Penyelamatan
.
.
.
Setiap satu sentimeter langkah yang ditapaknya adalah satu sentimeter terberat di udara terbuka, menenggelamkan mereka satu titik lebih dalam pada kecemasan antara hidup dan mati.
Taehyung memperhatikan dari jam di ponselnya, bahwa malam itu mereka telah berada di titik tengah malam lewat empat menit. Udara semakin dingin, seakan-akan angin berubah menjadi embun beku yang berembus kasar dan mengiris-iris kulit. Sementara pada saat yang sama, dia susuri hutan sembari menggendong Jimin di punggung, berusaha menyedot pancaran derajat suhu panas dari tubuhnya yang demam. Suara jantung yang berdegup adalah satu-satunya hal yang mereka dengar di alam semesta ini, sampai-sampai rasanya pikiran mereka berdesir di tengah kehampaan hutan yang suram.
Taehyung bergerak secepat yang berani dia lakukan. Gemeresak daun lembab mengikuti langkah kakinya ketika dia berjalan menyusuri tepi sungai yang menanjak, melewati jalur yang sama seperti yang telah dia lewati sebelum datang kemari. Sepanjang perjalanan, yang dilihatnya hanya pohon-pohon yang berjajar di tengah kegelapan, serta pantulan aliran sungai yang berkilau oleh sinar rembulan. Sinar itu juga menimpa di antara celah-celah yang tidak rapat, memberi petunjuk bagi Taehyung untuk terus maju.
Desah napas Jimin yang berat menerpa sisi wajah Taehyung yang mulai dikucuri keringat. Dia memalingkan wajah sedikit ke belakang dan berkata dengan suara terputus-putus. "Jim, kau mau kita istirahat dulu?"
Jimin tidak menjawab. Hal itu membuat Taehyung terpaku dan menahan langkahnya sebentar. "Jimin-aa?"
"Kalau istirahat, nanti aku keburu mati," jawab Jimin. Dia semakin mengeratkan pelukannya di leher Taehyung. Suhu sepanas kompor membara di tempat kulitnya bersentuhan dengan Taehyung hingga pemuda itu berjengit. Tidak ada istirahat, Taehyung tahu itu. Dia tahu Jimin akan mati karena kehabisan darah atau tewas karena dehidrasi bila mereka mengulur waktu sedikit lebih lama.
Oh, ya Tuhan, apa yang sedang aku lakukan?
Taehyung tak terbiasa dengan hutan. Segala hal yang ada di depannya kini terasa berpuluh-puluh kali lipat lebih menakutkan, seakan-akan dia kembali pada umur sepuluh tahun dan menambatkan keselamatannya pada Jimin. Namun, dia tahu hal itu tak mungkin terjadi. Jimin lah yang harusnya menggantungkan hidup pada Taehyung. Pada kesunyian itu dia mendadak berpikir, apakah Jimin juga merasakan hal yang sama seperti yang dia rasakan?
Tanpa sadar dia telah berjalan makin jauh. Aliran sungai menyempit menjadi ceruk parit yang memanjang. Taehyung merasakan tubuhnya dibanjiri keringat. Sendi-sendi tulangnya terasa sakit. Dia harus bernapas dengan tenang, akan tetapi paru-parunya terasa seperti disumpal batu. Terus, terus, teruslah melangkah! Dia memaksa dirinya. Jimin di punggungnya terbanting-banting. Anak itu begitu lemah sehingga hal yang terbaik yang bisa dilakukannya adalah dengan tidak menahan dirinya.
Akhirnya, Taehyung melihat cahaya dari kejauhan. Jenis cahaya yang sama seperti yang dilihatnya saat pertama kali datang ke tempat ini. Sinar keabu-abuan yang mirip berkas sinar matahari di pagi hari yang menerobos miring mengintip dari celah renggang pohon-pohon yang membuka beberapa meter di depannya. Pupil mata Taehyung melebar saat mengamati pemandangan itu.
"Jim, kita hampir sampai!" Taehyung berusaha untuk tidak berteriak. Bayangan padang rumput tinggi yang sebelum ini dia lihat bertebaran di benaknya. Mereka hanya perlu melangkah sedikit lagi untuk mencapai pintu gerbang dan mencari bantuan. Berhasil! Kita akan selamat! Taehyung mengguncang tubuh Jimin di punggungnya dengan perlahan. Anak itu melenguh sebentar, lalu terbatuk-batuk. Taehyung mengurangi kecepatan dan mengeratkan pegangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐒𝐓𝐀𝐋𝐊𝐄𝐑 | 𝐁𝐓𝐒
Fanfiction[Pemenang Wattys 2020 Kategori Fanfiksi] ⭐ Follow dahulu sebelum membaca ⭐ Menjadi idola yang dicintai publik ternyata bukanlah hal yang mudah, dan member BTS rupanya merasakan sendiri hal itu. Kehidupan tenang mereka menjadi hancur karena ulah stal...