3 - The Clue

8.5K 1.4K 249
                                    

Sebuah Petunjuk

.

.

20.04 KST.
Sebelum Pembobolan.

Hujan badai yang mengguyur sisi kota Seoul tidak membuat sosok berbalut mantel kuning itu urung niat untuk kembali. Langkahnya yang pendek-pendek menghentak kasar aspal basah jalanan hingga meninggalkan titik-titik lumpur yang mengotori mantelnya, cepat dan terburu-buru. Sosok itu menyusuri sepanjang jalan di antara rumah-rumah yang diterangi seberkas cahaya lampu malam, terengah-engah, sembari membiarkan angin yang membawa aroma tanah lembab menyergap kuat penciumannya. Selewat beberapa saat, seolah ada sesuatu yang menahannya, dia terhenti di depan sebuah gang gelap gulita yang sangat kecil dan sempit, yang hanya bisa dilewati satu orang dengan berjalan menyamping.

Tudung mantelnya berpaling ke arah kanan dan kiri, memberi terkaan bahwa wajah siapapun di baliknya sedang melihat situasi, barangkali memastikan bahwa dia hanya sendiri saja. Tidak butuh waktu lama baginya sebelum dia bergerak menyelinap masuk melewati gang, berjalan tersendat-sendat karena tubuhnya diapit dua bilah dinding besar, menuju ke sebuah tempat di ujung yang menjadi penantiannya selama ini.

Gesekan langkahnya bergaung di atas jalan batu ketika dia melewati gang dengan susah payah, sekejap kemudian baru mencapai ujung dengan napas terengah-engah. Dia berjalan sebentar ke arah barat, masuk lebih jauh ke dalam labirin-labirin rumah penduduk yang tampak suram, kemudian berhenti di depan sebuah pagar besi tinggi sebuah rumah yang menjulang dalam kegelapan dan menyimpan jutaan risiko di baliknya. Untuk sejenak, mata di balik tudung mantel itu berkilat memperhatikan apa yang tampak di hadapannya.

Sosok itu membeku selama beberapa saat untuk menimbang-nimbang kembali keputusannya. Dia mendesah berat, lalu mendongak menatap kegelapan langit yang menjubah di atasnya. Titik-tiik hujan jatuh menetes di wajahnya bagai jarum dingin yang menusuk kulit. Malam kian larut, sementara waktu yang menyeretnya hingga ke titik ini perlahan lenyap ditelan semesta tanpa membuahkan hasil yang dia inginkan.

Hanya sekaranglah kesempatannya.

Hanya hari inilah dia bisa memungut sisa-sisa keberanian yang tercecer di kehidupannya dan membangun sebuah tameng kokoh untuk dirinya, melindunginya dari ketidakberdayaan yang selama ini mengungkung dunianya. Dia tidak bisa menjamin apakah esok pilihannya akan kembali runtuh, atau justru terjalin makin kuat. Kesempatannya hanyalah hari ini.

Hari ini, atau tidak untuk selamanya.

Diperkuat oleh keyakinan itu, sosok bermantel tersebut pada akhirnya memutuskan untuk memanjat naik ke atas pagar.

Dadanya bergemuruh, paru-parunya kembang kempis seperti kehabisan napas, bukan karena perasaan takut atau cemas atau gelisah, melainkan sejenis perasaan senang yang kau rasakan ketika hendak membuka sebuah bingkisan cantik di depanmu; penasaran setengah mati. Sosok itu nyaris berpikir bahwa jantungnya akan meledak kapan saja karena rasa ingin tahu yang semakin merajam tiap detiknya. Dia siap dibunuh oleh kenyataan manis yang terungkap di balik pagar besi itu, membaui segala inci tentang sosok yang dicintainya, mencium aroma kepuasan yang selama ini tak pernah bisa ia rengkuh.

Menemukan masa depannya.

Park Jimin.


.

.


-oOo-

Langit diluar semakin terang dan terik, seberkas cahaya menyinari petak-petak lantai, sofa dan meja kecil, lalu sejumlah barang-barang yang tergeletak di sepanjang ruang latihan. Menyebar di dua titik, para member BTS kini tengah beristirahat usai kegiatan menari yang melelahkan. Keenam dari mereka bergabung membentuk pasukan yang diterpa gelombang kelelahan, sementara hanya satu yang masih sanggup berdiri agak menjauh dari yang lain, menghadap cermin besar di sisi ruangan sembari terengah-engah menghapal gerakan tari.

𝐓𝐇𝐄 𝐒𝐓𝐀𝐋𝐊𝐄𝐑 | 𝐁𝐓𝐒 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang