Aku membuka mataku perlahan. Entah sudah berapa lama aku tak melihat dunia. Mungkin sudah terlalu lama. Aku terbujur lemah tanpa ada seorangpun di dekatku. Hanya ada sebuah kain basah hangat yang menempel di dahiku. Aku melirik jam dinding yang terpampang tepat seratus delapan puluh derajat di depanku. Sudah pukul sembilan pagi. Aku meraih handphone ku dan ahh, sial, gerutuku. Handphoneku pun terbaring lemas tanpa nyawa.
Nampak secangkir kopi yang sudah dingin dan secarik kertas yang terselip di gagangnya.
Katanya mau bikinin gue kopi? Kok malah jadi gue yang bikinin lo ya?
By the way, cepet sembuh ya. Kopinya diminum, keburu dingin :)
Aku tersenyum. Cewek itu.
"Kopinya udah dingin, bawel."
Aku melepas kompresan di dahiku lalu bergegas ke dapur untuk menghangatkan kopi. Nampaknya aku sudah baik-baik saja sekarang.
Aku memutar ingatanku kembali ke kejadian semalam. Aku memecahkan gelas dan.. Tak ada sedikitpun jejak pecahannya. Pasti Ree yang sudah merapikannya.
"Benar-benar calon istri yang baik," gumamku sambil tersenyum.
Terkadang aku menyesal, mengapa Tuhan baru mempertemukan kita sekarang.
Jika saja kita bertemu beberapa tahun lebih dulu, mungkin aku akan lebih cepat jatuh sejatuh jatuhnya pada cinta yang baik.
Tapi aku bahagia, Tuhan mempertemukan kita sekarang daripada tidak sama sekali.
Sungguh. Untuk pertama kali dalam seumur hidupku aku merasakan jatuh cinta sejatuh-jatuhnya pada gadis yang baru kukenal beberapa hari lalu. Ah, tidak. Bukan beberapa hari lalu. Hanya saja, aku baru merasa dia ada sejak hari itu. Tidak karena selama ini aku sama sekali tidak tertarik pada wanita manapun. Semua orang menyamaiku dengan Willy yang benar-benar mati rasa. Tapi kali ini, aku harus membuktikan aku tak lagi sama sepertinya.
***
Untuk tingkahmu yang menyenangkan
untuk tuturmu yang menenangkan
dan untuk hadirmu yang menguatkan
Bolehkah aku jatuh hati?
***
Untuk part ini, segini dulu aja ya. Author nya pengen ulangan besok wkwk.
Don't forget to vote and comment!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Kopi
Teen FictionSeperti halnya kopi, realitas pun begitu. Ada kalanya hidup ini pahit bagi yang tidak menikmatinya. Tapi bagi penikmat sejatinya, hidup terasa begitu nikmat. Akan tetapi, hidup ini cair. Semesta ini bergerak. Kita hanya perlu meyakinkan hati kita...