Tekanan.
.
.
Hal pertama yang Jimin lihat ketika membuka kedua matanya adalah langit-langit kamar yang remang, sedikit diterangi cahaya jingga redup yang menembus lewat gorden jendela. Dia kemudian bangkit duduk, mencari-cari ponselnya yang terselip di antara selimut dan ranjang. Ketika ujung jemarinya berhasil menemukannya, dia menghadapkan ponsel di depan wajah, mengundang kedua kelopak yang langsung menyipit menyesuaikan cahaya monitor yang menyilaukan.
Suara berkeruk di dalam perutnya tiba-tiba memecah keheningan kamar, seakan-akan angka 14.11 yang terproyeksi di layar ponselnya langsung dengan cepat diterjemahkan otak Jimin sebagai sinyal untuk membangunkan singa yang tertidur di balik lambungnya, meraungkan peringatan kalau perutnya belum diisi semenjak pagi.
Jimin sedikit meregangkan otot-ototnya yang kaku, lalu bergelung di atas kasurnya sambil mengusak rambut coklatnya yang berantakan dan mencuat ke mana-mana. Saat itu, dia baru saja hendak beranjak dari kasur dan pergi ke dapur ketika suara ketukan dari luar pintu kamarnya membuatnya menoleh dengan cepat.
“Hyung, kau di dalam?”
Jimin mengayunkan kakinya turun dari ranjang, lalu bergegas menghampiri dan langsung menarik gagang pintu kamarnya yang tertutup. Di depannya, mendapati Jungkook―menenteng dua cup ramyun ukuran kecil di pelukan sikunya―tengah memandang dirinya dengan binar kelaparan.
“Ayo makan dulu,” ajak Jungkook yang langsung memancing sinar kepuasan dari mata Jimin. Dia langsung mengangguk setuju dan membiarkan pergelangan tangannya diseret keluar oleh yang lebih muda.
“Kau ini dari tadi mengunci diri terus di kamar, Hyung. Kami semua sampai khawatir kalau kau kenapa-kenapa,” kata Jungkook, di sela langkah lebarnya yang menuntun Jimin menyusuri lorong. “Kau juga tadi melewatkan sarapan, ‘kan? Bagaimana kalau nanti jadi sakit? Siapa yang menurutmu akan repot mengurus segalanya?”
Jimin mendengus geli mendengar nada bicara Jungkook yang mirip Ibunya kalau sedang mengomel. Ia sebenarnya merasa agak tidak enak juga karena sudah membuat yang lain khawatir, tapi tubuhnya yang terlalu pegal dan benaknya yang masih diliputi rasa tertekan karena insiden pembobolan beberapa waktu lalu benar-benar menguras tenaga fisik dan psikisnya, hingga ia tak punya pilihan lain selain membawanya tidur berjam-jam lamanya.
“Merasa lebih baik setelah tidur?” tanya Jungkook lagi.
“Ya. Capekku sudah hilang,” jawab Jimin, yang tentu saja dibumbui sedikit kebohongan. Dia mungkin berhasil meredakan nyeri di tubuhnya, tapi tidak untuk rasa cemas yang akhir-akhir ini seakan menghantui pikirannya. Jimin belum bisa mengenyahkan bayangan pesan berdarah yang tertulis di permukaan cermin kamar mandinya. Dia bahkan mengakui kalau dirinya menjadi lebih sensitif setiap kali pergi ke toilet untuk buang air. Bagaimana bila sosok perempuan mengerikan tiba-tiba muncul dari balik ventilasi toilet dan menangkapnya?
“Syukurlah kalau begitu. Karena jadwal semakin padat, kita harus menjaga diri lebih baik―terutama kau, yang akhir-akhir ini mau makan saja susahnya minta ampun,” sindir Jungkook tanpa menoleh pada Jimin―barangkali untuk menghindari tatapan Jimin yang akan membuatnya serba salah.
Mereka kini sudah berbelok ke arah tangga. Jungkook turun dengan langkah terburu karena sudah tidak tahan dengan laparnya, sementara Jimin hanya mengikutinya di belakang, tak berniat menjawab sindiran Jungkook yang mengkritik jam makannya yang berantakan. Dia lalu menggeser pandangannya sedikit ke bawah, melihat dua cup ramyun yang berayun-ayun di lekukan siku kanan Jungkook, sedikit memberengut sebal karena di tengah perutnya yang melilit kelaparan ini Jungkook hanya mengajaknya makan ramyun ukuran kecil. Apa para Hyung-nya tidak menyiapkan masakan di dapur?
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐒𝐓𝐀𝐋𝐊𝐄𝐑 | 𝐁𝐓𝐒
Fanfiction[Pemenang Wattys 2020 Kategori Fanfiksi] ⭐ Follow dahulu sebelum membaca ⭐ Menjadi idola yang dicintai publik ternyata bukanlah hal yang mudah, dan member BTS rupanya merasakan sendiri hal itu. Kehidupan tenang mereka menjadi hancur karena ulah stal...