'dari mana saja kau, bedebah?! Aku mencarimu'
Alaric hanya meliriknya tak peduli lalu beranjak ke dapur. Ia mengikuti gadisnya seharian. Ia memantau semua yang dilakukannya. Ia bahkan bisa membaca setiap ekspresi yang selalu mencerminkan perasaannya. Ia tahu tarian itu tak pernah membuatnya senang. Mungkin justru malah menuntutnya menjadi orang lain. namun hanya sebatas itu. Alaric tak melakukan lebih. Ia tak menghampiri gadis Seravin itu. bahkan saat ia mengembalikan bukunya yang terjatuh, ia tak berani menyapanya.
Sebut dirinya pengecut. Itulah dia. Alaric sendiri merasa aneh dengan dirinya. Ia tak pernah takut melompati jurang, ia juga tak pernah takut menyebarangi lautan. Jangan menantang dia mendaki gunung, bahkan yang tertinggi sekalipun. Tapi jangan pernah memintanya pada gadis bermarga Seravin. Apalagi sepanjang pengamatannya, hanya ada satu gadis Seravin dunia. Ia merasa menjadi pecundang seketika saat berurusan dengannya. Padahal ia hanya seorang gadis lemah yang bahkan tak berani menunjukkan jati dirinya pada dunia. Namun itulah letak ironisnya. Ia menginginkannya.
Gadis itu, entah bagaimana selalu menghantuinya. Sejak ia mengintipnya menari diam-diam ditengah malam. Tarian sunyi yang selalu dilakukannya diam-diam di tengah malam diantara rimbunnya pepohonan taman. Alaric cukup cerdas untuk membaca setiap kesedihan yang terlukis di setiap gerakannya yang gemulai. Ia menyesal mengetahuinya. Karena hal itu semakin membuatnya terpikat.
'Al, kau mendengar ku?'
Alaric kembali meliriknya lewat ujung mata. Tangannya menggenggam erat gelas yang baru digunakannya untuk miinum. Ia tak ingin menanggapi ocehan receh Rendy. Ia sudah tahu apa yang akan diceritakannya.
'siapa dia?'
Alaric menoleh. Menatap sepupunya dengan pandangan bingung. 'aku melihatmu. Mengikuti seorang gadis manis di kota'
Rendy menyeringai melihat tubuh sepupunya menegang. Namun Alaric segera menyembunyikan itu. ia menyimpan gelasnya dengan entakan dan langsung melangkah menuju ruang keluarga.
'kau tak ingin menceritakannya padaku?'
Alaric mendengus sebal. Ia cukup tahu sepupunya itu tak akan menyerah, namun ia juga tak ingin menceritakannya. Lebih tepatnya, ia tak ingin Rendy merecokinya.
'ayolah, siapa gadis manis itu? mungkin aku bisa membantu'
'gadis siapa?'
Alaric membeku. Rendy menyeringai. Keduanya cukup tahu suara itu akan menjadi cukup merepotkan jika sudah membahas tentang gadis. Dan Alaric tak cukup bodoh untuk mengerti seriangaian Rendy.
'entahlah. Aku melihat Alaric mengikutinya seharian ini. tadinya aku akan menegurnya, tapi sepertinya Al terlalu sibuk'
'benarkah itu? siapa gadis kurang beruntung itu?'
Alaric mendelik sebal lantas memutar mata melihat mami menatapnya menuntut. Namun kemudian tersenyum memeluknya. 'syukurlah. Ternyata putraku normal'
'mami fikir aku gila?'
'jangan tersinggung. Kau nyaris tak pernah membawa seorang gadis pun kerumah ini. bahkan seingatku, kau memang tak pernah membawanya'
'aku selalu membawa gadis ku kemari, mi' Rendy menjawab di sofa.
'mami tidak bertanya padamu'
Rendy mendengus tak terima. Ia menggerutu pelan. Mengeluarkan sumpah serapah yang sebisa mungkin tak didengar mami.
'katakan, siapa gadis itu?'
Alaric menghela nafasnya. Ia jengah melihat tatapan mami. 'aku bahkan belum mengenalnya'
Mami mengangguk. Mengucapkan beberapa kalimat yang meyakinkan Alaric bahwa ia bisa mengenalnya dengan baik. Mereka masih memiliki banyak waktu untuk saling mengenal. Tapi disbanding dengan nasihat mami, Alaric lebih peduli pada pengamatannya mengenai sang gadis. Ia tahu ada sesuatu yang aneh pada gadisnya. Ya, ia mulai mengingatnya. Ia sempat melihatnya. Cincin itu. dijari manisnya.