Dia, Elenna

210 47 0
                                    

Jangan lupa bintang ❤❤
*
"Kau dan aku hanyalah bayangan semu yang tak akan pernah bertemu."
(Chareisa Putri Azka)
*

"Fhersnand adek lo luka nih," teriak Aga panik sambil menarikku menjauh dari serpihan kaca. Aku hanya menatap kosong Aga saat dia mengambil sapu tangan dari saku sweaternya, benda favorit yang selalu ia bawa, lalu menyeka darah di tanganku.

Fhersnand sangat telat sekali menghampiriku entah dia habis travelling kemana. "Caca lo kenapa sayang?"

Kali ini aku menangis. Menangis karena sikap Aga tadi siang pada Elenna. Menangis karena percakapan romantis mereka. Menangis karena kekhawatirannya padaku. Menangis karena perlakuan manisnya padaku. Menangis karena aku baru sadar kalo aku takut darah. Aku menangis keras-keras. Kukira hariku tidak akan lebih buruk lagi seperti ini.

*
Srak.

Aku berguling ke kanan, menatap nanar langit-langit kamar. It is almost 3 a.m, tapi mataku sama sekali nggak mau terpejam. Gara-gara Aga ganteng itu insomniaku kambuh. Aku mengalihkan tatapanku, lalu terisak. Tangan kananku yang mulus. Hiks. Rasanya perih banget. Aku benci terluka.

Beberapa jam yang lalu setelah Aga berhasil melepas serpihan kaca dari telapak tanganku, Bi Dina datang tergopoh-gopoh lantas berteriak panik dan berlari mengambil kotak P3K di dapur. Bahkan aku masih ingat seberapa cengengnya aku tadi sampai baju depan Fhersnand penuh dengan ingusku.

"Aduh non Caca kenapa bisa begini sih non?" Bi Dina mencuci tanganku dengan kain bersih yang langsung membuatku meringis kesakitan.

"Hua sakit Kak, ini sakit banget, Caca nggak suka. Mamaaaaaaa sakit Maaaaa.." tangisku yang membuat Aga dan Leon menahan tawanya.

"Iya sayang besok pagi kita telfon Mama ya. Apa mau gue panggilin Ayah?" tanya Fhersnand lembut sambil memeluk bahuku. Tangisku semakin pecah saat Bi Dina menuangkan alkohol pada lukaku. Its hell guys.

"Jangan nangis non, kasian kalo Bapak sampe bangun," kata Bi Dina yang membuatku menggigit bibir bawahku, berusaha menahan isakanku keluar. Aku menatap Aga sekilas dengan wajah sembabku. Ini gara-gara Aga. Semua ini gara-gara Aga yang selingkuh sama Elenna di rumahku. Di depanku.

Sebelum rencana-rencana jahat keluar dari otakku, Fhersnand telah menuntunku berjalan menuju kamar dengan tangan kananku yang terbalut perban.

"Tidur yang nyenyak Ca. Itu pasti sakit banget," kata Aga tiba-tiba saat aku baru saja melewati anak tangga pertama. Rasanya aku ingin menghajar Aga dan mengingatkannya tentang masa lalu kami yang belum usai. Sayangnya rasa perih ditanganku merusak segalanya.

Srak.

Aku berguling ke kiri. Mengingat Aga hanya membuat luka di tanganku semakin terasa. Aku mengambil earphone merah pemberian Aga yang telah kurekatkan kembali menggunakan lem. Senyumku mengembang. Bego banget nggak sih? Sejahat apapun Aga ke aku, aku sama sekali nggak bisa benci dia lebih dari lima menit. Sial. Kenapa hatiku lembek sekali sih?

*
Duk. Duk. Duk.

Astagfirullahaladzim Fhersnand!! Bisa nggak sih dia nggak ngebangunin aku malem-malem gini pake bola basket terkutuknya itu! Aku memicingkan mata saat melihat jam weker kelinciku. Bahkan ini masih pukul 6.30 pagi. Biasanya jam segini aku masih sibuk dengan mimpi-mimpi romantisku saat sekolah di Australia dulu. Dan sekarang apa? Si idiot itu benar-benar.

"Sayang udah bangun?" See? Dia selalu mengganggu.

Aku menggeliat pelan saat Fhersnand tiba-tiba menyingkap selimutku. Dia telah berseragam lengkap dengan tangan kanan membawa nampan berisi sarapan. Nyawaku langsung sadar 100% setelah hidungku mencium aroma makanan favoritku tiga tahun yang lalu. Ini kan?

DEAR LIARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang