DUA PULUH EMPAT :
Tatapan Fadhil sama saja kosong dari segala perasaan, bahkan semenjak dua puluh menit berlalu, dirinya dan Sila sama-sama tetap memilih bungkam dari seribu bahasa. Bercekam dengan lajunya mobil serta bunyi mesin yang hanya mengiri setiap detik mereka.
Sila tak tahu apa yang harus ia katakan.
Dan Fadhil hanya diam, memikirkan apa konsekuensi dari tindakannya ini dan berharap tak ada yang akan terluka lagi.
"Sila," Lirih Fadhil pelan, "Lo bisa buat gue jatuh cinta sama lo? Jangan lo aja yang cinta."
"Emang kenapa? Gak masalah kok,"
Fadhil mendesah pelan sambil memijit pelipisnya penat, mungkin bisa di bilang hari ini adalah hari pertama dirinya dan Sila menjalin hubungan lebih dari teman, dan Fadhil benar-benar merasa dirinya begitu brengsek mengingat ia tak memiliki perasaan apapun pada gadis di sampingnya.
"Ya gak apa, biar gue gak brengsek sama lo."
Sila hanya mengangguk patuh sambil tersenyum lebar. Bahkan mimpinya pun tak pernah mengharapkan bahwa Fadhil akan jadi miliknya. Dan mengingat tentang masa ke depan nanti hubungannya bersama Fadhil, ia begitu terkesan tidak peduli. Ia hanya tak mau memikirkan hal itu, biar saja semuanya berjalan seiring waktu.
"Gue boleh pegang tangan lo?"
Fadhil yang mendengarnya sontak menoleh memperhatikan gadis di sampingnya, sambil mengangguk dan tersenyum kecil, ia meraih telapak tangan Sila, memegangnya erat-erat dan berharap "semoga aja lo bisa gantiin posisi dia."
****
"Seriusan? Mereka jadian?""Gimana caranya, sih? Pasti banyak yang gila entar."
Sesekali, Risma hanya melirik beberapa siswi yang sedang sibuk bergosip di pagi ini, bahkan sepanjang koridor telinganya lagi-lagi mendengar beberapa pembahasan namun dengan topik yang sama. Entahlah, toh, ia tak peduli dengan hal itu.
"Rismaaaa?!"
Yang di panggil pun sontak menoleh, dahinya mengernyit memperhatikan Caca yang berlari kencang menuju ke arahnya. Sungguh, pagi ini benar-benar membuat Risma mati kebingungan, mulai dari gosip-gosip yang sebenarnya tak mau ia pedulikan─seperti biasanya. Namun untuk sekarang ini, hati Risma seakan terusik ketika mendengarnya.
Dan Caca yang sedang berlari, seakan sahabatnya itu terlihat begitu khawatir dengan sesuatu.
"Ini cepetan pakai ini," Dengan sigap, Caca memberikan earphone padanya. "Pakai cepetan, atur voleme yang tinggi. Jangan dengar gosip hari ini, cepatan ih malah bengong."
Benar kan dugaannya, memang ada yang tak beres saat ini.
"YA ALLOH ITU MEREKA, YA AMPUN BENERAN JADIAN!!!"
Mendengar teriakan itu, Risma kembali mengedarkan pandangannya, mencari satu titik pusat yang sedang menjadi bahan perbincangan sejak tadi.
Dan─skakmat!
Sesaat mata Risma terbelalak sempurna saat menatap gadis yang sedang tersenyum sambil menggandeng erat tangan Fadhil, namun sedetiknya, hatinya seakan mencolos bolong. Jantungnya seakan jatuh ke jurang tak berdasar, hanya ada ketakutan besar jika keadaan saat ini memang benar-benar realita. Bahkan, untuk membuka mulutnya dan bertanya pada Caca pun begitu terasa sulit.
Pada keadaan yang sama, mata Sila dan Fadhil sama-sama menangkap keberadaan Risma yang sedang berdiri tepat di depan mereka.
Tak ada ekspresi perasaan yang Fadhil dan Risma mampu ungkapkan lewat tatapan. Sedangkan Fadhil tau benar apa yang sedang di rasakan gadis itu. Dan saat yang sangat ingin ia lakukan sekarang adalah berjalan ke arah Risma, menyembunyikan wajahnya yang terlihat memerah dan─tak lama lagi akan menumpahkan air mata. Namun semuanya terasa bodoh, jika ia berperilaku sama dengan apa yang ingin hatinya lakukan, lantas bagaimana dengan Sila?
"Maaf," Hanya itu yang dapat Fadhil utarakan lewat hatinya. Di lain sisi, ada sosok yang sangat ingin dirinya bahagiakan dan disisi lainnya, ada perempuan yang juga ingin membahagiakannya.
"Ais pagi-pagi udah pacaran. Ini sekolah Bang." Sebelum melewati Fadhil, usilnya Gilang sempat-sempat memukul pelan pundak pria itu, lalu berjalan mendekati Risma dan tersenyum lebar. "Gue traktir minum, yuk."
Tanpa perlawanan, Risma hanya membiarkan dirinya di tarik oleh Gilang dan menjauh dari kerumunan.
****
"Nih minumnya,"
Risma hanya melirik Gilang yang sedang menyodorkan minuman dingin ke arahnya. Perlahan, tangan Risma bergerak untuk meraihnya, lalu menggenggam botol itu erat-erat tanpa peduli harus di minum atau tidak.
"Seharusnya lo biarin gue di sana."
"Maaf, gue gak bisa pergi jauh dari lo. Padahal sebelumnya gue udah brengsek banget." Gilang hanya menatap Risma yang sedang menunduk, memperhatikan sehelai demi helai rambut gadis itu yang sedang di terpa angin lembut.
"Gue bilang, seharusnya lo biarin gue di sana." Ucap Risma mengulang kembali topik utama tadi.
"Biarin lo nangis di sana? Terus di ketawain banyak orang, karena apa? Karena lo cemburu tapi gak ada hak, gitu?" Gilang mendesah pelan sambil mengedarkan pandangannya, memperhatikan roftoop sekolahnya yang baru ia sadari ternyata cukup luas untuk menjadi tempat pengasingan bangku dan meja yang rusak. "Lo kadang bodoh, Ris. Gue nyia-niyian lo dulu tapi lo tetep aja mau bertahan, dan sekarang, lo niat buat jadi bahan tontonan anak-anak lain?" Gilang menarik napasnya pelan seraya menghembuskannya secara perlahan. "Cinta bukan alasan buat lo jatuhin diri sendiri."
Dan pada saat yang sama, sontak tangisan Risma perlahan roboh. Ia benar-benar tak kuasa lagi menahan semuanya seorang diri. "Gue terlambat buat ngatain kalau gue sebenernya cinta sama dia."
Dan Gilang yang mendengarnya juga merasakan sakit, namun sejauh ini ia masih di cap sebagai pria yang pernah menyakiti gadis selembut Risma. "Lo gak terlambat Ris, dia aja yang kecepatan buat pergi dari sisi lo. Kalau dia sayang, kan bisa dia nunggu jawaban lo sebentar."
"Gue nyesel Gilang,"
"Gue juga Risma."
_________________________
Tinggal satu part lagi. Siap-siap yahhh:v
Revisi; 17 Juni 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Struggle
Teen Fiction•completed• Awalnya, Fadhil memang memperjuangkan Risma. Namun entah dengan alasan apa, gadis itu tetap saja diam seolah perasaan Fadhil adalah candaan belaka. Sampai akhirnya, Fadhil mengenal Sila. Gadis rapuh dengan sejuta rahasia...