IX. Masalahnya

138 18 1
                                    

Aku terheran-heran karena wajah Rinka terlihat murung setelah kembali dari kebun.

"Hei, kau kenapa?" tanyaku padanya, dan seketika dia langsung tersenyum dan tertawa. Ini aneh, dia terlihat seperti menutupi sesuatu.

Lagipula dia tak pernah tertawa tanpa sebab seperti itu, bahkan terkadang leluconku bisa membuat kami bertengkar.

"Kau menutupi sesuatu, berhenti untuk menutupinya. Ceritakanlah, mungkin aku bisa membantu." bujukku, lalu wajahnya terlihat seperti marah.

"Bukan urusanmu, dan aku juga tak berniat untuk membicarakannya. Membuat aku frustasi berat." ucapnya dengan suara berat.

Kulihat dia juga menggenggam sebuah kertas yang digulung, tetapi menjadi lecak karena dia menggenggamnya dengan kencang.

Dengan cepat aku merebutnya saat dia lengah dan melayangkannnya di udara.
"Apa ini yang membuatmu seperti ini?" tanyaku, dia seperti berusaha mati-matian untuk mendapatkannya kembali.

"Kembalikan! Itu adalah privasiku! Itu bukan urusanmu juga!" hardiknya marah sambil sesekali memukulku dengan kencang.

"Tidak sampai kau menceritakannya. Dengar, aku saja tidak bisa melihat Nenek Oliv bersedih sedikitpun. Apalagi dengan kau, yang adalah cucu kesayangannya." aku tahu terdengar bodoh, tapi sungguh aku tak bisa melihatnya seperti ini.

"Yasudah kembalikan!" teriaknya. Lalu dia berhenti untuk menggapai kertas ini, dan tangannya menutupi wajahnya. Dia menangis.
"Kembalikan.." ucapnya pelan dan terisak.

"Baiklah," ucapku pelan lalu menghela nafas pelan.

SREETT
Aku merobek kertas itu lalu membuat gumpalan bola.
"Dengan begini, berhentilah menangis. Aku tak akan tahu masalahmu apa, tapi berhentilah menangis. Kembalilah ceria." ucapku, lalu menepuk-nepuk kepalanya. Aku tak pernah melakukan ini, aku melakukannya karena instingku berkata begitu.

***

Tentu, tak semudah itu aku menyerah. Sebenarnya kertas itu tidak kubuang, melainkan ku kantungi.

Setelah keluar dari gubuk Nenek Oliv, aku segera pergi ke tempat yang agak terang dan mulai menyusun kertas yang telah ku robek tadi siang.

Setelah kertas itu tersusun aku membacanya dengan pelan, kau tahu? Agak sulit membaca kertas yang sudah sobek, karena sebagian tulisan tidak terhubung membuatku harus teliti membacanya.

Setelah membacanya aku merasa hatiku seperti digiling. Aku tahu seharusnya aku senang mengetahuinya karena itu bisa menjadi bahan ejekanku. Tapi aku tak merasa sesenang itu.

Aku tertawa kecil berusaha untuk tidak sedih, tapi sepertinya gagal dan malah menjadi titisan-titisan kecil yang keluar dari mataku. Ya ini tak biasanya dan hampir tak pernah, aku menangis.

***

Keesokannya, seperti biasa. Aku mengunjungi gubuk Nenek Oliv,
"Halooo...," ucapku dengan panjang setelah membuka pintu.
"Hmm, tak ada orang." gumamku, lalu aku beranjak untuk pergi ke kebun.

Dugaanku tepat mereka sedang menyirami kebun. Nenek Oliv melihatku dan memanggilku.
"Kemarilah dan bantulah membuang hama ini, ini menyebalkan mereka memakan sayurku yang masih kecil ini."
Perintahnya. Tentu aku langsung menghampiri untuk membantunya.

Aku sengaja untuk melihat sayur yang terdekat dengan Rinka, untuk sekadar berbincang dengannya.
"Hei," sapaku.

"Hmm?" gumamnya sembari masih sibuk dengan kegiatannya.
"Kalau kau menanyakan bagaimana keadaanku. Aku biasa saja." lanjutnya dengan dingin.

"Oh," selanjutnya pekerjaan dilakukan dengan sangat canggung.

Bahkan sampai malam tiba pun, kami tak berbincang sedikitpun. Sampai Nenek Oliv keluar sebentar untuk menimba air.

"Aku tau masalahmu, berhentilah mengabaikanku." tukasku sambil menatapnya lekat.

"Begitu..," ucapnya tenang, lalu secara tiba-tiba dia menarik kerahku. Dia kembali seperti biasanya.

"Bodoh! Kenapa kau membaca suratnya bodoh! Bukankah sudah kubilang untuk tidak membacanya! Itu privasiku bodoh!" teriaknya sambil mengumpatiku.

Aku tertawa renyah sambil memegang tangannya yang menarik kerahku, agar segera dilepaskan olehnya.

"Ehehehe, tapi bukankah itu bagus? Setidaknya ekonomi keluargamu tidak akan sesulit sekarang kan?" ucapku sambil masih tertawa renyah.

"Tidak! Itu tidak bagus bodoh! Aku tidak menyetujuinya bodoh!" teriaknya lagi, lalu dia mulai menangis.

"Eh?"

«¤»

Terima Kasih yang sudah baca sampai sejauh ini ^°^!!

Selasa, 23 April 2019

15 Days With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang