Yang Alaric tahu ia memiliki harapan yang besar keputusannya ini benar. Begitu ia meletakkan kotak itu di depan pintu setelah mengetuknya, ia melesat menuju tempat persembunyiannya. Ia sudah memastikan tempatnya itu tak terlihat dari rumah yang bersangkutan tetapi bisa ia lihat rumah itu secara keseluruhan.
Pintu yang diketuknya terbuka dan menampakkan seorang pria tua yang mengeryit heran. Ia mengambil kotak itu dengan pandangan aneh, menyempatkan diri menengok kekanan dan kirinya untuk memastikan pemberinya sudah tidak ada. Di tempatnya, Alaric masih menyaksikan dengan jelas bagaimana wajah pria tua itu memucat dan mengeras menahan marah. Ia langsung menutup pintu dengan keras.
Alaric tersenyum lalu keluar, melangkah menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari sana. Ia masih sempat mendengar teriakan pak tua yang memanggil istrinya dan menyuruhnya bersiap pergi.
Alaric mengikuti mereka. Ia memastikan rencananya berhasil. Dan ketika ia melihat rumah kecil itu tak jauh darinya. Ia menyesal. Bukan rencana busuknya yang ia sesalkan, melainkan pemandangan yang dilihatnya disana. Dengan matanya sendiri ia melihat wanitanya menahan sakit penuh derita terhadap apa yang dilakukan suaminya.
Dan semua itu tak luput dari perhatian dua orang tua tadi. mereka langsung menarik wanitanya menjauh dari suaminya. Memaki suaminya dengan penuh kebencian. Pak tua memukuli menantunya tanpa ampun, membiarkannya menjadi tontonan warga yang panasaran dan melongok ke rumah.
Setelah hatinya puas, ia langsung menarik putrinya menjauhi rumah. Dengan sumpah serapah yang tak mampu ditahan. Ia menyuruh menantunya untuk menceraikan putrinya. Bahkan mereka menuntut hak pidananya. Semua itu tak luput dari pandangan Alaric. Dan ia tersenyum lega setelahnya.
'setelah ini apa?'
Alaric menggeleng. Ia sendiri belum tahu harus berbuat apa lagi. Ia bahkan sepenuhnya menyadari perbuatan kejinya pada keluarga muda itu. tapi apa boleh buat. Bajingan itu yang menyalakan api, ia hanya mencoba menyiramnya dengan bensin. Lagipula dia tidak tahu menahu tentang ini.
'kenapa kau begitu memaksakan diri? Aku tak yakin kau akan mendekatinya setelah ini'
Alaric tertawa kering. Itu benar. Bahkan setelah wanitanya sendiri, ia tak akan mampu menggodanya. Lalu ia harus bagaimana? Memangnya apa yang harus dilakukannya. Rendy tak merasakan deritanya.
Ia bahkan merasa tubuhnya kaku tanpa mampu bergerak begitu mata mereka bertemu. Ia tak akan mampu berkata-kata jika wanita itu ada dihadapannya. Apalah gunanya semua teori dan teknologi yang dipelajarinya. Tak akan berguna jika berhadapan dengan sang wanita.
'aku akan membiarkan Seravin menikmati waktu sendirinya. Ia baru saja bebas dari kandang hariamau'
'ya, dan setelahnya dia akan masuk kandang buaya'
Alaric mencibir tak terima. Tapi tak menyangkal atau pun menajawab hinaan tak langsung Rendy.
'kenapa kau selalu memanggilnya dengan nama belakang?'
Alaric mengernyit. Benar juga. Dia memang nyaris tak pernah memanggilnya dengan nama depan. Ia selalu memanggilnya Seravin. Padahal dia adalah wanita yang dicintainya.
'aku akan memanggil nama depan seorang wanita jika dia adalah istriku'
Tentu saja. Alaric sendiri mencibir jawabannya. Tak mungkin ia memanggil istrinya dengan nama belakang. Sama saja dengan memanggil namanya sendiri. 'Largo'. Bagaimana dengan 'Leta Largo'. Alaric tersenyum dengan fikirannya.
'lalu, kau tak akan menjadikannya istrimu?'
Alaric diam lagi. Ia tak tahu. Jika ditanya, ia jelas akan menjawab "ya". Tentu saja ia ingin menjadikan Seravin sebagai istrinya. Tapi bahkan ia tak pernah mampu berhadapan langsung dengan wanita itu. jadi bagaimana ia harus mengatakan keinginan itu. lagi pula, selama ini mereka tak pernah saling mengenal. Alaric juga hanya sesekali datang ke toko bunga. Belum tentu Seravin mengingatnya. Lalu apa?