1

2.8K 465 400
                                    

SATU :










Sunyi,

Satu-persatu rak-rak besar perpustakaan terus Risma telusuri, mencari sebuah buku yang menarik perhatiannya, sembari menunggu Gilang, pacarnya. Mungkin bisa di bilang, hubungan Risma bersama Gilang bukan lagi seumuran jagung, melainkan dua tahun lebih lamanya. Iyah, kala itu Risma dan Gilang masih duduk di bangku SMA kelas 1. Awalnya pula, Risma ragu menerima hati Gilang mengingat dirinya yang belum terlalu ahli dalam hal berpacaran. Namun entah bagaimana cara Gilang yang dapat menarik perhatiannya membuat Risma akhirnya menyerah begitu saja.

Dan─yah, akhirnya pilihan Risma jatuh pada buku berwarna tosca dengan cover bertuliskan rumus-rumus matematika. Tak terlalu tebal memang, namun cukup ampuh membuat alibi ingin mengerjakan tugas pada guru pengawas perpustakaan. Risma bukannya tak mau bertemu Gilang di luar perpustakaan, hanya saja─ada hal penting yang ingin ia tanyakan, dan untuk itu Gilang sendiri-lah yang memintanya agar menunggu di ruangan tersebut.

"Lama amat, mana lapar lagi." Gerutu Risma pelan. Sekarang, memang sedang jam istirahat kedua. Dan waktunya untuk makan siang malah berakhir di meja perpustakaan ini. Sedangkan sewaktu jam istirahat pertama─Risma bahkan tak mampu berdiri dari kursinya, mengingat beberapa tusukan suara dari teman-temannya mengenai Gilang cukup membuat kaki gadis itu tak lagi mampu menopang badannya yang mungil.

"Sorry telat, baru habis makan." Sambar Gilang dengan rasa tak bersalahnya. Pria itu lantas mengambil posisi duduk tegap tepat di samping kursi Risma, lalu menoleh menatap gadis di sampingnya dengan pandangan enteng. "Ada apa?"

"Gil, aku aja belum makan dari pagi."

Gilang nampak mengerutkan dahinya lalu memutar bola matanya jengah sembari membuang napasnya perlahan. "Lah terus, aku gak bisa makan kalau kamu belum makan, gitu?" Lantas, Gilang memundurkan kursinya perlahan, memberikan gerakan aba-aba jika ia ingin berdiri sekarang. "Jangan manja deh, Ris. Kamu udah dewasa."

"Gilang, aku manggil kamu ke sini bukan buat debatin itu," Oke, mungkin kali ini Risma yang salah. Gilang benar, pria itu tak harus menunggunya jika ingin pergi ke kantin. "Duduk dulu,"

Dengan raut wajah pasrah, Gilang kembali duduk setelah berhasil untuk berdiri tadi. "Yaudah, langsung ke intinya aja."

"Kamu semalam dari mana?" Tanyanya spontan. Masih Risma tatap lekat-lekat wajah Gilang dengan seksama, dan─reaksi pria itu nampak sedikit bingung akan pertanyaan. Mungkin, harus lebih kompleks. "Habis jalan sama Jihan?"

"Iyah,"

Risma menahan napasnya setengah mati ketika perkataan Gilang yang meng-iyakan terlontar lolos dalam bibirnya. Jujur saja, daripada lebih merasakan sakit, benak Risma saat ini lebih mengarah pada pertanyaan; dianggap apa dirinya oleh Gilang? Mengingat kata putus atau semacamnya belum pernah Risma ucapkan sama sekali. Ah─memang iyah, pria itu sering membicarakan hal-hal yang mengarah ke sana. Namun menurut Risma, jika awal mereka pacaran tak ada yang sepihak, lantas mengapa putus harus sepihak?

"Gil, Jihan itu man..."

"Mantan aku," Tepis Gilang cepat dengan nada suara, ekspresi, serta tatapannya yang sama sekali terlihat santai saja. "Dewasa dikit napa, Ris."

Kurang dewasa apa lagi Risma selama ini?

Alih-alih berdebat panjang atau terlibat masalah bersama guru perpustakaan jika ketahuan dirinya yang tak mengerjakan tugas, Risma lebih memilih berdiri dan pergi saja. Percuma, harapannya jika memang betul apa yang di katakan teman-temannya di pagi tadi adalah benar, maka dengan bertanya seperti itu mungkin akan membuat Gilang meminta maaf. Namun─sepertinya ekspektasi gadis itu terlalu tinggi. Jangankan untuk kata maaf, rasa bersalah sedikitpun Gilang nampak sudah tak punya.

"Aku balik ke kelas,"

"Risma," Lirih Gilang pelan, "Kalau gak kuat, udahin aja."

Lucu? Memang. Memikirkan siapa yang berjuang di awal namun menyerah begitu saja. Dan─lagi! Gilang kembali mengungkit hal yang sama, yang bahkan Risma sendiri tak tahu sudah keberapa kalinya. Memang benar apa yang di katakan ayahnya dulu, bahwa; tak semua pria akan berjuang sampai titik akhirnya.
 
  
  
 
 

****


  
  
  

Fadhil mendongkak penuh menatap langit gelap dengan hujan yang tetap saja mengguyur semenjak bel pulang tadi. Tidak-tidak, jika kebanyakan siswa dan siswi senang akan hal itu, sebab bisa menikmati lebatnya rintik air di bawahnya, maka Fadhil memiliki perasaan kebalikan dari hal itu. Selain membosankan, hujan juga membuatnya terlihat kesal, muak dan malu.

Penyebabnya? Rheva.

Rheva terus saja mengoceh sejak setengah jam yang lalu, entah itu untuk keluhan hujan, dingin, sepatunya yang basah karena percikan air, rambutnya yang berantakan sebab terpaan angin, membuat Fadhil merasa benar-benar ingin meremas gadis itu hingga membentuk partikel-partikel kecil, lalu membuangnya ke selokan sekolah. Ia benci cewek manja.

"Fadhil, aku bicara dari tadi kenapa gak di dengerin sih?!" Risih Rheva sambil menghentakkan kedua kakinya, ia tidak perduli akan tatapan siswa-siswi yang sedang berlalu-lalang atau bahkan ada yang ikut berteduh di samping mereka. Fokus Rheva hanya ke arah pria berbadan kekar di sampingnya yang sedang sibuk memainkan ponsel. "Fadhil sayang Rheva, gak sih?" Tanya gadis itu dengan bibir yang ia manyunkan, berniat ingin terlihat imut namun begitu amit-amit di mata Fadhil.

"Va gue duluan yah," Tangkis Fadhil cepat. Ia tak tahan lagi jika harus tetap berdiri lantas menanggung malu di sana. Persetan dengan seragamnya yang mulai basah di terpa hujan, dirinya hanya perlu cepat-cepat menghindari Rheva, lalu beranjak pulang agar dapat bernapas dengan lega tantunya.

Bagi Fadhil, Rheva bukanlah hama yang sangat harus ia hindari. Hanya saja, ada beberapa perilaku Rheva yang sungguh membuat setan dalam dirinya ingin meronta, tapi memikirkan bahwa Rheva masih perempuan, membuat Fadhil lebih memilih menghindar saja seraya mengumpat dalam hati. Rheva dan Fadhil pacaran? Tidak, ia tak pernah menjalin asmara bersama gadis itu. Memang pernah Fadhil akui bahwa Rheva mengakui perasaannya, namun dengan mentah-mentah Fadhil menolak.

Tapi entah dengan tingkat kepedean level berapa, Rheva malah mengungumkan pada anak-anak bahwa Fadhil-lah yang menyatakan perasaan padanya, dan─mereka sudah menjalin asmara. Mendengar hal itu, ingin sekali Fadhil membantah. Tapi tidak, ia masih memikirkan harga diri Rheva. Gadis itu mungkin bisa saja akan sangat-sangat malu, membuat Fadhil kembali mengurungkan niatnya dan tetap diam di samping sikap Rheva yang kian menjadi-jadi.

Salah? Memang!



















____________________

 
  
 

Struggle...

Revisi; 10 Mei 2019

StruggleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang