rhoe.
Rhoe berjalan keluar rumahnya dengan rasa geram dan emosi yang tak terkendali. Bagaimana mungkin ia akan dijodohkan dengan pangeran yang ia kenal pun tidak.
Saat ia menuruni anak tangga terlihat peri yang ia kenali berjalan masuk ke dalam rumah. Roi? Sedang apa dia di sini? Rhoe bersembunyi agar Roi tidak melihat dirinya lalu diam-diam mengikuti Roi yang masuk ke ruangan mumunya itu.
Apa yang dilakukannya? tanya Rhoe berbisik dalam hati. Sangat mengesalkan sekali saat pintu ruangan mumunya itu ditutup rapat. Rhoe hanya bisa memasang telinganya di pintu berusaha mendengar semilir-semilir percakapan antara Roi dan mumunya.
"Saya sudah memberikan petunjuk-petunjuk kepada Reey ratu, dan mungkin sebentar lagi ia akan lenyap."
"Bagus Ron, kau memang prajuritku yang paling handal."
"Terima kasih ratu, sekarang kita hanya tinggal menunggu detik-detik hilangnya dia dari Bumia ini."
"Ia benar, tidak lama lagi, misiku akan selesai."
Percakapan singkat itu sangat jelas dapat didengar oleh Rhoe yang menguping dari balik pintu. Ia tidak menyangka Roi yang dikenalnya itu ternyata bernama Ron dan suruhan dari mumunya. Apa yang sebenarnya ada di pikiran mereka, mengapa mereka bertindak jahat pada Reey. Ada hubungan apa Reey dengan mereka. Pertanyaan-pertanyaan memusingkan itu berkutat-kutat di kepala Rhoe yang tampak tidak percaya dengan kelakuan mumunya. Melenyapkan Reey, apa untungnya.PRANG!!
Sebuah guci terjatuh, pecah. Rhoe terkejut, dilihatnya ke belakang tanpa sadar sayapnya menyenggol guci yang terletak di atas meja tadi. Seketika Ron keluar, melihat Rhoe berlinangan air mata dengan guci yang pecah di belakangnya.
"Kalian berdua..." kata Rhoe terbata-bata, Ron menatap tajam ke arah Rhoe. Dengan cepat dan cekatan ia menangkap Rhoe, memegangi tangannya dan membawanya ke ratu Lien. Rhoe pun menangis.
Melihat apa yang dibawa Ron ke hadapannya, ratu Lien terkejut. Puterinya yang malang, akhirnya mengetahui rencana busuk mumunya. Namun, kemudian ia tersenyum.
"Kurung dia di kamar Ron, jangan biarkan ia keluar!" suruh ratu Lien yang dibalas dengan anggukan Ron dan segera membawa Rhoe segera.
"Kau jahat Lien, tidak seharusnya kau berbuat itu pada temanku!!!" teriak Rhoe memberontak marah, namun tetap saja genggaman tangan Ron yang kuat mampu mengalahkan amukan Rhoe dan membawanya ke kamar.
Sesampainya di kamar, Ron melepaskan genggaman tangannya dan melemparkan tubuh Rhoe yang langsung tersungkur di lantai. Kejam sekali peri satu ini. Ternyata benar dugaan Reey, kau memang jahat!! teriak Rhoe sebelum pintu kamarnya tertutup dan dikunci rapat oleh Ron.
Rhoe berusaha berpikir jernih, mencari cara agar ia bisa keluar dari kamar ini. Kamar saat ia masih kecil dulu yang sangat ia sayangi. Jendela tertutup rapat, ventilasi juga sama. Tidak ada jalan keluar, ruangan ini terasa mencekam. Ditambah lagi rencana busuk mumunya yang ingin mencelakakan Reey. Rhoe terkurung dengan perasaan bersalah yang berlarut-larut. Menangis tersedu-sedu di pojokan kamar.***
San berjalan tergopoh-gopoh menuruni anak tangga dengan kemeja yang belum dimasukkan, dasi yang masih belum terpasang bergelentungan di lehernya, serta sepatu dan jasnya yang ditentengnya begitu saja. Ayah dan ibu ternganga melihat kelakuan anaknya itu.
"San kau tidak makan dulu?" panggil ibu tirinya yang berada di meja makan sibuk menyiapkan sarapan pagi. Ayah mengangguk, membenarkan kalimat istrinya.
"Tidak ada waktu" ucap San buru-buru pergi meninggalkan rumah.
Tidak tahu kenapa, pagi ini San bangun terlambat. Alarm tadi pagi sama sekali tidak terdengar, seperti ada sesuatu yang menutupi telinganya saja. Cepat-cepat San menuju garasi mobilnya, membuka pintu dan langsung tancap gas tanpa berpikir panjang lagi.
Jam 09.20. Terlambat dua puluh menit bukan waktu yang sedikit, talkshow pertamanya ini benar-benar berjalan tidak sesuai rencana. Saat pertama kali tiba, beberapa crew acara mengkerubungi San dan sibuk bertanya seputar penyebab keterlambatan San. Ia hanya menjawab karena macet, untung saja semuanya percaya.
Para penata rias sibuk merapikan pakaian San, menata rambutnya dan membenahi wajahnya yang tampak berkeringat. Acara mundur setengah jam, untung pak sutradara dapat mentolerir keterlambatan ini jika tidak bisa gawat.
"Camera rolling action!" teriak pak sutradara dan sesaat kemudian talkshow dimulai. Tampak San yang memakai jas lab putihnya tersenyum ke arah kamera. Begitu manis, mungkin penonton yang menyaksikan acara talkshow ini akan terbang melayang melihat senyuman San di layar televisi. Buktinya, yang ada di studio saja sudah meringis-ringis kegirangan tanpa suara melihat bintang tamu kali ini adalah San.
"Baiklah, kita sekarang kedatangan peneliti termuda yaitu Sandi Atmadja, seorang laki-laki yang berhasil menamatkan pendidikan S2 nya dalam usia 22 tahun!" kata host membuka acara dengan senyum lebar, langsung disambut dengan tepukan tangan meriah dari penonton di studio.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi+a
Fantasy"Maaf, aku belum pernah bertemu dengan makhluk luar Bumi, dan aku pikir makhluk-makhluk itu tidak ada" jawab San akhirnya dengan tawa yang masih juga belum mereda, yang lain hanya ikut tertawa mendengar celotehan San. Ya, itu terdengar sangat je...