5

19 1 0
                                    


Alaric kembali ke taman itu malam harinya. Hanya untuk mendapati gadisnya sedang menangis. Bahkan tariannya tak mampu menggambarkan kesedihannya sehingga ia hanya menangis tersedu-sedu. Alaric ingin mendekat. Menghampiri dan menenangkannya. Meyakinkan sang gadis bahwa ia tak sendirian. Ia ingin melakukannya. Namun tubuhnya mendadak kaku. Seolah ada pasak tak terlihat yang menahannya untuk tetap diam. Bahkan hingga malam larut, sang gadis tetap menangis. Dan dibelakangnya, ia ikut menangis menahan sesak.

Ia merasa menjadi pecundang. Selama beberapa hari di waktu luangnya hanya dihabiskan untuk menguntit seorang gadis. Mengikuti setiap langkahnya, sejak ia keluar dari pintu rumahnya hingga kembali lagi. Ia mulai menghafal beberapa aktivitas tetap sang gadis. Tapi herannya, ia tetap tak bisa membaca apa yang difikirkannya. Apa yang disembunyikannya hingga ia nyaris selalu menangis setiap malam. Alaric tak pernah merasa sedekat ini dengan perempuan selain mami dan bunda. Ia bahkan tak pernah dekat dengan adiknya. Secara harfiah. Tapi bahkan dengan gadis ini, hanya dengan menatapnya dalam diam membuatnya semuanya terasa lebih ringan. Sayang ia tak bisa membantu meringankan beban sang gadis seperti dia menenangkannya. Alaric kebingungan.

Ia enggan menanyakan perihal ini pada Rendy. Cukup tahu dan mengerti apa yang akan terjadi setelahnya. Ia tak ingin direpotkan dengan segala tetek bengek yang mungkin akan diciptakan Rendy jika ia bertanya. Bahkan ia yakin 100% Rendy akan menceritakannya pada mami dan semuanya akan berakhir berantakan. Lebih baik ia mencari tahunya sendiri apa yang teradi. Namun sampai saat ini, ia hanya mampu diam setiap melihat gadisnya menangis sedih di tengah malam.

Alaric mengikuti arah pandang sang gadis. Bulan purnama bersinar terang di atas sana. Membuat air mata memancarkan sinar kilat di setiap alirannya. Alaric merosot ditanah. Ketidakmampuannya untuk mendekat membuatnya merasa menyakiti hatinya sendiri. Ini sudah kesekian kalinya. Jangan tanya apa alasannya berbuat demikian, merasakan demikian. Semua itu terjadi begitu saja. Ia telah menjadi seorang pengagum rahasia bagi sang gadis penari. Gadis penari yang malang. Yang hanya bisa menari tanpa bisa menikmatinya. Ia tahu sang gadis memang menari untuk kesenangan penontonnya, tapi bukan untuk dirinya sendiri. Ia sudah melihatnya, bahkan selalu melihatnya.

Alaric kebingungan. Apa yang harus dilakukannya agar sang gadis bahagia? Apa yang harus diciptakannya agar sang gadis tak lagi merasa sedih dan menangis diam-diam seperti saat ini. Alaric tertawa kering. Tak ada. Tak ada apapun yang bisa atau mampu dilakukannya selain diam. Ia tak akan mampu menciptakan alat yang membuat setiap orang selalu merasa bahagia. Lalu ia harus bagaimana? Melihat gadis itu selalu menangis diam-diam seperti ini membuatnya menangis ironi.

Saat ia menoleh, sang gadis sudah melangkah menjauh. Alaric mengikuti langkah itu dalam diam. Sedikit menjaga jarak mengingat malam semakin larut dan sepi. Memungkinkan si gadis menyadari kehadirannya. Ia mengernyit tak tahu tujuan sang gadis.

Alaric memposisikan dirinya di belakang rangka jembatan. Jembatan ini merupakan mascot kota mereka. Menjadi ikon khusus yang selalu menjadi incaran wisatawan. Matanya awas memandangi gadis yang kini menumpukan tangannya di pinggir jembatan. Menatap air sungai yang mengalir dibawahnya. Tengah malam air sungai itu tampak indah, namun sunyi. Tak ada orang yang menikmati suasana tengah malam meskipun itu indah. Entah kenapa Alaric merasa tak bisa melepaskan pandangannya dari sang gadis. Firasatnya sungguh tak benar. Ia mulai membaca setiap gerakan. Setiap ekspresi. Setiap peluang.

Alaric terbelalak. Perhitungannya terlambat. Ia berlari mengejar sang gadis. Tubuhnya mendadak kaku. Dihadapannya sendiri. Dengan matanya sendiri. Ia melihat tubuh gemulai itu terayun begitu ringan. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar tak menyukai caranya menari. Alaric menangis melihat tubuh gemulai itu menabrak air sungai yang gelap. Menciptakan riak air bergerak cepat. Alaric menangis melihatnya putus asa. Dengan putus asa, ia mengikuti tarian sang gadis. Segera menggerakkan kakinya melewati pagar jembatan. Mendorong tubuhnya sendiri mengikuti sang gadis. Menjemput tubuh gemulai itu untuk dirinya sendiri.

sang penariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang