13

734 89 4
                                    

TIGA BELAS :

 
  
    
  
  

 
   

Sila menatap lurus-lurus punggung kekar Fadhil dari arah belakang, terlebih lagi─pria itu masih menggenggam erat tangannya sedari kantin tadi. Melintasi koridor sekolah, tanpa peduli dengan tatapan bertanya dari para murid yang sempat melihat mereka.

Fadhil terus saja melangkah─sampai dan berhenti tepat di halaman taman sekolah.

Ia lantas melepaskan genggamannya, menoleh pada Sila yang masih saja bungkam seribu bahasa. "Gue gak tau harus coba bicara baik-baik berapa banyak lagi, Sil." Fadhil mengerang frustasi akan gadis di depannya. "Lo perlu ngehargain tulus baiknya seseorang ke elo."

Sekarang, darah Sila berhasil berdesir kencang menatap ekspresi Fadhil yang tak menampakkan drama sedikitpun. Hatinya seakan refleks mencolos mengingat sudah seberapa kasar dirinya pada pria itu. "Sebelumnya gue gak pernah tau cara nerima seseorang baru yang spontan datang ke hidup gue. Dan ... Lo orang itu. Tiba-tiba berkunjung lalu nunjukin kalau lo seakan-akan beneran peduli."

"Gue peduli Sil," Fadhil memegang kedua pundak mungil gadis di depannya yang tinggi hanya sebatas dadanya saja. "Hidup ini ibarat buku, lo gak akan tau kisah selanjutnya kalau lo sendiri gak ada niat buat balik halaman."

Sila membenarkan ucapan Fadhil di dalam benaknya. Pria itu seratus persen benar, hidupnya memang hanya seputar dunianya saja, menjaga batasan ingin masuknya orang lain yang sekiranya berniat sama dengan Fadhil. Sejenak Sila menunduk perlahan, mengambil napas dalam-dalam dan kembali memberanikan diri untuk menatap manik-manik mata Fadhil.

"Jadi ... Apa yang harus gue sediain, kopi atau ... Hati?"

 
  

****

 
  

Suasana kelas yang tadinya ribut bak pasar tradisional mendadak diam ketika jenjang kaki panjang milik Bu Ratih mulai melangkah masuk. Berlenggang bak model seiring ritme suara ketuk sepatunya pentofelnya.

Bu Ratih, guru setengah parubaya yang di kenal dengan sifat killer-nya itu memang mampu membuat para murid Cendawan mati kutu di tempat seketika.

"Tutup buku kalian!" Tegas guru Fisika itu dengan keras lalu meletakkan beberapa lembar kertas fotocopy-an di atas mejanya. "Hari ini kita ulangan dadakan, Minggu depan saya sibuk." Bu Ratih mengedarkan seluruh pandangannya, menghitung murid di kelas IPA 2 yang ada baiknya sebab hadir semua untuk hari ini. Lantas, ia kembali menggenggam lembaran bertinta soal-soal Fisika. "Yang bisa ikut ulangan, cuman untuk kalian yang punya catatan lengkap. Saya harap, yang tidak sesuai kriteria atau tidak membawa, silahkan berdiri angkat kaki dari kelas saya. Sekarang!"

Risma menoleh pada Caca yang sibuk mengeluarkan buku-bukunya. "Ca, lo yang minjem catatan gue, kan?"

Caca mengerutkan dahinya bingung, lantas kembali melemparkan pertanyaan. "Lah kok jadi gue, sih."

"Emang iyah, kan, lo yang bilang sendiri mau nyalin catatan waktu gue sakit kemarin-kemarin." Perasaan Risma mendadak tak enak setelah melihat ekspresi Caca yang spontan melotot lantas memberikan senyum cengiran setelahnya.

"Kayaknya gu-gue ... Lu-lupa, deh Ris."

Kan, firasatnya tak mungkin meleset.

"Caca, terus sekarang gue gimana dong," Risma memutar bola matanya jengah. Jika saja Caca bukan sahabatnya, mungkin gadis itu sudah ia lenyapkan sedari tadi. Di tambah lagi dengan sebuah fakta bahwa Bu Ratih adalah tipe guru yang tak ingin mendengar alasan apapun. "Masa iyah gue di hukumnya bareng Adit."

"Risma," Bu Ratih yang sedari tadi memperhatikan gelagat panik Risma sontak saja melangkah maju mendekati siswinya itu. "Mana catatan kamu?"

"Bu, ca-catatan saya..."

"Keluar sekarang. Berdiri di hadapan tiang bendera," Bu Ratih menatapnya tajam lantas melirik Caca yang sedang menggenggam catatan Fisikanya dengan tangan bergetar. "Sore nanti, temui saya di perpustakaan."

Risma mengangguk lemas, spontan berdiri dan beranjak keluar dari kelas. Ia juga sempat menatap Adit yang tengah mengekorinya dengan senyum kikuk.

"Tumben gak bawa catatan Ris."

Risma mengedikan bahu, ia benar-benar kesal akan Caca untuk hari ini. "Caca lupa bawa,"

Adit mengangguk paham. "Mau ikut ke kantin, Ris?"

"Hah, enggak." Risma hanya menggeleng pelan lalu memperlihatkan senyum kecilnya. "Gue ikut perintah Bu Ratih aja,"

"Yakin lo mau di jemur?" Adit menatap Risma dengan tatapan kasihan. Mengingat gadis itu memang sama sekali tak pernah terlibat dalam urusan hukuman. "Yaudah, gue ke kantin yah."
 
  
  

****
 
 
 

Fadhil menyeka keringatnya menggunakan seragam olahraga, sejenak ia mengedarkan pandangannya kesekeliling lapangan dan jatuh pada Sila yang sedang duduk memperhatikannya juga.

Sadar karena sudah di tangkap basah, Sila hanya mampu memutar bola matanya lalu beralih objek pada teman-teman sekitarnya.  Ada─Tia di sana, jarak mereka mungkin hanya enam langkah dari tempat Sila duduk. Membuat gadis itu sontak berdiri dan melangkah mendekat ke arah Tia.

"Hai, Tia." Sila menyapa kikuk yang juga di balas senyuman sekadarnya dari Tia. "Gu-gue mau minta maaf soal..."

"Udah Sil, gak apa-apa." Tia tersenyum lebar, melirik tempat kosong di sampingnya seakan memberi isyarat pada Sila agar mau duduk di sampingnya. "Seharusnya gue yang minta maaf. Gara-gara kedatangan gue ke rumah lo ... elo jadi kena marah."

Sila mendaratkan bokongnya tepat di samping Tia. Sedamai itu rasa lega di hatinya ketika sudah meminta maaf, terlebih lagi─Tia juga masih mau mengobrol dengannya. "Gue janji bakal balikin duit lo."

"Enggak perlu Sila, Fadhil udah balikin, kok. Dia juga gak pernah pakai uangnya." Tia menyenggol pelan lengan Sila dengan senyuman mengejek. "Ciye, kayaknya Fadhil suka sama lo."

Ingin sekali Sila membantah dengan pelan, namun─pekikan para siswa yang beriringan dengan histerisnya beberapa siswi membuat pandangan Sila dan Tia sama-sama teralihkan ke arah lapangan.

"AWASSS!!"

Terlambat. Gadis itu sudah terlebih dahulu ambruk ketika bola volinya berhasil menghantam keras kepalanya.

"RISMA?!!!"

Sila hanya bisa memperhatikan Fadhil dari arah kejauhahan. Posisinya yang berada di pinggir lapangan dan pria itu di tengah sana, membuat Sila hanya bisa diam membatu tanpa ikut berlari mengerubungi Fadhil seperti yang teman-teman kelasnya sedang lakukan sekarang.

Melalui sedikit celah-celah, Sila juga dapat menangkap ekspresi khawatir Fadhil yang sontak menggendong gadis pingsan tadi.

Dan─perasaan apa sekarang, kenapa dada Sila mendadak nyeri setelah melihat hal itu?
 
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
 

_______________________
 
  
 

Revisi; 15 Juni 2019

StruggleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang