Dia Milikku

41 7 1
                                    

Jangan lupa votenyaMakasih udah mau baca cerita ini. Ada yang nungguin? 😁

*
"Tega sekali hanya aku yang jatuh dalam debaran tak beraturan ini. Sedangkan kau tak pernah merasakannya sama sekali."
(Chareisa Putri Azka)
*

"Kita ke rumah sakit sekarang ya? Biar Papa yang ngobatin kamu. Aku nggak mau denger penolakan!" Elenna menggertak.

Aga menggenggam tangan gadisnya penuh sayang. "Aku udah diobatin Caca semalam. Ini cuma lebam sama lecet doang Vee."

"Dia bukan dokter Ga! Kalau kamu ada luka dalam gimana? Aku nggak mau kamu kayak dulu lagi. Luka di kepala kamu kalau kambuh lagi gimana?" tukas Elenna geram. Aga berdecak. Pikiranku berputar tentang kecelakaan yang dialami Aga tiga tahun lalu. Dia bilang lukanya nggak parah. Tapi kenapa Elenna setakut itu?

"Kenapa nih?" Fhersnand yang baru saja muncul langsung terlihat bingung menyadari kehadiran Viola dan Elenna di rumah kami.

"Ya udah kita ke rumah sakit," gumam Aga kemudian. "Lo mau ikut nggak Nand?" tanya Aga.

Fhersnand menatapku sejenak. Aku menggeleng. Sudah cukup melihat Elenna memeluk Aga di depanku. Sejauh itukah hubungan mereka? Saling berpelukan? Penuh cinta?

"Udah kalian aja. Kalo ada apa-apa kabarin kita ya Ga," jawab Fhersnand.

"Nggak jadi ikut Ca? Tadi katanya mau ke rumah sakit?" kali ini Aga menatapku lembut. Tangannya masih berada di punggung Elenna. Dilihat sedekat ini mereka berdua nampak cocok sekali. Yang satu tampan, yang satu cantik. Aku memaksakan wajahku tersenyum.

"Kalian bertiga aja," jawabku lirih. Sekilas kulihat Elenna mengamati keseluruhan tubuhku. Senyum tipis muncul dari bibirnya. Punggungku memanas. Apa? Dia nggak berfikiran yang aneh-aneh tentangku kan?

"Makasih ya Ca lo udah nolongin Aga. Gue khawatir banget sama dia." Elenna bergumam sebelum keluar dari rumahku. "Oh iya jangan lupa besok kita seleksi ballet. Semoga lo lolos ya Ca," katanya mengingatkan. Aku mengangguk, lantas menatap kosong punggung Aga yang mulai menjauh dari pandanganku. Sesekali Aga mengelus rambut Elenna saat Viola mencoba mengeluarkan mobil mereka. Gadis itu melambai.

"Udah yang, nggak usah sedih gitu deh." Fhersnand menepuk bahuku. Aku mulai mencebikkan bibirku, menahan air mataku keluar. Kenapa sih aku secengeng ini? Lagian itu wajar kan kalau dua orang yang menjalin kasih saling memeluk satu sama lain? Itu wajar sekali kan? Tapi kenapa rasanya nggak ikhlas? Kenapa aku nggak suka kalau Elenna bisa memeluk Aga sebebas itu? Kenapa aku nggak suka kalau Aga membalas pelukan Elenna penuh sayang? Aku sebenarnya kenapa sih?

"Hei Caca. Udah jangan nangis. Sesuka itu ya sama Aga?" kata Fhersnand lembut seraya memelukku. Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat, mengabaikan rasa perih dan asin dari mulutku.

"Rasanya cuma nggak ikhlas aja sih Kak. Gue bego banget ya? Jelas-jelas mereka saling suka. Apa yang gue harepin coba?" tanyaku getir. Aku menghapus air mata sialan dari wajahku. Persetan dengan make up yang luntur. Menggelikan sekali mengingat betapa antusianya aku berdandan hanya untuk terlihat lebih cantik di mata Aga. Dan apa yang kudapat? Elenna yang memeluknya terang-terangan? Sudah jelas aku harus membunuh segala perasaan kurangajar ini sebelum jatuh terlalu dalam.

DEAR LIARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang