Abi duduk termenung dikamarnya. Dua hari telah berlalu pasca kejadian pagi itu. Dua hari yang sangat panjang untuknya. Dua hari yang membuat otaknya selalu bekerja karena pergolakan hatinya. Ah lelaki itu memang sudah melumpuhkan hatinya. Membuatnya menjadi egois dan mengalahkan logikanya. Ya abi egois karena jatuh cinta pada gibran yang notabennya sudah beristri padahal logikanya tau kalau gibran tidak akan mungkin membalas cintanya. Dan dua hari ini juga Dara tidak menunjukkan batang hidungnya. Aya, walaupun gadis itu biasa saja tapi abi yakin kalau gadis itu juga ikut terluka. Dan gibran, lelaki itu hanya mampir sebentar dipagi hari sambil mengantar aya dan pergi ketika sudah mendapatkan kopinya tanpa sedikitpun menolehkan wajahnya pada abi. Yah mungkin hanya bisma yang selalu menemaninya itupun disaat jam makan siang. Dan dua hari itu juga abi terus merutuki kesalahannya. Sebuah pertanyaan simpel memang, tapi pertanyaan itulah yang membuat luka yang tertutup rapat menjadi terbuka kembali. Dan abi harus meminta maaf, bagaimanapun caranya. Ponselnya berdering, abi meraihnya lalu membulatkan matanya. Panggilan ibunya terpampang dilayar ponselnya dan lagi-lagi abi merutuki kesalahannya, kesalahan karena lalai untuk menghubungi ibunya perihal pamannya itu.
"Assalamualaikum bu"
"Walaikumsalam nduk, piye kabarmu nak? Sudah empat hari kamu gak menghubungi ibu. Gimana sudah ketemu om mu nduk?"
Abi menghembuskan nafasnya pelan.
"Abi baik bu. Kabar ibu bagaimana? Abi juga sudah kerumah om irfan, tapi om irfan sudah pindah ke batam 5 tahun yang lalu"
"Alhamdulillah ibu juga baik nak. Om mu pindah 5 tahun lalu? Kebatam? Kamu yakin nak? Dan kamu dapat nomer telponnya?"
"Iya itu kata tetangga rumahnya. Dan tetangganya itu gak punya nomer telpon om irfan, bu"
Abi mendengar ibunya menghela nafas.
"Ya sudah nak, mungkin belum saatnya kita bertemu om kamu"
"Iya belum jodoh kita juga. Oh iya bu sebetulnya ada banyak yang mau abi tanyain sama ibu tentang om irfan ini, tapi abi gak enak kalo harus tanya lewat telpon"
"Tanyalah nak, apapun itu!"
"Nanti saja deh bu kalau abi pulang kejogja ya"
"Iya sudah terserah kamu saja nduk. Ibu tutup telponnya dulu ya, mau sholat isya. Assalamualaikum"
"Walaikumsalam"
Abi mematikan panggilan diponselnya. Lalu kembali duduk termenung diranjangnya, masih tercetak jelas diingatan abi wajah terluka gibran dan dara kala abi menanyakan perihal anak pada dara pagi itu. Sekelebatan bayangan gibran masuk kedalam kepalanya, lalu berputar diotaknya membuat dewi batinnya berteriak.
"Ini salah. Apa sih yang kamu pikirkan bi? Dia itu sudah punya istri, kamu sendiri liatkan kalau dia begitu mencintai istrinya. Apa kamu mau jadi orang ketiga diantara hubungan mereka. Sepahit apapun kisah rumah tangga mereka, kamu ga boleh ikut campur. Lupakan dia, lelaki masih banyak kok dimuka bumi ini. Sebelum semuanya terlambat bi, lagipula kamu baru saja suka kan belum sayang"
"Cinta itu seperti ini bi, kamu gak akan melihat kekurangan orang yang kamu cintai, karena bagi kamu, seburuk apapun dia, dia akan terlihat sempurna dimata kamu"
"Kamu jatuh cinta sama gibran, itu salah bi. Tapi kamu juga gak sepenuhnya salah karena cinta memang bisa datang kapan saja tanpa kita memintanya. Dan cinta juga tidak peduli pada siapa akan berlabuh. Jadi biarkan saja cintamu mengalir seperti air. Biarkan skenario allah yang menentukan takdirmu. Ingat bi jodoh allah gak mungkin tertukar"
Arrgghhh. Pikiran-pikiran itu masuk begitu saja bersamaan dengan bayangan gibran. Berputar layaknya rekaman dan itu membuat hati abi sakit, hingga tanpa sadar air mata abi jatuh berderai dipipinya. "Aku harus bagaimana ya allah?" Batinnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
POLIGAMI (ISTRI UNTUK SUAMIKU)
RomanceSeperti inikah sakitnya jika cinta bertepuk sebelah tangan? Kisah seorang gadis bernama Abigail Adriana Fairuz yang ingin mengadu nasib di ibukota, kuliah sambil bekerja. Tapi sepertinya tuhan menentukan nasib lain untuk takdir hidupnya, terutama...