November 2018Di salah satu sudut sebuah dermaga kargo di prefektur Tokyo. Di tengah dinginnya malam dan angin yang sesekali menghembus menusuk dingin sampai ke tulang. Kotak-kotak peti besar yang terbuat dari besi tersusun rapi berjejer membentuk kolom-kolom dan baris-baris sepanjang tepi dermaga.
Mesin-mesin dan kendaraan pengangkut maupun pemindah barang sudah banyak yang beristirahat, namun tidak bagi beberapa. Masih sibuk wara-wiri menaik dan menurunkan kotak-kotak peti ke dalam sebuah kapal yang sudah stand by. Kotak-kotak tersebut berukuran tidak sebesar peti yang berjejer tadi. Walaupun begitu, bisa dilihat bahwa kotak-kotak peti tadi berisi penuh akan barang yang entah apa.
Seorang pria tua dengan cerutu panjang menyala yang ia hisap mengamati dengan seksama kegiatan dermaga malam itu. Sesekali, dihembuskan asap cerutu tadi dari bibirnya ke udara musim dingin bulan November.
Mengenakan setelan jas berwarna coklat yang senada dengan warna rambutnya dan sebuah tongkat berbentuk seperti pegangan payung yang ia jadikan tumpuan, pria tadi berdiri di sebuah ruangan yang memiliki view langsung ke dermaga yang dimaksud.
Seorang pria lagi, tampak lebih muda sedikit, berdiri disampingnya ikut memerhatikan kesibukan malam di dermaga tersebut. Tangannya bersidekap di belakang badan sambil sesekali manik hitamnya melirik sekilas pria tua berambut coklat disampingnya.
"Apa kau yakin ini akan baik-baik saja?"
Masih menatap lurus ke jendela besar dihadapannya, ia lontarkan pertanyaan untuk pria tua disampingnya.
"Tentu saja, mereka pasti mengira kalau kita sudah selesai dan tidak akan ambil pusing lagi soal kita."
Ia hisap cerutu kayunya lalu ia hembuskan asap rokok dari kedua lubang hidungnya.
"Tapi itu satu tahun lalu. Bagaimana kalau kegiatan kita terendus oleh mereka?"
Atensi pria bermanik hitam tadi sepenuhnya mengarah kepada lawan bicaranya sekarang.
"Tidak akan. Para agen rahasia itu sudah menetapkan mereka sebagai tersangka utama. Para agen itu tidak akan mengejar kita lagi."
"Bagaimana kau bisa begitu yakin?"
Suasana hening menghampiri percakapan mereka. Pria berambut coklat tadi masih fokus mengawasi kegiatan di dermaga sedangkan pria bermanik hitam mulai menatap ragu pria lawan bicaranya ini.
"...mereka decoy yang sempurna."
"Tapi Tuan [Last Name]--", ucapannya terhenti kala sepasang manik coklat mendelik tajam ke arahnya dari sudut mata. Pria bermanik hitam tadi meneguk ludah dengan susah payah kala berada di bawah intimidasi pria bermanik coklat yang menjabat sebagai bosnya ini.
"--ma-maksudku, Tuan Takakura, bukankah ini terlalu riskan. Bagaimana kalau suatu saat para agen itu sadar kalau mereka hanya pengecoh?"
"Sudah kubilang panggil aku dengan nama samaranku, Mamoru. Apa kau belum paham juga?"
Santai, namun penuh penekanan yang lagi-lagi membuat pria bernama Mamoru tadi menciut.
"Dan bisakah kau berhenti mengkhawatirkan para agen itu? Kalau mereka datang, kita tinggal pakai decoy yang lain", ucap pria dengan nama samaran Tuan Takakura tadi enteng.
Harus ia akui, batinnya pun tak tenang semenjak kejadian satu tahun lalu. Pasalnya, sahabatnya sendirilah decoy yang ia maksud. Andai saja ia bisa mencegah sahabatnya untuk tidak datang berkunjung, mereka pasti bisa bercengkrama bersama lagi seperti masa muda dulu.
Rasa sesal yang amat sangat membuatnya menjadi sosok yang paranoid bahkan sampai stres menyiksa keluarganya sendiri. Entah bagaimana, ia sukses menutupi itu semua dengan perawakan arif yang biasa ia gunakan.
Berkali-kali ia mengutus anak buahnya untuk mencari jasad sahabatnya, namun hasilnya selalu nihil. Membuat stres dan paranoidnya makin menjadi.
"Tuan, kapalnya siap berangkat. Barang-barangnya siap diedarkan."
Sebuah suara dari salah satu anak buahnya memecahkan keheningan yang lagi-lagi menemani kedua pria paruh baya tersebut. Melirik dengan ujung mata ke arah pintu melalui pundak kirinya, ia jeda beberapa detik sebelum akhirnya merespon.
"Lakukan", titahnya dari balik pintu ruangan pengawas dermaga tempatnya berada.
"Baik tuan."
Beberapa menit setelah anak buah tadi berlalu, Mamoru angkat suara, "Kita juga harus segera pergi, tuan. Mari."
Mamoru memberi isyarat kepada Tuan Takakura untuk berjalan terlebih dahulu. Setelah Tuan Takakura berjalan dan memberinya anggukan, barulah Mamoru beranjak mengekori bosnya.
Setelah memberi salam hangat bagi nahkoda kapal yang membawa barang-barang pesanan klien, mereka bergegas pergi dari dermaga. Yang mereka tidak sadari adalah bahwa kekhawatiran Tuan Mamoru akan segera terjadi.
---------------------
Alnilam
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Trilogi Sabuk Orion #2 - Alnilam
FanfictionAgent AU! Aku menunduk, menangkupkan kedua tanganku, dan memejamkan mata Setiap malam, Aku menengadah, mengarahkan wajahku ke cakrawala, menatap ribuan planet yang beredar Setiap malam, Aku berdoa, aku bersimpuh, aku pasrah... Aku memohon, Wahai Bin...