Januari 2019
Sambil menahan kakinya yang sakit luar biasa, [Name] melangkah ke universitas guna memasuki awal semester baru. Masuk jurusan statistika, membuatnya harus berhadapan dengan angka dan rumus-rumus setiap harinya.
Sudah tubuhnya sakit, kepalanya pusing mikirin tugas, jadwal kuliah dan kerja yang berentetan. Tubuh [Name] serasa remuk dan terkikis dengan cepat. Beberapa kali ia mencoba menyadarkan dirinya sendiri agar fokus ke jalan. Hampir menabrak orang, [Name] memutuskan untuk melambatkan langkahnya dan berjalan di tepi setapak paling dalam.
Ayahnya makin menjadi akhir-akhir ini. Entah kendala apa yang dialami oleh pekerjaannya hingga menjadikan ia dan ibunya sebagai pelampiasan. Memang, sudah lama ayahnya mulai melakukan kontak fisik. Sekitar tahun 2017-an pertengahan, [Name] juga tak begitu ingat bulan apa.
Awalnya, kontak fisik tidak sekeras dan sesering sekarang. Namun kembali seperti yang tadi dijelaskan, entah mengapa akhir-akhir ini frekuensi kontak fisik yang terjadi meningkat dan makin parah.
[Name] yakin bahwa masalah finansial adalah faktor utama mengapa ayahnya berubah menjadi seperti ini. Tapi masalahnya, [Name] sampai saat ini tak tahu apa pekerjaan ayahnya. Yang ia tahu ayahnya adalah seorang pedagang. Tapi pedagang apa itu yang [Name] tidak tahu.
Ayahnya tak pernah cerita apapun, begitu pula ibunya. [Name] yakin ibunya pasti tahu sesuatu tentang hal ini. Mengetahui ibunya sendiri, [Name] tidak berani bertanya sebelum ibunya sendiri yang memulai pembicaraan.
Larut lama dalam pikiran, tak terasa diri [Name] sudah berada di ruang kelasnya. Seperti biasa, menyapa ramah teman-temannya dan memilih duduk di pojok belakang. Sesekali, ia oleskan salep penghilang pegal dan sakit kekakinya, ketangannya, ketengkuknya, ke semua tempat yang selalu menjadi sasaran empuk dari kontak fisik yang dilakukan ayahnya.
Ada segelintir orang yang bertanya, apa ia baik-baik saja?
Yang hanya [Name] jawab dengan anggukan, senyuman, dan ucapan 'ya, aku gak papa kok'.
Sungguh, [Name] paling tak suka dikasihani. Ia tidak mau terlihat lemah di depan banyak orang. Ia juga tidak mau membuat orang lain repot karena mengurus dirinya. [Name] berusaha tegar. Namun sekuat-kuatnya beton, suatu saat akan lapuk juga bukan?
Begitulah [Name] sekarang, hampir roboh dan retak. Tekadnya untuk membantu keluarga lah yang membuatnya masih kuat bertahan sampai sekarang.
Tak lama kemudian, masuklah seorang dosen berambut abu yang sangat familiar. Setelah mengucap salam dan membuka kuliah pada hari ini, Sugawara mulai menuliskan beberapa materi ke papan tulis.
Matanya sesekali mengedar ke seluruh penjuru ruang di tengah sesi penjelasan. Mengamati satu persatu muridnya memastikan jumlah kepala yang ada sesuai dengan jumlah angka yang tertera di presensi.
Ketika manik coklat keemasannya mendarat pada sosok [Name], dahinya mengrenyit heran. Pasalnya, wajah [Name] lagi-lagi menunjukkan rasa tidak nyaman. Sudah beberapa kali Sugawara amati mahasiswinya berwajah seperti itu. Sebenarnya, apa gerangan yang terjadi dengan[Name]. Apa yang membuatnya seolah menahan sesuatu yang sangat berat.
Banyak pertanyaan terbesit di benak Sugawara. Namun karena ini masih suasana formal, ia putuskan untuk mengabaikannya sejenak sampai jam kuliah [Name] hari ini benar-benar selesai.
-----Skip time-----
Berdiri termenung di pinggir jalan sambil menunggu lampu penyebrangan menyala hijau, [Name] berdiri asyik menatap kedua kakinya yang terbalut sepatu santai yang entah sejak kapan menarik perhatiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trilogi Sabuk Orion #2 - Alnilam
FanfictionAgent AU! Aku menunduk, menangkupkan kedua tanganku, dan memejamkan mata Setiap malam, Aku menengadah, mengarahkan wajahku ke cakrawala, menatap ribuan planet yang beredar Setiap malam, Aku berdoa, aku bersimpuh, aku pasrah... Aku memohon, Wahai Bin...