Time15 : 09.00 AM

58 12 4
                                    

"Entahlah,"

Time berbaring di lantai, dengan kedua tangannya sebagai penahan agar kepalanya tidak menyentuh lantai hitam ini. "Um, hm ... lupakan saja!"

Aku mengernyitkan keningku, "Apanya yang harus dilupakan?"

Time menggelengkan kepalanya, "Oh ya! Kau mau melihat memorimu berikutnya?"

"Tentang apa?"

"Lihat saja!"

Aku berpikir sebentar, "Tunggu!"

"Apa?"

"Ibu! Aku ingin menanyakan sesuatu mengenai Ibu, kenapa aku sebegitu dibencinya?"

"Sudah kubilang, itu akan terjawab di memori berikutnya!"

"Tapi ... apa jangan-jangan karena aku anak di luar nikah?"

"Bodoh ... berarti selama ini kau tidak menyadari sifat dari Ibumu?"

"Ibuku?"

"Ya, kalau kau tidak menyadarinya. Biar aku saja yang menjelaskannya, dilihat dari memori sebelumnya, Ibumu memiliki karakter 'fobia' akan sesuatu atau penyakit yang menyerang Veltos, dan sikap yang sulit untuk mengendalikan kesabaran dan amarahnya. Sisanya, akan terbukti di memori selanjutnya mengenai sifat ibumu yang sebenarnya!"

"Oke, jadi apakah aku bisa memasuki memori berikutnya, aku ingin melupakan masalah Ibu!"

"Astaga! Tapi, aku sudah berencana menyiapkan memori mengenai Ibumu!"

"APA?!"

Time nyengir, "Maaf ...,"

"Baiklah, dan kuharap bukan tentang penyiksaan lagi!"

"Err," Time langsung menyentilkan jari telunjuknya ke dahiku, detik berikutnya, tubuhku terasa disedot dan akhirnya aku merasa bebas, dan melihat di sekitar.

Tempat ini seperti rumahku. Atau itu memang benar, sebab, aku melihat fotoku saja, tidak ada foto lain yang terpajang di rumah itu, foto ayah, foto ibu, dan juga foto kakak, semuanya tidak ada. Hanya ada fotoku, aku berjalan, dan melihat bunyi aneh yang membuatku semakin penasaran. Aku mencari bunyi tersebut yang ternyata berasal dari dapur, aku melihat seorang wanita sekarang ini tengah memukul seorang anak kecil berambut pirang dengan sapu.

Hal ini membuatku terkejut, dan entah kenapa merasa takut. Ibu tengah memukul diriku, yang hanya bisa menyandarkan punggungnya sambil menutup kedua tangannya.

"Dasar pembunuh! Kau sudah membunuh Putra kesayanganku! Jika saja kau dari dulu tidak lahir, mungkin anakku sampai sekarang masih hidup!"

Ibu semakin memperbanyak pukulannya, sedangkan Shelton hanya bisa menjerit kesakitan, bahkan aku melihat sebuah memar mulai bermunculan di tubuhnya, tangan, dan kaki. Dan juga darah yang mengalir di tangannya. Lalu, aku mendengar bunyi bel yang ternyata berasal dari pintu rumah.

Ibu langsung menghentikan kegiatan itu, dan membuang sapu tersebut ke samping, dan berjalan menjauh. Aku mendekat untuk melihat keadaan Shelton, dia sangat parah, dia terlihat tidak bisa bangun lagi, ia menangis, dan ketika ia bangkit berdiri, ia menangis sembari menjerit kesakitan. Aku tau, itu sangat menyakitkan, aku ingin membantu sosok diriku sendiri, yang hanya seorang, tidak ada yang menolongnya. Bahkan, aku menangis melihatnya menyeret kakinya yang sakit.

Aku mengikutinya dari belakang, lalu ia tiba di sebuah kamar, ia masuk ke dalam kamar itu, dan betapa kagetnya diriku saat mengetahui kamar itu berantakan, dan berbagai macam obat, ada di tempat itu, perban, dan hal-hal yang berhubungan dengan pengobatan luka. Aku berjalan masuk dengan cepat, ketika Shelton ingin menutup pintu dan menguncinya, ia menyanderkan tubuhnya di pintu.

TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang