2

1.6K 379 256
                                    

DUA :
 
  
 
 
 
 
 
  
  
  
 
 
 
  
 

 
"Serius lo mau pindah?"

Fadhil yang baru saja keluar dari ruang kepala sekolah lantas di sambut dengan pertanyaan se-intens itu oleh Diko membuatnya sedikit merasa kaget. Mungkin, sama halnya dengan Fadhil, Diko pun merasa teramat syok ketika Rheva datang ke kelasnya dan mengatakan bahwa Fadhil akan segera pindah ke sekolah lain, mengingat sahabatnya yang satu itu tak pernah terlibat masalah serius dengan pihak sekolah selama ini.

"Aelah, lo udah kek Rheva aja." Fadhil hanya tersenyum simpul sebagai jawaban atas pertanyaan Diko. Jujur saja, dirinya pun merasa berat untuk pergi. Teramat banyak kenangan yang mungkin akan ia tinggalkan. Namun─ia sendiri tak mempunyai pilihan, Fadhil di haruskan ikut pindah ke Jakarta, mengingat ayahnya yang juga dipindah tugaskan ke kota metropolitan itu.

Diko hanya bisa mendesah pelan, mencegah Fadhil untuk tetap tidak pergi pun serasa tak berguna. Jadi─mau tak mau, dengan membiarkan sahabatnya itu pergi adalah jalan satu-satunya.
 
  
 

****
 
  
 

Seperti biasa, suasana pagi di Cendawan selalu saja berisik akibat bunyi knalpot racing para siswa yang terdengar ingin memecahkan gendang telinga. Terlebih lagi jika mereka melewati bagian pos penjaga sekolah, satu-persatu dari mereka kian menancap gas kencang, terlihat sengaja, sebab sebagian besar dari mereka memang banyak yang tak menyukai satpam tersebut, mengingat tingkah sok tegas dari Pak Tarto serta mulutnya yang terkenal ember dan suka melapor pada guru kian menambah kebencian pada murid-murid yang sudah menjadi korban atas laporan-laporan beliau.

Salah satunya, Caca. Gadis itu benci Pak Tarto, sangat. Sebab Pak Tarto terlihat suka melaporkan keterlambatannya pada guru-guru, sehingga Caca lebih di kenal dengan sebutan tukang terlambat. Perihal masalah itupun ikut merambat ke surat panggilan orang tua Caca, lalu berakhir dengan uang jajannya yang di potong selama dua bulan terakhir. "Ris, gue gak telat lagi loh. Kasihan yah, yang udah gak punya bahan carmuk ke guru-guru." Sindirnya kuat saat melewati pos satpam. Sedangkan Pak Tarto yang mendengarnya jelas hanya menggeleng pelan melihat tingkah Caca. "Udah dapat donor muka, pak? Atau masih nyari-nyari muka lagi?" Pagi ini, emosi Caca benar-benar naik. Perutnya yang sedang keram akibat datang bulan, di tambah melihat wajah Pak Tarto membuatnya merasa ingin meledak seketika.

"Shtt, Ca gak sopan." Tegur Risma sembari berbisik, lantas menarik erat lengan sahabatnya yang satu itu agar menjauh dari pos tersebut.

Caca memutar bola matanya jengah, sembari mendesah. Berniat membalas ucapan Risma tadi, malah tatapannya jatuh pada area parikan motor di belakang Risma. Ada yang menarik perhatiannya di sana. "Ris, itu Gilang, kan?"

Risma yang mendengar Caca bertanya seperti itu sontak menoleh mengikuti arah pandang sahabatnya. Dan─yang benar saja, ada Gilang di sana, baru saja turun dari motor Kawasaki ninja merahnya, bersama─Jihan. Sakit? Memang, suasana pagi yang ingin Risma awali dengan baik malah membuat moodnya benar-benar anjlok seketika. Dadanya kian merasa lemas, sampai ekor matanya menangkap kehadiran Caca yang tengah berjalan melewatinya. Kali ini, emosi Risma bukan lagi jatuh pada Gilang, melainkan pada gadis nekat satu itu, yang sedang berjalan menuju area parkiran, entah ia akan berulah apa lagi di sana.

Setelah melihat Gilang selesai menggantungkan helemnya, Jihan kembali menyodorkan helem miliknya agar ikut di gantung oleh pria itu. "Kamu langsung ke kelas, sayang?"

"Sayang sayongk eyang wayang apaan lo?!" Caca yang baru saja datang langsung berteriak heboh dengan wajah sangar. Dirinya jelas-jelas tak menyukai Jihan maupun Gilang, meskipun status Gilang masih pacar sahabatnya. Ia rasa─pria itu sudah teramat melewati batas. "Lo jadi cewek jangan kegatelan deh Ji, Gilang ini masih pacarnya Risma!"

Jihan hanya bisa menatap Caca dengan intens, ia pun sama tak sukanya dengan gadis pendek di depannya sekarang. Mengingat tubuhnya yang mungil namun suara lengkingannya yang maha dahsyat dapat membuat mereka berhasil menjadi tontonan massa sekarang. "Jadi orang jangan suka ikut campur. Temen lo yang pacaran sama Gilang aja fine-fine, kok."

"Ca, udah Ca. Ayo balik ke kelas," Sungguh, perbuatan Caca benar-benar membuat Risma malu bukan main. Dirinya bahkan tak memiliki nyali sama sekali untuk melabrak Gilang di depan kerumunan seperti ini. Alhasil, Risma hanya dapat berusaha menenangkan sahabatnya dan menarik Caca agar mau pergi dari parkiran sekarang sebelum Pak Tarto yang turun tangan. Bisa mati dirinya terseret kasus hingga ruang BP hanya perkara cowok.

"Gil, Risma ini sayang sama lo, bisa enggak sih..."

"Sayang-sayang, ribet anjing!" Umpat Gilang kesal sebelum Caca selesai dengan ucapannya. Lantas, pria itu langsung pergi begitu saja. Melintasi kerumunan yang perlahan-lahan mulai bubar, lalu di ikuti oleh Jihan.

Berbeda dengan ekspresi Caca yang terlihat syok. Risma bahkan tak tahu harus mengungkapkan hal apa, dirinya terlampau di buat kesakitan akan ucapan-ucapan Gilang yang bergema hebat di benaknya.

"Kenapa sih, cowok model kek gitu gak lo putusin?"

 
 
****

 
 
"Papa udah beresin masalah sekolah kamu di sini," Itu suara bariton Delon─ayah Fadhil yang tengah menatap anak semata wayangnya sedang bersandar melepas penat di sofa ruang keluarga. Sebenarnya, Delon sudah duluan pindah ke Jakarta dari seminggu yang lalu, untuk mencari tempat tinggal, mengurus surat-surat mutasi dirinya dan pekerjaannya, juga termaksud sekolah Fadhil. Sampai semuanya sudah selesai, Fadhil langsung ikut berangkat bersama sang bunda menyusul Delon tentunya.

"Yang mulus-mulus ada gak?" Fadhil terkekeh pelan sesaat sampai ia melihat kedatangan Viona─Bundanya yang sedang membawa nampan berisi minuman.

"Tenang, bening semua."

Viona yang menangkap maksud pembicaraan kedua pria di depannya itu hanya melemparkan tatapan sinis. "Anak bapak sama aja keranjangnya."

"Assalamualaikum, Fadhil."

Mendengar suara ketukan pintu di sertai teriakan keras namanya, Fadhil hanya saling pandang bersama Delon dan Viona. Yang jadi masalah, ia baru saja pindah dari Bandung ke Jakarta, dirinya sama sekali baru menginjak kakinya di ibu kota tersebut dan sekarang─sudah ada orang yang mengenalnya. Sampai akhirnya orang itu kembali berusaha.

Tunggu─Fadhil rasa, ia kenal dengan teriakan feminim ini.

Cepat-cepat Fadhil bergegas bangkit dari duduknya, berjalan menuju pintu utama dengan harapan bahwa yang di luar sana bukanlah sosok gadis yang sama di dalam benaknya. Tanpa pikir panjang, Fadhil lantas menarik gagang pintunya dengan cepat, berniat ingin melihat sosok di balik sana, dan─yah, kedua bola mata pria itu nyaris saja loncat dari tempatnya ketika menyadari keberuntungan mungkin tak lagi memihak padanya sekarang.

"Rheva?!"
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  


____________________

 
  
 
Revisi; 22 Mei 2019

StruggleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang