Penyesalan
.
.
.
"Hyung, tulisan di cermin kamar mandi itu bukanlah kekonyolan semata yang ditulis orang gila."
"Bagaimana bisa? Apa artinya kalau begitu?"
"Itu adalah pesan peringatan, Hyung."
"Aku tidak mengerti ... apa itu artinya ... kita sedang dalam bahaya?"
"Bukan kita, tapi ... Jimin. Penjahat itu ingin merenggut Jimin dari kita!"
-oOo-
Seokjin adalah yang pertama merasa begitu terpukul ketika mendengar tuturan Yoongi semalam.
Usai mengetahui niat busuk di balik tulisan berdarah yang memenuhi cermin kamar mandinya, benak Seokjin malah dipenuhi semacam perasaan takut yang membuatnya tak bisa tidur semalaman. Rasanya dia ingin sekali memberontak dan berteriak, melepas degup kemarahan yang mencengkeram jiwanya kepada siapapun keparat yang bersembunyi di balik semua insiden ini, tetapi dia sadar kalau pikiran itu hanya akan tersimpan di angan saja selama pelakunya belum ketemu.
Seokjin pikir, hal terbaik yang bisa dia lakukan sekarang adalah melindungi Jimin dengan pengawasan ekstra. Maka bukanlah tanpa alasan bila seharian ini Seokjin selalu menguntit Jimin kemanapun dia pergi, menanyakan kabar setiap satu jamnya, dan sebisa mungkin tidak membebani Jimin―termasuk dengan melarangnya membantu orang lain sekalipun. Karena celah sekecil apapun tetaplah berarti sebuah kesempatan, bahaya yang mengintai mereka bisa muncul kapan dan di mana saja.
Bahkan barangkali bisa terjadi sekarang, ketika yang dicemaskan Seokjin benar-benar terjadi.
"Sialan!"
Lagi-lagi Seokjin mengumpat. Tangannya yang penuh keringat karena digigiti oleh kecemasan dia usapkan pada celana yang dikenakannya. Seokjin membanting pintu ruang latihan dengan suara gebrak keras dan berlari keluar dengan langkah terburu.
Salahkan Jimin yang tiba-tiba saja menghilang tanpa kabar. Padahal, para anggota timnya baru saja mengalihkan perhatian dari bocah itu barang sejenak. Ketika pelatih mereka selesai memberikan arahan, niat Seokjin yang hendak menawari minuman pada Jimin (untuk kesekian puluh kalinya dalam hari ini) harus gagal karena mendapati kursi anak itu yang kosong, bahkan jaket dan topinya juga lenyap.
Dan jauh lebih buruk lagi, ponsel Jimin yang seharusnya menjadi barang wajib bawaannya justru teronggok begitu saja di bawah kursi.
"Aku bahkan sudah memberitahunya ratusan kali agar tidak pergi keluar sendiri!" mata Seokjin berkilat tidak terima, memancing kegusaran member lainnya yang merasa bodoh sendiri karena berhasil dikecoh Jimin.
Yoongi di sebelahnya menyahut dengan tegang, "Apa dia tidak tahu kalau hidupnya sekarang benar-benar dalam bahaya?"
"Mana tahu dia? Kita kan memang sengaja merahasiakan soal itu!" berang Seokjin sebelum menendang udara kosong di depannya dengan frustasi. Dia tidak tahu siapa yang paling patut untuk disalahkan untuk kekacauan ini; para member yang merahasiakan berita semalam dari Jimin, atau anak itu sendiri yang kabur entah kemana karena risih dengan perlakuan mereka yang overprotective. Karena baik keduanya memiliki maksud, dan sifat alami manusia yang kurang bisa mengadili sebuah keputusan lahir di tengah-tengah pilihan itu. "Tidak bisa diam saja, ini sudah hampir duajam dan Jimin masih belum kembali. Apa kita perlu lapor Hyung-nim?"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐒𝐓𝐀𝐋𝐊𝐄𝐑 | 𝐁𝐓𝐒
Fanfiction[Pemenang Wattys 2020 Kategori Fanfiksi] ⭐ Follow dahulu sebelum membaca ⭐ Menjadi idola yang dicintai publik ternyata bukanlah hal yang mudah, dan member BTS rupanya merasakan sendiri hal itu. Kehidupan tenang mereka menjadi hancur karena ulah stal...