Rahasia Terpendam

87 13 1
                                    

Jangan lupa tekan bintang ya ❤ Makasih udah mau baca cerita ini. Ada yang nungguin? 😋

*
"Kamu adalah alasan aku menghapus masa laluku. Tak dianggap. Dibuang. Tega sekali bukan?"
(Chareisa Putri Azka)
*

Aga memainkan kotak tisu yang ada di atas meja tanpa mentapku. Aku tau dia ingin mengatakan sesuatu namun mengurungkannya tepat saat pelayan restoran membawakan pesanan kami. Dentingan sendok dan garpu memecah kesunyian yang terjalin di meja paling ujung restoran ini. Pikiranku tak henti-hentinya memutar ulang kalimat terakhir Aga. Dia kecelakaan? Tepat saat aku berangkat ke Australia? Kenapa aku sama sekali nggak tau tentang ini.

"Caca jangan diliatin doang steaknya. Mikirin apa sih?" tanya Aga memulai pembicaraan. Aku tersadar dan langsung kuambil sepotong daging ayam besar-besar hingga membuat mulutku mengerucut. Kudengar Aga tertawa.

"Makannya lucu, kayak anak kecil."

"Makannya lucu, kayak anak kecil."

Dejavu sialan ini. Aku mengalihkan fokusku ke luar restoran yang semakin dipenuhi oleh kendaraan bermotor dari pengunjung. Seharusnya setelah ini Aga akan membicarakan latihan basketnya, atau tugas-tugas menyebalkan dari sekolah. Dan aku akan menanggapinya dengan serius, seolah-olah ucapan Aga sangat menarik untukku. Ralat. Ucapannya selalu menjadi pusat ketertarikanku.

Aga berdeham. "Tadi lo liat gue basket kan Ca? Menurut lo permainan gue gimana? Lo masih phobia bola meskipun gue yang main?" tanyanya percaya diri. Senyumku mengembang. Ini seperti memutar ulang kenangan yang sama. Rasanya menyenangkan.

"Tadi bagus," jawabku pelan. Aku masih terlalu kaget dengan semua kemungkinan yang muncul di otakku berubah menjadi kenyataan. Tenang Caca. Bisa saja Aga juga melakukan hal yang sama dengan si Elena atau bahkan Viola. Senyumku langsung surut memikirkan kemungkinan memuakkan itu.

"Bagus doang? Nggak ada tambahan gantengnya?"

"Apasih komedi."

Kami tertawa. Aku gemas ingin bertanya tentang tragedi kecelakaan lima tahun lalu.

"Aga, emm. Tentang kecelakaan lo, apa itu fatal? Maksud gue, apa luka lo parah?" Aku bicara sangat lirih. Aga terdiam. Tatapannya mengunci mata cokelatku. Kulihat ada sebersit kesedihan yang nampak dari wajah Aga. Setitik luka yang membuat dadaku ngilu.

"Luka gue nggak begitu parah sih. Adek gue yang parah. Kakinya lumpuh." Aga menjawab enteng, bertolak belakang dengan raut wajahnya yang kelam. Puzzle di pikiranku semakin acak. Aga ada adik? Kenapa dia nggak pernah cerita kalau dia punya adik? Tunggu. Memangnya apa yang kutau tentang Aga selama ini? Punggungku memanas tentang kemungkinan aku tak tau apapun perihal Agaku.

"Nanti kita cerita lagi tentang ini kalau lo juga cerita tentang hidup lo. Gimana?" tantang Aga serius. Aku terperanjat. Sesi membuka diri masing-masing. Ironis sekali. Kupikir aku mengenalnya, nyatanya dia punya adikpun aku tak tau.

"Nggak ada yang menarik di hidup gue," jawabku asal. Aga mengernyit. Jelas tidak setuju dengan ucapanku.

"Lo yang tertutup aja itu udah menarik buat gue."

DEAR LIARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang