12

711 91 8
                                    

DUA BELAS :
 
 
  
  
  
  
  
  
 
  
  
  

"Mbak Yaya, satu yah, biasa." Sila mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari-cari sosok Fadhil yang ternyata nihil. Sejenak, gadis itu mendesah perlahan sebelum menggeleng kuat membuyarkan lamunannya. Untuk apa juga ia mencari Fadhil?

Ia mengambil tempat duduk tepat di samping gerobak gado-gado milik mbak Yaya, bahkan sedetiknya Sila kembali mengutuk matanya lagi sebab terasa gatal ingin melihat pria itu. Sampai akhirnya─Sila merasakan kepalanya yang dihantam keras dengan sebuah pukulan. Ingin sekali dirinya berdiri lantas melawan, namun─melihat sosok di depannya membuat nyali Sila kembali menciut.

"Gue udah peringatin ke elo soal itu, kan?"

Sila tahu persis maksud Farah─kakak kelas yang paling disegani seantero sekolah. Dulu sebelum mengenal Farah, Sila sendiri tak tahu apa yang harus di takuti dari gadis itu. Ia hanya sosok kakak kelas yang jika berjalan harus di ekori oleh beberapa gengnya. Farah juga termaksud seseorang yang sering membicarakan soal senioritas. Namun entah kebetulan atau takdir, kini Sila menjadi salah satu buronan Farah yang paling dicari.

"Gu-gue gak tau apa-apa." Sila menjawab sama gugupnya dengan murid lain jika harus berhadapan dengan Farah.

"Sok suci lo anjing." Farah mendaratkan satu tamparan keras pada pipi kanannya, berhasil membuat Sila terlihat meringis sakit dan kini semua pandangan terpusat ke arah mereka. Sudah tak asing lagi jika melihat Farah yang kembali memaki Sila tanpa alasan. Dulu─mereka memang sempat-sempatnya membela Sila, namun seakan tak ada henti-hentinya di labrak membuat orang-orang menjadikan hal di depannya sekarang ini adalah hal yang biasa. "Lo tau? Gara-gara ibu lo, mama gue masuk rumah sakit sekarang."

Sila tak merespon apapun, ia hanya memegang pipinya yang terasa panas sekarang.

"Lo lahir dari rahim wanita yang gak tau diri!"

Cukup sudah. Sila tak lagi tahan akan situasi ini. Farah memang selalu saja memakinya, bahkan hampir setiap hari atau tiap kali bertemu. Hal itu membuat Sila sudah merasa kebal, tapi─tidak dengan cacian yang baru saja Farah lontarkan. Ia tahu persis bahwa Utari memang bersalah, namun Sila tak ingin mendengar seseorang yang menjelek-jelekkan ibu kandungnya seperti itu.

"Jaga mulut lo," Kali ini ucapan Sila terdengar intens, tatapannya tajam, ia benar-benar akan melemparkan satu tamparan atau bahkan pukulan kuat jika Farah berani menginjak harga diri Utari lagi.

"Kenapa? Lo gak suka?" Farah tersenyum sinis. "Emang bener, kan? Ibu lo gak tau diri. Gak punya malu. Gue mah najis amit-amit lahir dari rahim wanita kayak dia."

Sila ingin menamparnya sekarang. Tapi─kehadiran seseorang di belakang Farah berhasil membuatnya membantu seketika.

"Ibu lo juga pasti malu punya anak kayak elo,"

Farah menoleh, mendapati Fadhil yang sudah berdiri tegap dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam celana seragamnya. Lantas, Fadhil berjalan mendekati Sila, menarik tangan gadis itu untuk berdiri.

"Jangan ikut campur, Fadhil." Tentu saja Farah mengenal Fadhil. Pria itu most wanted di Cendawan, dan belakangan ini Farah juga sering ikut seperti para gadis lain yang mengincarnya. Namun ia benar-benar tak tahu jika Fadhil mengenal Sila.

"Sila punya gue buat ngelindungin dia." Fadhil menarik tangan Sila untuk pergi keluar dari kerumunan. Sebelum sesaat ia sempat berbisik pada Farah. "Lo cewek, kan? Lo juga calon ibu. Jadi ... Jangan rendahin orang lain, kalau dasarnya omongan dan kelakuan lo juga sama rendahnya." Fadhil tahu persis bahwa ucapannya ini kelewat batas jika harus di hubungkan dengan masalah perempuan. Viona mungkin juga akan memotong uang jajannya jika tahu ia sudah berbicara sesengit itu pada wanita lain.
 
  
  

****
 
 
 

"RISMA?!"

Teriakan Caca berhasil membuat sang empunya nama mendongak kesal. Ia sedang mengerjakan soal-soal kimia yang akan di kumpulkan sehabis jam istirahat nanti, dan pekikan Caca berhasil membuat Risma hilang konsentrasi.

"Ca, bisa gak sih jangan teriak-teriak." Risma memuatar bola matanya, lantas meraih es buah yang di sodorkan oleh Caca. Ia memang tak sempat ke kantin tadi, perihal tugas kuis Kimia yang di berikan Pak Freddy yang kebetulan jam guru itu memang selalu bertabrakan dengan jam istirahat, jadi─mau tak mau, Risma dan Caca membagi tugas masing-masing.

Risma yang tetap di kelas mengerjakan kuis dengan catatan harus membagi jawabannya nanti pada Caca. Sedangkan Caca, gadis itu mengambil alih pergi ke kantin dengan kompensasi membelikan Risma minum dan juga makanan.

"Ah bodo," Caca memutar bola matanya tak peduli. "Ada berita heboh, ada gosip terbaru." Kali ini─Caca memajukan kursinya mendekat ke arah Risma lantas bicara dengan nada setengah berbisik. "Fadhil ... Pacaran sama─kambingnya kak Farah."

Risma berhasil tersedak sempurna. "Ma-maksud lo ... Fadhil pacaran sama ... Kambing, gitu?"

Ekspresi Caca yang tadinya serius sekarang berganti menjadi kesal. Risma sudah benar-benar ketinggalan informasi soal murid-murid Cendawan. "Bukan Ris, itu loh cewek yang sering di bully kak Farah. Tau, kan?" Risma mengangguk. "Nah, banyak yang bilang dia itu kambingnya kak Farah, secara─jadi korban kak Farah terus itu anak."

"Dia manusia Ca, bukan kambing."

"Ya kan bukan gue yang ngasih istilah kek gitu," Caca memperbaiki posisi duduknya.

"Elo juga ikut-ikutan."

Caca terlihat mengibaskan tangannya di udara menunjukkan ia tak peduli. Toh, bukan dirinya juga yang membully. "Tadi Fadhil satu-satunya orang yang berani ngelindungin dia dari amukan seorang Farah." Caca berucap seakan-akan bangga dengan apa yang di lakukan oleh pria itu. "Eh ... Kira-kira─mereka pacaran gak sih, Ris?"

Risma sudah larut akan beberapa rumus di depannya, namun sempat merespon ucapan Caca dengan mengedikan bahunya. "Gak tau Ca, tanya aja sama Fadhil atau ... Cewek itu, mungkin?"

"Gue pikir yang pacaran sama Fadhil entar itu ... Elo," Caca asal ceplos, membuat Risma lantas menoleh menatapnya tajam. "Jelas-jelas Fadhil suka sama elo. Risma."

"Lo bicaranya mulai ngaco, ngarang juga."

"Lah, emang bener. Kalau enggak, ngapain Fadhil keseringan godain lo? Atau contoh besar─dia ngajakin lo keluar kemarin, apa lagi coba kalau namanya bukan usaha?"

Risma tak peduli. Ia benar-benar tidak mau memikirkan hal itu, namun di sisi lain─logikanya sempat membenarkan pembicaraan Caca.
 
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
 



_________________________
 
  
 

Revisi; 11 Juni 2019

StruggleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang