"Elenna, cewe gue. Dia ketuanya."
Tubuhku melemas. Bahkan si Elenna itu juga sangat paham dengan tipe idealmu ya Ga? Jadi kamu mau aku saingan sama si sempurnamu itu Ga? Aku meremas ujung rokku. Kalau balas dendam sesakit ini, lantas bagaimana dengan menyerah untuk pergi? Hah! Akan kubuktikan kalau aku bisa lebih dari Elenna sempurna kamu itu. Lihat aja Ga. Kamu pernah melukaiku dalam kadar keterlaluan, maka kamu juga akan merasakan pembalasan yang setimpal. Karma is bitch dude.
*
"Jadi, cewe lo si Elenna itu bisa ballet juga ya Ga? Beruntung banget sih lo bisa pacaran sama dia," kataku dengan topeng sangat ramah hingga membuat Fhersnand dan Aiko berjengit menatapku. Aga menggaruk pelipisnya pelan."Dia yang beruntung dapet gue," jawabnya narsis.
Aiko tertawa. Aku juga. Sejurus kemudian Aga menyentuh perban di tanganku, mengalirkan rasa hangat pada seluruh sendi-sendiku, lantas mengusap jari kelingkingku pelan, menepuknya tiga kali. Aku merona. Kode untuk "lekas sembuh" yang dulu pernah dia lakukan untukku kini saling bertabrakan diingatanku. Kurasa Aga tidak melupakan Reisa. Dia tidak melupakanku. Dia hanya tidak tau kalau Caca adalah Reisa. Hm, mungkin aku harus coba tanya-tanya tentang masa lalunya.
"Aga, em, tentang temen lo dulu itu yang phobia suara basket, em, lo tau dia dimana sekarang?" tanyaku kemudian. Fhersnand tiba-tiba beranjak sambil menggeret tangan Aiko.
"Temenin gue ke sanggar yang," katanya menjelaskan.
"Fresh! Ih elo apaan sih! Gue mau nemenin Caca!" Aiko berusaha menolak Fhersnand namun tangan saudara kembarku itu lebih erat menggenggam jemari Aiko. Aku dan Aga hanya bisa menggeleng pelan melihat kepergian mereka, meninggalkan kami berdua. Bagus sekali. Semoga si Elenna tidak muncul saat aku sedang membahas "si dulu temen gue" nya Aga.
"Tadi lo tanya apa Ca?" tanya Aga dengan tatapan mata tertuju padaku. Langsung padaku. Wajahku memerah.
"Itu, em, temen lo yang phobia itu. Dia dimana sekarang?"
"Nggak tau gue. Lupa. Udah lama itu. Gue malah baru inget dia sekarang pas denger lo anti bola basket. Familier aja gitu," jawab Aga enteng.
Aku menepis kalimat menyakitkan Aga. Oke, mungkin dulu aku sangat tidak berkesan untuknya. Hah! Tapi dia mantan calon suamiku!
"Eh, Ca,"
"Ya?"
Aga meletakkan bolpoinnya. Tangannya saling terkait. Dia memainkan salah satu kakinya dan menghindari tatapanku. Kode ini. Apa yang ingin dia tanyakan padaku?
"Lo mau tanya apa Ga?" tanyaku cepat. Aga terpengarah.
"Lo tau?" tanyanya takjub. Taulah Ga! Thats our sweet code, right?
"Dulu lo pernah..."
BRAK!
"Anjir! Apa-apaan nih?!"
Jantungku langsung mencelos saat kulihat seseorang menggebrak meja kami hingga kertas-kertas formulir anak basket bertebaran, lalu tanpa rasa takut, cowo berseragam olahraga disampingku telah menarik kerah baju Aga, menyeretnya ke depan kelas.
"Mau lo apa hah?" Aga berkata nyalang. Ini pertama kalinya seumur hidup aku melihat adegan kekerasan antar cowo di depanku. Seisi kelas yang mayoritas anak cewe terlihat takut sekaligus bingung mau melakukan apa. Aku berdiri dua langkah di belakang Aga dengan tubuh gemetar. Cowo kasar berseragam itu masih memegang kerah baju Aga dengan wajah garang.
"Lo masih tanya juga anjing! Gue udah bilang sama lo tentang kesepakatan kita! Dan lo ngelanggar! Lo cari mati hah?!" Cowo itu balas berteriak.
"Tunggu! Maksud lo kesepakatan yang apa nih? Gue ngelanggar apa nih?" Aga berusaha tenang namun cowo di depannya malah menyudutkannya ke papan tulis.

KAMU SEDANG MEMBACA
DEAR LIAR
Teen Fiction"Gue cinta elo, Ca. Sumpah kangen banget gue sama lo." Aga merengkuhku. Tunggu dulu. Dia bilang apa?! Sebelum aku menghajar cowo kurang ajar di depanku, si Agatha sialan ini telah merusak wajah suciku dengan ciuman kilat naudzubilahnya. Aku harus pi...