VI. Ikan Besar

160 22 1
                                    

Perasaan aneh ini tak mau menghilang saat aku sedang melihatnya dalam diam. Saat sedang berdebat dengannya, ingin rasanya aku mengalah. Tapi rasa gengsiku lebih besar. Semakin hari dia semakin indah di mataku, walaupun penampilannya masih sama dan sifatnya juga sama.

Tak terasa sudah 7 hari dia tinggal di hutan ini, bersama Neneknya. Pernah aku menanyakannya, kenapa tidak pulang ke kota. Tetapi dia hanya menunduk sedih dan menjauhiku untuk beberapa jam.

Perasaan ini sangat aneh tapi menenangkanku jika mengingat dirinya dan dapat membuatku tersenyum sepanjang hari jika memimpikannya. Banyak waktu ku habiskan bersamanya. Bermain bersama, beraktivitas bersama, berdebat kecil, dan melindunginya dari bahaya yang datang.

"Heii! Rolend! Kenapa sih, akhir-akhir ini kau sering melamun? Sakit ya?" lagi-lagi Rinka menyadarkanku dari lamunanku dan menyentuh jidatku dengan punggung tangannya.

"Aku baik-baik saja," jawabku beralasan.
"Kau sudah dapat berapa ikan?" tanyaku penasaran. Saat ini aku sedang menemaninya memancing dan ikannya tak terlalu banyak.

"Baru dapat satu. Ahh.. ikan!" jawabnya lalu terpekik kaget, karena umpannya termakan.

"Wahh, sepertinya besar ya?" ucapku terkagum, melihat Rinka kesulitan menarik pancingannya.

"Jangan diam saja! Bantu aku!" hardik Rinka dan terus menarik pancingannya. Ikan ini pasti besar, kukira hanya Rinka yang tak kuat menarik ikannya. Ternyata aku pun kesulitan.

"Hitungan ketiga!" ucap Rinka dan aku mengangguk paham.

"Satu!" "dua!" "tiga!!" hitung kami bersamaan dan pada hitungan ketiga, kami menarik pancingan dengan bersamaan. Ikan sebesar setengah dari badanku melayang dan akhirnya terkapar di tanah. Aku benar-benar takjub sekaligus takut, berhubungan ikan itu mahluk hidup.

"Kita kembalikan saja, dia kasihan," ucapku sambil meremas ujung bajuku karena khawatir.

"Tidak mau, Nenek akan senang melihatnya." tolaknya lalu memukuli ikan itu hingga tak bergerak. Dia sangat sadis.

"Kau membunuhnya! Astaga!" aku terpekik kaget dan menutup mulutku.

"Kenapa sekarang kau malah jadi feminim? Biasanya kau selalu berani, bahkan kau telah membunuh kumbang!" ucap Rinka karena sikapku.

"Heii!! Aku tidak membunuhnya tau! Kumbang itu masih hidup, dia kelelahan karena aku sudah menghajarnya habis-habisan!" hardikku tak terima dituduh membunuh.

"Terserah. Tolong bawa ikan ini, berat. Kau kan kuat." huh!! Memangnya dia siapa memerintahku seenaknya. Aku melihat ikan itu dengan ragu dan menelan salivaku dengan berat. "Apa yang kau tunggu?" tanya Rinka lagi, dia menyebalkan. "Yare~ yare~ kau tak berani ya? Membawa ikan mati?" lanjutnya tapi dengan nada menggoda.

Tentu saja aku tak mau di anggap pengecut olehnya, tapi benar juga aku tak berani dengan ikan yang sudah tak bernyawa itu.

"Eng-enggak kok! Sini aku bawakan!" ucapku dengan lantang lalu mulai memegang ikan itu. Aku tak kuat lagi dengan bau amisnya dan bulu kudukku berdiri begitu memegang dagingnya.

Aku muntah di tempat saat itu juga.

***

Kami baru saja sampai di rumah Nenek Oliv. Ikan itu kami bawa dengan ditandu menggunakan ranting yang kokoh. Jangan tanya siapa yang mengikat dan memindahkan ikannya, karena aku tak kuat memegang daging.

"Wahh!! Kalian baru saja mendapat Rajanya ikan yaa! Aku akan membuat sashimi dan ikan rebus sepertinya enak, apa dipanggang saja ya?" Nenek Oliv terkagum dengan ikan itu, tapi kebingungan untuk mengolahnya.

"Ja-" Rinka memotong ucapanku.
"Kalau kau tak suka yasudah tak usah makan. Awas saja kalau kamu makan ikan ini nanti!" hardik Rinka lalu bersedekap.

Nenek Oliv tidak menghiraukan pertengkaran kecil kami dan langsung beringsut untuk mengolah ikan itu. Dia mengolahnya menjadi ikan rebus, ikan bakar, dan sup ikan. Dia tidak mengolahnya menjadi sashimi karena kekurangan bahan makanan.

Setelahnya mereka berdua memakan ikan itu dengan lahap, aku tak kuat melihatnya dan memutuskan untuk memakan buah saja sambil memalingkan wajah dari mereka berdua.

«¤»

Selasa, 2 April 2019

15 Days With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang