Maret 2019
Satu bulan berlalu pasca kunjungan Sugawara ke rumah [Name]. Kini sang dosen berambut abu itu tahu apa yang membuat mahasiswinya selalu mengenakan pakaian panjang tertutup. Terlebih lagi kini Sugawara tahu apa yang membuat [Name] merasa tidak nyaman atau membatasi diri dalam bergerak.
Terbesit pikiran untuk mengajak mahasiswinya yang satu ini berlibur, menyegarkan sejenak pikiran dan melepas penat dari kesibukan sehari-hari. Alasan sebenarnya sih, sekalian nge-date bareng [Name].
Yah, kapan lagi kan? Sambil menyelam minum air. Jalan berdua buat refreshing sekalian kencan. Tidak muluk-muluk kok, hanya berkeliling kota menikmati pemandangan di sekitaran kota Tokyo. Waktu juga jadi pertimbangan, karena mereka belum memasuki libur semesteran sehingga jadwal kosong hanya saat akhir pekan.
Setelah melalui proses janjian yang agak lama, karena kesibukan atau jadwal bentrok dan sebagainya, akhirnya diputuskanlah Hari Sabtu sebagai hari-H. Perasaan gugup tentu saja menghampiri benak [Name]. Bagaimana tidak? Hubungan mereka hanya sebatas dosen dengan mahasiswa. Meski tak dapat dipungkiri bahwa [Name] sendiri juga ada rasa dengan dosen berambut abu-abu tersebut.
[Name] juga takut apabila sewaktu pergi dengan dosennya, ada mahasiswa atau bahkan dosen lain yang memergoki mereka sedang berjalan bersama. Kan gak lucu kalo tau-tau terciduk dan jadi bahan omongan.
Sempat beberapa kali [Name] menolak ajakan Sugawara. Namun Sugawara bersikeras sampai menggunakan wajah imutnya untuk merayu [Name]. Yang terbukti sukses meluluhkan hati [Name] untuk mau menerima ajakan kencan Sugawara.
Pagi ini, tepat di hari yang sudah dijanjikan, [Name] bangun pagi seperti hari-hari biasanya. Walau harus ia akui, bahwa ia tidak suka bangun pagi di akhir pekan.
Ayahnya sudah berangkat pagi-pagi sekali entah kemana, meninggalkan [Name] dengan ibunya sendirian di rumah. Tentu dengan beberapa luka baru yang diberikan malam sebelumnya.
Membuka jendela kamarnya untuk menghirup udara pagi, meregangkan sendi-sendi badannya sedikit.
"[Name]...", suara lirih memanggil dirinya. Ingin menjawab, tapi suara itu kembali melanjutkan.
"...kamu sudah bangun belum, nak?"
"Sudah, bu. Bentar lagi [Name] ke sana", balas [Name] singkat seraya merapikan kamarnya. Lalu beranjak keluar kamar menuju kamar ibunya.
Sampai di kamar ibunya, [Name] menghampiri wanita versi tua dari dirinya yang kondisi makin memprihatinkan setiap hari. Wanita itu menatap lembut putri semata wayangnya dengan tersenyum lemah. [Name] balas tersenyum mendudukkan dirinya di samping ibunya yang terbaring di kasur.
"Maaf nak, obat ibu habis."
[Name] menggenggam tangan hangat ibunya walaupun sudah kurus hampir tulang.
"Iya bu, nanti [Name] belikan."
"Tapi uangnya-"
"Uangnya ada kok bu, kan [Name] juga kerja sambilan."
Cairan bening mengalir dari kedua manik [eye color] milik ibunya. Ia tegakkan badan atasnya perlahan dan ia rentangkan kedua tangannya untuk memeluk putrinya ini. [Name] menyondongkan badannya dan membalas pelukan ibunya.
"Maafin ibu nak. Ibu gak bisa lagi ngasih kamu uang saku."
Duka sang ibu sambil berlinang air mata. Terisak di bahu sang putri, menumpahkan segala sesalnya atas kondisi yang menimpa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trilogi Sabuk Orion #2 - Alnilam
FanfictionAgent AU! Aku menunduk, menangkupkan kedua tanganku, dan memejamkan mata Setiap malam, Aku menengadah, mengarahkan wajahku ke cakrawala, menatap ribuan planet yang beredar Setiap malam, Aku berdoa, aku bersimpuh, aku pasrah... Aku memohon, Wahai Bin...