"Itu Ayah lo bukan?" tanya Aga sambil menunjuk ke arah lorong samping kanan kami. Benar saja. Ayah datang bersama seorang dokter pria seumuran dengannya."Loh Aga kamu belum pulang nak? Pantesan si Elen masih disini." Dokter pria itu terkejut melihat Aga. Aku juga terkejut dengan ucapannya. Si Elen? Wait. Who is this doctor?
"Papa sebentar!"
Kami serempak menoleh ke arah suara nyaring itu. Oke dunia. Tolong telan aku saat ini juga.
*
"Papa nanti jangan lupa dateng ke sekolah Elen jam sebelas ya," kata Elenna riang seraya menggamit lengan Aga tanpa sadar. Aku menatap nanar jari lentik gadis itu. Jadi ini yang Aga maksud dengan nggak datang sendirian. Ke rumah sakit bareng Elenna yang orangtuanya adalah dokter, teman Ayah? Sempit sekali dunia.
"Iya sayang nanti Papa dateng. Sudah sana kalau mau balik ke sekolah. Izinnya kan cuma satu jam kalian."
Elenna melambaikan tangannya. "Semangat kerja ya Pa. Elen sekolah dulu," ucapnya seraya menarik Aga. Aga menoleh ke arahku kemudian mengerling, memberi isyarat dengan tangan kirinya yang terluka. Kode untuk 'nanti aku hubungi'. Aku tersenyum. Yah, bukankah aku sudah pernah bilang kalau aku ingin Aga kembali mengingatku bagaimanapun caranya.
"Ayo nak kita periksa luka kamu," Ayah merengkuh bahuku, menghapus tulisan 'pelakor' dari otak polosku.
*
Aiko sukses mengacaukan kamar Fhersnand saat kembaranku itu sedang sibuk memasak untuk makan siang kami. Satu jam lagi tim basket SMAku mengadakan rapat besar di sini, membahas pekan raya basket dua bulan mendatang. Aku membantu Aiko yang tengah berusaha merapikan kembali barang-barang antik Fhersnand yang kesemuanya berbau basket."Maniak banget sih si Freshnand sama bola beginian. Hega nggak kayak gini deh," kata Aiko heran saat memungut gantungan kunci berbentuk bola yang jumlahnya puluhan, hadiah dari Mama tiap pulang ke Indonesia.
"Punya pacar nggak sih dia? Basket mulu. Homo kalik kembaran lo Ca," cetus Aiko asal. Aku terkikik. Setauku si idiot itu nggak pernah sekalipun ngebahas soal cewe padaku.
"Tau deh. Dia nggak pernah bahas begituan sama gue. Tapi kayaknya semalem sempet keceplosan manggil gue Karina," gumamku sambil mengingat-ingat kejadian semalam. Wajahku memanas. Obrolan singkatku dengan Aga di ponsel merampas memoriku tentang Fhersnand.
"Bayangin apa lo? Wah parah nih Caca. Udah gede juga ternyata." Aiko melempariku dengan bantal. Aku tergelak.
"Apaan sih Ko. Gue cuma keinget Aga doang kok," kataku cepat. Aku nggak pernah bisa bohong sama Aiko dan Fhersnand. They really know me so well.
"Kenapa sama Aga? Dia udah inget lo?"
"Belum sih. Cuma semalem dia telfon gue, ngebahas luka gue doang sih."
"Serius lo? Gue kira dia udah nggak nanggepin cewe-cewe di maya. Kayaknya Aga tertarik beneran sama lo deh Ca," kata Aiko yakin. Aku mengangkat bahu.
"Dengan Elenna sebagai pacarnya? Nggak deh Ko. Semua orang tau kalo Aga suka berat sama si itu. Gue apa coba. Dia aja dulu jijik sama gue." Aku mencoba tersenyum mengatakannya. Kenyataan ini masih membuatku sangat rendah diri. Aiko menggenggam tanganku.
"Kenapa lo nggak balas dendam aja? Kasih dia perhitungan lah Ca. Dulu dia emang jijik sama lo. Sekarang? Buat dia jijik sama dirinya sendiri."
Aku tertegun. Itu dia. Itu dia yang aku butuhkan saat ini. Tapi kayaknya aku nggak bisa deh jadi orang jahat.
"Eh itu kayaknya tim basket udah pada dateng deh Ca. Ke bawah yuk. Biarin deh ini berantakan hehe." Aiko menarikku ke luar, mengabaikan kamar Fhersnand yang masih berantakan. Luka di tangan dan wajahku sudah sembuh. Tinggal bekasnya yang belum hilang. Jadi aku nggak perlu pakai masker plus kacamata seperti kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEAR LIAR
Teen Fiction"Gue cinta elo, Ca. Sumpah kangen banget gue sama lo." Aga merengkuhku. Tunggu dulu. Dia bilang apa?! Sebelum aku menghajar cowo kurang ajar di depanku, si Agatha sialan ini telah merusak wajah suciku dengan ciuman kilat naudzubilahnya. Aku harus pi...