TUJUH :
Fadhil mendesah perlahan, ia menyerah jika harus menunggu kalang kabut seperti ini. Pria itu memilih berdiri dari tempatnya sekarang, tak lupa meraih helm merahnya lantas berniat kembali masuk ke dalam pekarangan sekolah, sebelum berpapasan dengan Sila yang akan keluar.
Hanya diam. Fadhil sama canggungnya dengan kejadian sewaktu siang di kantin tadi, tentang Sila yang benar-benar keras kepala tak ingin berteman dengan dirinya.
"Ngapain lo masih di sini?."
Pertanyaan Sila sukses menyadarkan Fadhil. Gelagat pria itu nampak aneh membuat Sila merasa jengah lantas ingin berlalu dari sana, sebelum sahutan Fadhil kembali berhasil membuat langkahnya terhenti.
"Pulang bareng gue aja, Sil." Fadhil hanya ingin memberikan tumpangan. Toh, ia rasa juga Sila memang membutuhkannya.
Sila hanya mendelik pada Fadhil. Mengapa pria itu sangat gemar menganggu hidupnya. "Gue biasa pulang sendiri." Balasnya dengan ekspresi dingin seakan tak ingin terbantahkan.
"Lo kenapa, sih?" Jujur saja Fadhil memang sudah teramat gatal akan sikap Sila sedari tadi. Ia hanya penasaran mengapa ada orang yang begitu ingin menutup dirinya sampai-sampai membuat kesan diri sendiri terlihat buruk agar di jauhi oleh orang-orang. "Gue cuman mau temenan. Kenapa lo menjauh?"
"Lo cuman murid baru yang gak tau apa-apa,"
Ucapan Sila sukses membuat Fadhil tertegun. Salivanya ia telan perlahan lantas menatap punggung gadis itu yang semakin menjauh. "Lo ngebuat gue makin penasaran, Sil." Fadhil bergumam sendiri, ia tahu persis bahwa ini gila namun─Fadhil ingin masuk ke dalam kehidupan gadis itu, membuatnya tak lagi di jauhi oleh orang-orang, menarik Sila agar pergi dari dunia fananya.
Sebab, masih ada sebagaian orang yang ingin menjalani hidup dengan baik malah tak di beri kesempatan. Lantas─mengapa ada orang yang terlihat sengaja menyia-nyiakan hidupnya.
****
"Eh Ris, Fadhil sekolah di sini juga ternyata." Caca merangkul bahu Risma saat berjalan di koridor. Pagi ini─Risma memang mulai pergi bersekolah mengingat keadaan dirinya yang perlahan terlihat membaik. Mengingat jika harus berlama-lama menetap di rumah, gadis itu pun akan merasa bosan, terlebih lagi ketika harus sendirian. "Kemarin gue ketemu dia di kantin. Eh, tapi─emang Fadhil sekolah di sini, yah? Kok gak pernah liat."
Risma yang mendengar ucapan Caca seperti itu spontan membuat langkahnya terhenti. Lantas, ia menoleh menatap Caca lekat-lekat dengan pandangan tak percaya. "Fadhil ... Sekolah, di sini?"
Caca mengangguk pasti.
"Kalau jodoh, juga pasti entar ketemu." Sekilas tentang Fadhil, hanya perkataannya yang masih Risma ingat jelas-jelas. Sejenak bayangan pria itu refleks melintas dalam benaknya sebelum Caca yang kembali menepuk pundak Risma perlahan, membuatnya sadar dari dunia lamunannya.
"Ngelamunin apa, sih?"
Risma menggeleng perlahan sambil tersenyum simpul. Ia kembali mengambil langkah pendeknya menuju kelas yang berada tepat di depannya sekarang. Namun─samar-samar Risma melihat dari kejauhan, ada yang menarik perhatiannya di sana─kehadiran Fadhil. Pria itu sekarang sudah berseragam lengkap dengan lambang sekolah yang sama dengan dirinya, Fadhil juga terlihat begitu antusias dengan lawan bicaranya. Dapat Risma simpulkan, pasti─ia tengah menggoda siswi tersebut, sebab melihat dari jarak jauh-pun cewek yang tingginya sedada dengan lawan bicaranya itu sedang menunduk malu-malu.
"Pagi Risma cantik," Itu suara─Adit. Salah satu spesies otak mesum di kelasnya yang paling di anti Caca. "Udah masuk aja,"
"Woi Dit, elo pindah yah ke kursi belakang," Caca melotot hebat menatap orang yang di maksud, setelah itu─ia kembali menarik Risma yang masih saja berdiam diri dengan senyuman kecil, memasuki kelas IPA-1 dengan wajah ceria yang seketika perlahan memudar. "Ngapain, Wi? Ada tugas, yah?" Caca bertanya pada Wiwi yang duduknya memang berdekatan dengan pintu kelas. Wiwi juga terlihat sibuk sebab menyalin sesuatu.
"Tugas Biologi, yakali lo gak inget, Ca." Di sela-sela jarinya yang bergerak menuliskan sesuatu, Wiwi masih sempat menjawab pertanyaan Caca.
"Tugas yang mana?" Caca masih saja bertanya dengan raut wajah beonya. "Biologi jam pertama, kan?"
Ayu yang melihat dungunya Caca lantas memutar bola matanya jengah. "Iyah Caca sayang. Dan sepuluh menit lagi, udah bel masuk."
Caca masih diam di tempatnya. Lalu menoleh lagi pada Risma. "Lo udah Ris?"
Risma mengangguk. "Udah. Kan lo yang ngingetin semalam,"
Sontak kedua bola mata Caca melotot penuh. Ia memegang kepalanya refleks, mengingat semalam sehabis mengirimkan soal-soalnya pada Risma, Caca malah larut dengan film drakornya lantas tertidur tanpa mengerjakan tugas barang satupun. "Anjir gue lupa!"
Risma menggeleng pelan menatap tingkah Caca yang berhamburan langsung ke mejanya, mengeluarkan alat tulis dengan terburu-buru lantas berdiri menuju tempat duduk Ayu dan merengek meminta contekan. Saat ingin beranjak ke tempat duduknya, panggilan Adit sontak membuat langkah Risma kembali terhenti. Gadis itu menoleh pada teman sekelasnya dengan kening berkerut. "Kenapa?"
"Ada Gilang di luar, Nyari lo."
Bagai di timpa durian runtuh, entah Risma harus mengekspresikan perasaannya dalam bentuk senang atau sedih. Dalam hal lain, tak bisa ia pungkiri bahwa ada sesuatu yang bergejolak gembira dalam dirinya. Mengingat Gilang benar-benar jarang mencarinya hingga ke kelas, mungkin terkahir kali sewaktu hubungan mereka masih baik-baik saja. Dan─jujur, rasa takut juga masih menyelimuti diri Risma. Jaga-jaga kalau nanti ia kembali di sakiti dengan cara dipermalukan kembali.
_________________________
Revisi; 3 Juni 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Struggle
Teen Fiction•completed• Awalnya, Fadhil memang memperjuangkan Risma. Namun entah dengan alasan apa, gadis itu tetap saja diam seolah perasaan Fadhil adalah candaan belaka. Sampai akhirnya, Fadhil mengenal Sila. Gadis rapuh dengan sejuta rahasia...