Nyatanya, ungkapan kecemburuan itu hanya tersimpan di dalam hatiku. Jauh-jauh. Aku hanya tak ingin kau mengetahuinya.
Aku takut.
Aku takut jika harus kehilanganmu.
Aku mencintaimu tanpa peduli tentang apakah kamu mencintaiku atau tidak. Aku tidak memaksamu untuk jatuh hati seperti yang aku lakukan. Aku hanya peduli satu hal bahwa aku mencintaimu tanpa syarat. Biarlah hanya aku dan semua doa-doaku pada Tuhan yang mungkin suatu saat nanti kuyakini akan membawamu kembali padaku.
Kadang aku berpikir, akan lebih baik jika aku jatuh cinta sendirian saja. Akan lebih baik jika aku hanya diam melihatmu dari kejauhan. Dan akan lebih baik jika aku hanya sakit hati karena melihatmu dengannya. Sebab aku tau, kita akan semakin berjarak jika saja kau mengetahui isi hatiku ini.
"Gave? Lo kenapa sih?" gadis itu menepuk bahu sebelah kananku. Aku terperanjat.
"Pulang, yuk. Gue capek banget." Balasku lirih.
Tak ada lagi pembicaraan diantara kami. Seusai aku mengantarnya pulang, aku langsung pergi.
***
Mentari kembali ke tempat peraduannya. Aku menancap gas motorku menuju kedai kopi, tempat dimana aku dan Ree seringkali menghabiskan seperempat malam kami disana. Mood ku benar-benar sedang tak baik hari ini. Kejadian beberapa hari lalu membuat jarak antara aku dan gadis itu.
Tidak.
Bukan dia pelakunya. Tapi aku. Pantas saja Willy rela meninggalkan permainan basketnya demi menolong Ree kemarin. Pantas saja Ree menghilang bersamaan dengan ketidakberadaan Willy saat tour kemarin. Rupanya mereka pergi bersama ke curug.
Aku menghela napas pelan. Duduk di sudut kedai dan mulai menyalakan laptopku, mencari soal-soal untuk ujian masuk perguruan tinggi terbaik di indonesia.
Namun, irisku menangkap sesuatu yang tak sewajarnya kulihat.
Jadi? Apa yang dikatakan cowok itu tentang dia alergi terhadap kopi itu bohong? Aku jelas-jelas melihatnya meneguk secangkir kopi sambil tertawa bersama gadis itu.
Aku pulang setelah menelpon seseorang beberapa menit lalu. Bukan mood ku saja yang hancur malam ini, tapi hatiku juga. Kuharap pulang adalah cara terbaik untuk tidak memperpanjang malam ini.
Jadi, siapa yang harus disalahkan perihal luka yang kini mencabik-cabik rongga dadaku?
Willy kah? Cowok kutub es itu, apa yang istimewa darinya? Mengapa gadis sehangat Ree bisa jatuh hati padanya meski cowok itu terlalu mengabaikannya?
Atau aku? Yang terlalu berharap lebih atas semua perhatiannya?
Atau bahkan secangkir kopi yang telah mempertemukanku dengan gadis itu?
Update lagi.. author minta maaf sekali lagi karena jarang banget update. Author lagi sibuk sama tugas tugas sekolah, ditambah lagi orang yang selama ini jadi inspirasi buat nulis cerita ini udah melanglangbuana entah kemana. See you on next part!
Love
Author
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Kopi
Novela JuvenilSeperti halnya kopi, realitas pun begitu. Ada kalanya hidup ini pahit bagi yang tidak menikmatinya. Tapi bagi penikmat sejatinya, hidup terasa begitu nikmat. Akan tetapi, hidup ini cair. Semesta ini bergerak. Kita hanya perlu meyakinkan hati kita...