Aku menggigit sepotong roti coklat yang kini menjadi sarapan pagiku sambil tersenyum-senyum tipis. Bukan tanpa alasan, tapi karena kejadian tadi malam yang membuatku sulit melupakannya. Gadis manis itu merebahkan tubuhnya di sampingku setelah kopinya habis. Kami banyak sekali bicara malam itu. Tentang dirinya. Aku tahu, bahwa ia hanya tinggal berdua dengan kakak laki-lakinya yang berkuliah di salah satu perguruan tinggi negri ternama di Jakarta, kedua orangtuanya tinggal di luar kota karena pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Gadis kopi itu seringkali bekerja part-time saat liburan untuk mendapatkan uang jajan tambahan. Kami tertawa bersama malam itu. Bertukar nomor handphone, bermain teka-teki dan masih banyak hal lainnya. Satu hal yang aku tangkap dari seluruh pembicaraan kami semalam. Gadis itu childish tapi juga mandiri.
Hingga setelah lelah berbincang-bincang, dia nampak kedinginan karena angin malam yang terus saja berhembus kencang. Spontan aku langsung menggosok-gosokkan kedua belah telapak tanganku lalu memegang tangannya yang terasa dingin.
Dia tersenyum.
Lagi-lagi, aku menyukainya.
"Bro, cepet abisin!" Senggolan Willy membuyarkan lamunanku hingga roti di tanganku jatuh.
"Yaelah Wil, lo rese banget sih," gerutuku kesal.
"Mikirin apaan sih lo? Senyum senyum segala."
"Mikirin elo," aku mengedip-ngedipkan mataku pada Willy.
"Jijik!"
***
Aku mengangkut tas ku yang nampaknya sudah lebih berat daripada saat berangkat kemarin. Sebelum membawanya ke bis, aku mampir ke kolam terlebih dahulu. Tidak ada Ree disana. Hanya ada gadis sebaya yang agak mirip dengan Ree. Dia sahabat Ree yang entah sampai saat ini belum kuketahui namanya. Gadis itu nampak terkejut dengan keberadaanku.
"Lo Gavin kan?" Tanyanya. Aku mengangguk.
"Pasti nyariin Ree." Ucap gadis itu seolah mengetaui semua isi otakku. "Ree nya barusan aja pergi ke arah curug. Gue ngga sempet ngeliat dia sama siapa tadi."
"Oke, makasih e.." ucapanku terpotong karena tidak mengetahui nama lawan bicaraku ini.
"Nama gue Alin."
"Makasih Lin." Aku berlari secepat mungkin. Namun, sepertinya aku tak akan bisa berlari dengan tas yang cukup untuk membuat tulang-tulangku patah ini. Aku berbelok ke arah villa untuk menitipkan tas ku pada Willy dan memintanya untuk membawakan tas ku ke bis.
Entah apa yang terjadi, Willy pun tak ada di sana. Aku mengernyitkan dahiku dan memutuskan untuk langsung membawa tas ku menuju bis tanpa pergi ke curug yang jaraknya cukup jauh dari villa.
Setibanya di bis, aku tak menemukan Willy. Mataku menerawang ke arah bangku belakang dan aku juga tak menemukan Ree.
"Gave, lo liat Willy gak?" salah seorang panitia menanyaiku. Aku menggeleng.
"Ree juga ngga ada, kak. Tadi katanya ke curug."
"Coba lo misscall Willy deh, siapa tau dia sama Ree. Soalnya handphone Ree gak aktif." Sahut Alin yang duduk di belakangku.
Sebelum aku sempat menelpon Willy, mereka langsung tiba di bis. Berbagai pertanyaan muncul di kepalaku. Apakah mereka pergi berdua ke curug? Kok bisa? Apa Willy udah kenal lama sama Ree?
***
It hurts but its okay
Because we can't force someone to feel the same as we feel from them
***
Mulai hari ini kayaknya author bakal update seminggu sekali karena author lagi sibuk banget sama tugas sekolah.
So, don't forget to vote and comment!!!
Love,
Author
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Kopi
JugendliteraturSeperti halnya kopi, realitas pun begitu. Ada kalanya hidup ini pahit bagi yang tidak menikmatinya. Tapi bagi penikmat sejatinya, hidup terasa begitu nikmat. Akan tetapi, hidup ini cair. Semesta ini bergerak. Kita hanya perlu meyakinkan hati kita...