XIII. Berbagi Kenangan

122 16 1
                                    

Saat aku sedang berkeliling sejenak, aku menemukan suatu cahaya yang mengundangku untuk mendekatinya.

Tepatnya di bibir gua yang para manusia kenali berhantu. sebenarnya itu hanya kejahilanku saja, aku tak ingin mereka merampas kekayaan hutan ini.

Saat aku mendekati, ternyata ada batu amnesti yang tergeletak begitu saja. Mungkin saat aku tidak mengawasi, para manusia itu sudah mulai nekat untuk mengambil harta yang ada di dalam sana dan tanpa sengaja batu ini terjatuh.

Aku mengambilnya dan sebersit ide muncul di kepalaku.

***

"Sejak kapan kau datang?" suara familiar itu bertanya dengan terheran.

"Baru saja," jawabku yang sedang duduk di depan perapian Nenek Oliv.

"Nenek kemana?" tanyanya lebih lanjut lalu duduk di sebelahku kemudian memeluk lututnya.

"Dia pergi sejenak, katanya ada urusan di kota," jawabku tanpa menoleh ke arahnya.

"Begitu. Aku punya sesuatu untukmu," ucapnya lalu dia menyodorkan sapu tangan berwarna krem dengan sulaman indah.

"Ini, untukku?" tanyaku lalu melihat matanya, dan dia menganggukan kepalanya.

"Iya, untukmu. Aku membuatnya jika sedang tak bersamamu. Mungkin hanya ini yang bisa ku beri, aku ingin apa yang sudah kita lakukan dapat selalu dikenang," ucapnya tersenyum tulus, wajahku pasti memerah.

"Terima kasih," jawabku mengambil pemberiannya dan berangsur memeluknya erat.

"Iya," ucapnya dan memelukku kembali.

"Terlihat cantik," ucapku begitu melepas pelukannya.

"Hah? Apa?" tanyanya kebingungan, aku menunjuk bagian atas dadanya dengan tersenyum bangga.

"Hah? Apa?" tanyanya kebingungan, aku menunjuk bagian atas dadanya dengan tersenyum bangga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ini...," ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya dari kalung terrarium yang kuberikan.
"Terima kasih, aku tak pernah mendapat hadiah secantik ini," lanjutnya dan memelukku lagi.

TUKK!!
"A-aku tak pernah melihat kalian seakrab ini," Nenek Oliv menjatuhkan barang bawaannya dan menatap kami dengan setengah terkejut.

"Eeeenggg," aku menggaruk kepalaku ragu.

"Ya, begitulah. Lagipula tak lama lagi aku akan kembali, jadi kami tak ingin hanya meninggalkan kesan buruk."

***
Keadaan di meja makan, begitu meriah dengan tawa Nenek Oliv dan Rinka. Mereka tertawa dengan lawakanku yang terkadang tidak masuk akal bagiku.

"Lalu kau tau apa?" tanyaku agar salah satu dari mereka dapat menebak.

"Hahaha Apa?" tanya Rinka kembali dengan wajah yang tertawa.

"Seekor musang kentut, dan teman pemburu itu mengira bahwa dia telah mengeluarkan kotoran dalam celananya! Hahaha." ucapku lalu tertawa dan memukul meja makan.

"Rolend, kenapa lawakanmu begitu jorok! Kita sedang di meja makan!" hardik Nenek Oliv, dan marah tidak terlihat di wajahnya.

"Tetap saja kau tertawakan! Hahaha!" ucapku, menurutku tingkah Nenek Oliv lucu, karena dia memarahiku tapi masih saja tertawa.

Begitu acara makan malam berakhir, aku keluar sebentar dan merasakan angin malam yang dingin.

"Aku kira kau sudah kembali ke tempatmu?" tanya Rinka yang mungkin sedang ingin merasakan angin malam juga.

"Belum, aku masih ingin di sini sejenak," ucapku sembari menengadah ke langit yang ditaburi bintang.

"Begitu, besok mari kita ke kota." ucapnya dan mengikutiku, menengadah ke langit.

"Tidak, jika aku harus mengenakan gaun lagi." sergahku dengan wajah kesal.

"Hahahaha, kenakan saja pakaianmu yang biasa." jawabnya, dan menatapku setengah tertawa.

"Hah? Kau ingin aku terbunuh?" tanyaku dengan heran.

"Tidak, sudah berapa lama kau hidup?" tanyanya dan kembali menengadah.

"Hmmm, aku tidak yakin. Sepertinya kurang lebih satu setengah abad." jawabku santai.

"Astaga! Aku sudah berciuman dengan mahluk tua," ucapnya sambil menutupi bibirnya dan matanya sedikit terbelalak.

"Setidaknya aku masih tampan kan? Kau saja sampai suka padaku." candaku dan memasang wajah sombong.

"Sombongnya... tapi aku serius, kenakan saja pakaian biasamu. Saat aku pergi nanti, aku akan mengajak Nenek. Kau harus beradaptasi dengan manusia, pemikiran kami tidak seprimitif dulu kok," ucapnya lalu kembali tersenyum.

"Lalu kenapa kau memintaku mengenakan gaun waktu itu?" tanyaku heran.

"Agar kau mengenali sedikit suasana kota. Lagipula kau tidak akan ke kota jika aku tidak begitu, kau kan penakut," jawabnya, benar aku takut dengan manusia banyak, karena mereka juga yang membunuh orang tuaku.

"Baiklah, mari besok ke kota."

«¤»
s

orry baru up hehe, keasikan liburan

Minggu, 9 Juni 2019

15 Days With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang