Rembulan bersinar begitu terang di atas sana
Di sudut sini, aku melihatmu.
Duduk termenung dalam sendu
Meratapi nasib pilu disekelilingmu
Miris
Betapa aku ingin memiliki rembulan ku yang manis
Mengiringi rembulanku bernyanyi dalam bahagia
Lantas berbagi senyum setenang jiwa
-
Saat itu ia melihat Alaric begitu pilu ditinggal keluarganya. Menangis menjerit-jerit memanggil kedua orang tua serta adiknya. Mengamuk menggaruk-garuk tanah menghentikan kegiatan pemakaman.
Semua orang yang melihatnya hanya mampu menangis pilu memperhatikan. Tak mampu berbuat apapun untuk sekedar menenangkannya. Hanya seorang wanita yang berusaha susah payah menenangkan. Mencoba mendekat dan memeluknya. Membisikkan kata-kata penyemangat yang menenangkan. Namun seberapa banyak kata itu diucapka, Alaric tetap menjerit meratapi kepergian orang tuanya.
Sophie sama sekali tak menyesal mengadopsi keponakannya sendiri. Siapa yang menyangka Alaric kecil yang dulu begitu anti terhadap orang lain kini mulai membuka diri padanya. Mulai mendekat dan mau berbagi dengannya walaupun sedikit.
Ia bukan tak menyadari putranya bahkan masih berkabung atas kepergian keluarganya meski telah sekian tahu. Ia tahu keluarga kandungnya tak akan pernah tergantikan, karna itu ia hanya berusaha maklum. Walaupun terkadang sengatan rasa iri masih hinggap. Mengapa almarhum kakaknya masih tetap menghuni hati dan fikiran Alaric yang kini telah menjadi putranya sementara lebih dari setengah hidupnya, Alaric hidup dengannya.
Karena itu begitu Alaric mendekati dan menceritakan pengalamannya dengan suka rela, sophie dengan senang hati mendengarkan. Meski tak seluruh cerita ia dapatkan dari putra keduanya yang terlalu pendiam, ia sudah menunjukan perubahan. Sophie hanya berusaha menikmati kebahagiaannya.
Sophie tak pernah merasa sedekat ini. ia tak pernah merasa mampu mendekati putra keduanya. Putra asuh yang tak lain adalah keponakannya. Ketika lagi-lagi menemukan secarik kertas kumal di sudut ruangan, ia hanya mampu tersenyum maklum.
Sophie bukan tak menyadarinya. Sejak awal ia tahu. Putranya yang pendiam mulai membuka diri. Mulai cekatan membenahi diri dan perasaannya. Dan ia tahu apa yang melatar belakanginya. Begitu telinganya mendengar dua putranya membicarakan gadis dengan bersungut-sungut, yakilah ia. Meskipun begitu, Alaric tak pernah menceritakannya secara langsung.
Ia meraih figura foto keluarga kakaknya yang sudah tiada. Foto itu masih lengkap, dan tak pernah pergi dari tempatnya. Ia menatap potret almarhum sang kakak dengan istri dan putra-putrinya yang tampak bahagia. Tersenyum simpul menatapnya.
'putramu sudah besar, kak. Ia bahkan sudah menjadi orang yang berguna bagi dunia'
Ia membereskan kamar itu seperti biasa. Meletakkan semua barang di tempat seharusnya. Alaric hanya cinta bersih, tidak dengan kerapihan. Dan lagi, ia menemukan kertas kumal di dekat tempat sampah. Mungkin tidak sampai masuk ke tempatnya saat kertas ini dibuang. Ini adalah kesekian kalinya.
Sophie membuka gumpalan kertas itu dan membacanya. Kata demi kata, ia merasakannya. Ia merasakan bagaimana perasaan putranya lewat tulisan ini. dan sampai saat ini, ia tak mampu membaca apa yang terjadi. Ia tahu putranya telah jatuh cinta. Mematahkan semua praduga konyol yang menuduh putranya memiliki gangguan seksual. Hanya saja, ia ta tahu apa yang terjadi dengan cintanya.
Kenapa setiap untaian kata yang ditemukan selalu menyiratkan kepedihan? Sedalam itukah luka yang didapatinya hingga kata demi kata yang tertulis bagai sembilu menghujam hati. Sophie bahkan merasakan sesak setiap kali ia membacannya. Lantas, apa yang terjadi dengan cinta yang putra? Siapa gadis kurang beruntung yang dicintai Alaric hingga ia nampak begitu lemah menggapainya?
'Siapakah rembulan mu, nak. Katakan pada mami'
Sophi menghembus nafas sesak. Ia bangkit berdiri, menyimpan kertas itu dalam saku lantas melangkah keluar setelah kamar itu rapi. Sophie tak pernah mau ikut campur dalam urusan putra-putranya. Tapi untuk kali ini, ia merasa perlu.