San tiba di rumah pukul 11 malam, jam pulang yang tidak seperti biasanya. Tampak ibu tirinya sedang tertidur pulas di atas sofa ruang tamu, dari raut mukanya ia pasti kelelahan menunggu. San mendekatinya, lalu tersenyum sinis menatap ibu tirinya itu.
"Kau tidak akan bisa merubah penilaianku tentangmu sedikit pun ibu tiri" bisik San pelan lalu berjalan menuju kamarnya dengan rasa kantuk yang luar biasa.
Tanpa disadari, sedari tadi ayah San melihat tingkah laku anaknya itu, apa yang sebenarnya ada di pikiran anak itu. Kelakuannya makin lama makin tidak baik saja. Tidak ada sopan-sopannya sama sekali dengan orang yang lebih tua.
"San, jaga omonganmu, kautahu sudah berapa lama dia menunggumu di situ?" maki ayahnya membuat langkah San terhenti dan berbalik melihat ke arah asal suara.
"Aku tidak minta ia menunggu kok" sanggah San.
"Cobalah mengerti San, bukan hanya kau yang tersakiti di sini" lanjut ayahnya.
"Lalu siapa? Dia juga?" tunjuk San ke arah ibu tirinya.
"Aku tidak bisa menjawab itu, kau sudah besar tidak kecil lagi San, seharusnya kaudapat mengerti" jawab ayahnya yang tak sesuai dengan yang diharapkan San.
"Aku rasa ia tidak merasakan sakit apapun, justeru bahagia karena naik pangkat, dari selingkuhan menjadi istri" hardik San pada akhir kalimat yang benar-benar menyakiti ayahnya. San menaiki anak tangga dengan cepat, rasa lelahnya bertambah akibat perdebatan singkat dengan ayahnya itu.
Sesampainya di kamar San merebahkan badannya di kasur, memegangi kepalanya yang terasa pusing. Mengingat-ingat kembali kematian ibunya yang sangat menyedihkan itu, berharap kejadian lima tahun yang lalu tidak pernah terjadi. Ingin rasanya kembali pada sifatnya yang riang seperti dulu, memiliki keluarga yang utuh dan bahagia, hidup dengan keharmonisan, dan kasih sayang penuh dari ayah dan ibunya.
Namun, semua tinggal kenangan, masa lalu yang manis dan penuh arti itu berubah menjadi pahit dan menyeramkan dalam sekejab.***
Pagi harinya aku terbang menuju rumah pohon. Kulihat Fhu, Zee dan Rhoe sudah bertengger di sana. Mereka menatapku ketika datang dengan penuh tanda tanya di wajah mereka. Pasti sebentar lagi akan muncul pertanyaan-pertanyaan bodoh yang malas kujawab.
"Reey, kita dengar kau dijodohkan dengan pangeran Istana?"
Nah kan, apa kubilang. Pertanyaan itu keluar dari mulut Zee yang sangat suka bertanya dengan pertanyaan konyol. Aku hanya mengangguk mengiyakan.
"Lalu apa kauterima itu semua? Kupikir kau masih terlalu kecil untuk dijodohkan" tanya Fhu sedikit bingung, setuju sekali aku dengan tanggapannya.
"Tapi tidak apa-apalah Reey, lumayan, kudengar pangeran Han sangat tampan dan baik" ralat Rhoe berkhayal yang tidak-tidak. Tampan dan baik? Itu hanya ada di mimpimu saja Rhoe. Sangat berkebalikan, mungkin kalau untuk tampan bisa kukatakan benar karena mungkin pangeran dirawat dengan baik di Istana. Tapi kalau baik, aku tidak bisa terima. Bagiku, dia lebih jahat dari peri penjahat sekali pun.
Tiba-tiba Roi datang, mengagetkan kami yang sedang asyik mengobrol. Kenapa si juju itu datang lagi. Sudah berkali-kali kukatakan jangan muncul di sini, tetapi ia masih saja muncul dan berbicara seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Aku sudah muak mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya itu. Kalimat yang hanya berisi penghinaan saja.
"Boleh aku bicara dengan Reey sebentar?" katanya meminta izin kepada teman-temanku yang merasa terganggu karena sama saja Roi mengusir mereka secara halus.
"Boleh, tapi jangan lama-lama, kami pergi ke bukit Mahira dulu" kata Fhu akhirnya dengan nada suara yang seperti tak rela.
Mereka pun pergi, Roi menghampiriku yang terlihat sedih dan tak ingin banyak bicara. Duduk di sampingku yang sibuk mengayun-ayunkan kaki ke bawah. Tidak ingin berdebat dengan Roi saat ini.
"Maaf untuk yang kemarin" katanya datar, merasa menyesal dengan yang ia katakan kemarin. Aku tidak menjawabnya, terus saja menatap lurus ke arah pemandangan yang mungkin akan membuatku lebih baik.
"Aku ingin membenarkan perkataanmu Reey, sebenarnya ketika kau memanggilku juju, itu benar" katanya polos, seketika aku langsung mendelik ke arahnya. Merasa aneh dengan yang ia katakan barusan.
"Aku memang sudah berusia 31 tahun sekarang, dan hanya kau yang menyadari itu" lanjutnya makin membuatku bingung.
"Kaubicara apa sih?!" tanyaku kebingungan.
"Sewaktu aku berhasil masuk ke Awan Cumolonimbus sebelumnya, aku memakai Everlasting Water yang berfungsi membuat wajahku tidak berubah sedikitpun walau umurku sudah bertambah, dan yang hanya bisa melihat perubahanku hanya peri yang mempunyai pearlwings sepertimu Reey, maka dari itu kau memanggilku juju" lanjutnya panjang lebar, cukup membuatku pusing mendengar cerita masa lalunya.
"Lalu apa urusannya denganku? Jangan katakan kalau kausuka denganku. Aku tidak bisa berbohong karena aku memang tidak suka denganmu sama sekali" kataku lantang dengan penekanan kata di akhir kalimat.
"Kau memang peri yang sangat jujur Reey" katanya dengan tawa kecil sambil mengusap-usap rambutku yang jadi berantakan karenanya.
"Aku hanya tidak ingin peri langka sepertimu, dimanfaatkan oleh keluarga Istana" lanjutnya cukup membuatku tertegun. Ia sependapat denganku.
"Lalu apa yang harus aku lakukan? Kautahu, tidak ada yang bisa menentang keinginan keluarga Istana, keputusan mereka tidak bisa diganggu gugat" keluhku mulai terbawa emosi. Roi tampak berpikir, diam sejenak, hanya kedipan dan bola matanya yang tampak bergerak.
"Ada" ucapnya tiba-tiba.
"Ada apanya?" tanyaku bingung.
"Ya, ada caranya bodoh" makinya menempeleng kepalaku keras, mungkin pertanyaanku tadi harus kupertimbangkan dulu sebelum kulontarkan.
"Apa caranya?" tanyaku sambil mengusap-usap kepalaku yang terasa sakit.
"Kauingat Take&Give waktu itu?" katanya mengingatkan kembali akan alat itu, langsung membuat bola lampu menyala terang di kepalaku. Kenapa aku tidak berpikiran ke situ. Aku bisa pergi kemana saja dengan portal itu. Termasuk ke bumi, planet yang ingin sekali kukunjungi.
"Lalu apa yang dapat kutukarkan sebagai gantinya?" tanyaku pada Roi yang langsung tersenyum manis namun jahat di sisi lain.
"Pearlwings" jawabnya singkat, sontak aku langsung ternganga melihat ke samping. Sayapku tampak bergerak-gerak pelan mengikuti gerakan angin. Bagaimana nantinya kalau aku tidak mempunyai sayap lagi. Pasti semua akan terasa melelahkan, sama seperti sebelum get-day waktu itu. Apa aku rela, sayap yang baru kugunakan belum lama ini kutukarkan hanya demi pergi ke bumi saja. Hal ini membuatku berada pada kebingungan tingkat dewa.
"Tapi, apa bisa aku kembali lagi ke Bumia ini?"
Roi terdiam, seperti memikirkan jawaban yang tepat untukku.
"Bisa saja, suatu saat" katanya singkat. Jawaban yang sangat tidak pasti.
"Heiiii kalian berdua, sudah puas ngobrolnya?!" teriak segerombolan temanku yang baru datang, membawa madu berkantong-kantong di tangan mereka.
"Puas? Liat muka juju ini saja sudah ingin membuatku muntah" sahutku menanggapi mereka.
"Dia cukup tampan dan cocok denganmu kok Reey!!" puji Rhoe yang sangat handal menilai ketampanan peri, seperti mempunyai perangkat alat tampanmeter di matanya itu.
Aku hanya bisa mengulum senyum sekaligus bergidik membayangkannya, belum tau saja mereka, sebenarnya Roi sudah tidak pantas lagi dikatakan tampan. Dia hanya peri aneh, yang menggunakan Everlasting Water untuk membohongi semua peri. Kulirik ke arah Roi yang hanya tersenyum-senyum menanggapi gurauan kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi+a
Fantasy"Maaf, aku belum pernah bertemu dengan makhluk luar Bumi, dan aku pikir makhluk-makhluk itu tidak ada" jawab San akhirnya dengan tawa yang masih juga belum mereda, yang lain hanya ikut tertawa mendengar celotehan San. Ya, itu terdengar sangat je...