Dua hari setelahnya"(Name), ayahmu masih di rumah?"
"Masih, tapi sebentar lagi mau pergi. Emang kenapa?"
"Gapapa cuma tanya aja. Soalnya kemaren agak canggung. Hehe--"
(Name) tersenyum kecil mendengar alasan Sugawara menanyakan keberadaan ayahnya. (Name) tahu, sangat sangat tahu kenapa Sugawara menanyakan hal tersebut.
"--udah dulu ya. Sambung nanti lagi. Dah!"
Tut tut tut
Belum sempat (Name) membalas, sambungan telepon mereka sudah keburu dipotong oleh Sugawara. Biarlah, (Name) juga nampaknya sedang sibuk melamun untuk menjawab salam dari Sugawara.
(Name) memasukkan smartphonenya ke dalam laci meja tidur. Beranjak untuk menemui ibunya di kamar sebelah. (Name) melihat di ujung lorong, ayahnya sedang memasukkan senjata api, narkoba, dan barang-barang haram lainnya ke dalam sebuah tas.
(Name) mengacuhkannya lalu masuk ke dalam kamar ibunya. Didapati ibunya tengah memandangi sebuah bingkai yang berisikan foto mereka bertiga. Foto saat semuanya belum sekacau seperti ini.
"Bu, bentar lagi mereka datang."
"Iya nak."
(Name) duduk di kasur bersebelahan dengan ibunya yang duduk di kursi roda menghadap jendela. Satu tangan (Name) ia ulurkan menggenggam lembut tangan ibunya.
"Sebentar lagi semua akan berakhir, walaupun harga yang dibayar sangat mahal."
Kata Ibu (Name) yang masih menatap langit malam melalui jendela. (Name) turun dari kasur lalu duduk di depan ibunya. Kepalanya ia sandarkan di paha sang ibu. Rambut (hair color)nya mulai dielus-elus dengan pelan oleh ibunya.
"Ibu gak bisa bayangin kalo waktu itu kamu gak ketemu sama Nak Sugawara. Mungkin gak akan seperti ini jadinya."
(Name) hanya diam. Memejamkan mata menikmati sentuhan dikepalanya. Keduanya diam ditemani keheningan malam. Menyesapi dan merasakan keadaan masing-masing sebelum sesuatu yang buruk merampas kemesraan ibu dan anak ini.
Prannggg!!!
Suara benda pecah menggema di rumah kecil tersebut. Kedua wanita (Last Name) itu terkejut. Belum sempat mereka bereaksi, ayah (Name) masuk ke kamar. Dengan tatapan kesal dan beringas, ia menarik (Name) secara paksa lalu membawanya ke luar. Ibu (Name) kaget. Ia berteriak-teriak meminta suaminya melepaskan anaknya. Dengan sekuat tenaga, ia menggerakkan kursi rodanya menyusul suaminya.
Ibu (Name) melihat melalui jendela di ruangan lain kalau rumah mereka sudah dikepung oleh mobil-mobil besar berwarna hitam. Terdengar kegaduhan di taman belakang, ibu (Name) segera menggerakan kursi rodanya menuju taman belakang rumah, yang terhubung dengan lahan kosong yang ditumbuhi ilalang tinggi.
Mengintip sedikit, Ibu (Name) melihat putrinya tengah ditawan oleh ayahnya sendiri. Sebuah senjata api siap tembak diacungkan ke pelipis (Name). Di sekitar mereka, terdapat beberapa orang pria yang juga mengacungkan senjata api. Bukan ke putrinya namun ke suaminya yang menggunakan (Name) sebagai tameng hidup.
Samar-samar, terdengar suara orang ribut-ribut di depan rumah. Pasti para tetangga mulai datang dan keheranan dengan banyaknya mobil dan kegaduhan yang terjadi.
"Dasar keparat! Kau pikir aku akan semudah itu menyerah, hah!?", seru suaminya yang pasti terdengar sampai depan karena suara tetangga sempat terhenti lalu heboh lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trilogi Sabuk Orion #2 - Alnilam
FanfictionAgent AU! Aku menunduk, menangkupkan kedua tanganku, dan memejamkan mata Setiap malam, Aku menengadah, mengarahkan wajahku ke cakrawala, menatap ribuan planet yang beredar Setiap malam, Aku berdoa, aku bersimpuh, aku pasrah... Aku memohon, Wahai Bin...