VII. Cookies

156 22 2
                                    

Seperti biasa, aku mengunjungi rumah Nenek Oliv. Seperti yang kubilang, itulah rutinitasku.

Aroma amis ikan besar yang kemarin masih belum hilang. Dan itu membuat perutku merasa terkocok lagi, kalau saja Nenek Oliv dan Rinka tak mengajakku untuk berkebun, mungkin saat itu juga aku akan muntah di ambang pintu ini.

Tapi itu tak berlangsung lama, karena kami hanya menyirami dan membasmi hama saja.

"Kenapa kau mengangkat pot anggrek itu?" tanyaku pada Nenek Oliv, yang terlihat sedang mengangkat pot bunga anggrek.

"Jangan bertingkah seolah aku tak tau kau. Aku tau, kau tak tahan kan dengan bau amisnya ikan itu. Anggrek ini akan meminimalisirnya." jawabnya seolah tau apa yang kurasakan sebelumnya.

"Hohoho, jangan menganggap aku ini lemah Nenek Oliv. Aku tak lemah, lagipula itukan hanya bau." ucapku tak ingin terlihat lemah, terutama di depan Rinka.

Urgghh astaga, kenapa aku merasa ingin menjadi sempurna di depannya? Menurutku tak ada yang spesial darinya, tapi kuakui matanya bagus. Jangan salah, mata naifnya tak sesuai dengan sifatnya.

"Jangan membual, wajahmu jelas terlihat ingin mengeluarkan sesuatu dari perutmu itu." ucap Rinka memberi pernyataan. Baiklah, dia pandai membaca mimik wajah.

"Kapan kalian akan berhenti bertengkar hah?" hardik Nenek Oliv, menatapku dan Rinka dengan mata elangnya.

"Mungkin saat sikapnya berubah menjadi baik." jawabku sembari menunjuk Rinka.

"Jangan menunjukku, kau duluan yang mulai." balasnya dengan memukul tanganku yang sedang menunjuk.

"Berhentilah bertengkar dan bantu bawakan anggrek ini." ucap Nenek Oliv menghentikan pertengkaranku dan kami pun menurutinya.

***

Sesampainya di rumah Nenek Oliv, dia berpesan untuk menjaga rumah bersama dengan Rinka karena ingin ke kota sebentar.

"Jangan lama-lama, aku tak akan merasa tahan bersama dengan gadis apel ini," ucapku sambil memohon pada Nenek Oliv.

"Hah!? Yang ada aku tak tahan denganmu, kurasa kau tak mandi selama seminggu ini." hardik Rinka tak terima dan berkacak pinggang.

"Sudalah, kalian baik-baik di rumah ya. Jangan berbuat yang macam-macam." ucap Nenek Oliv dan memicingkan matanya saat mengucapkan kalimat terakhir.

Aku menelan salivaku berat. Nenek Oliv sangat menyeramkan jika sudah marah.
Pernah sekali aku berbuat kesalahan, tak sengaja aku merobek seprainya yang sedang dijemur dengan cakarku. Waktu itu aku sedang dikejar oleh sekumpulan lebah karena saat ingin mengambil buah tak sengaja aku menendang sarangnya.
Karena merobek seprainya, dia menyiramiku dengan air panas yang saat itu dia juga sedang ingin membuat teh.

Rinka melambaikan lengannya saat Nenek Oliv sudah pergi dan aku hanya menatap punggung Nenek Oliv yang semakin mengecil.

Karena bosan aku memutuskan berbaringan saja di atas kasur sampai Nenek Oliv kembali, tapi kuurungkan niatku saat aku melihat Rinka sedang mengerjakan sesuatu.

"Kau sedang apa?" tanyaku dengan tangan kananku masuk ke kantung celana.

"Belajar membuat cookies." jawabnya datar dan terlihat fokus menimang tepung.

"Hentikanlah, kau hanya akan menghabiskan bahannya nanti," ucapku meremehkan dan menatapnya remeh sekaligus gemas karena dia tak menghiraukanku.

"Hmmm," dia medengarkanku tidak sih?
"Kenapa kau hanya diam? Tumbuklah biji coklat ini!" perintahnya sekaligus memberikan mangkuk berisi biji coklat kering.

"Hah!? Tidak mau, memangnya kau siapa memerintahku seenaknya!?" protesku tak terima.

"Baiklah. Jangan harap kau dapat bagian," ancamnya dengan sarkastik.

Urggg baiklah, bagaimanapun juga bahan-bahan kue itu adalah hasil dari usahaku berkebun, memanen, serta mencari ke bagian hutan lain.

Aku pun membantunya membuat kue, dengan terpaksa.

«¤»

Selasa, 9 April 2019

15 Days With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang