Bimbang.

512 16 0
                                    

Suasana sepi dan sejuk juga suara burung disini membuat aku lupa diri. Siapa aku? Dan berani-beraninya begitu dekat dengan dia yang sama sekali bukan milikku.
Tapi ia yang selalu membuat aku melakukannya. Kini aku menganggumi semua tentangnya, ia berjalan lambat didepanku melihat ke sekeliling, sesekali ia menoleh kebelakang.

Kali ini ia meraih tanganku sambil tersenyum dan menarik tubuhku untuk mendekat padanya. Beribu tanya kini ada di kepalaku, aku dan rinduku bagaikan debu yang selalu ada menghampirinya tanpa diundang.

“Lama banget jalannya, buruan deh..” Katanya sambil terus menggandeng tanganku.

Aku bukan anak kecil atau lanjut usia yang harus dituntun saat berjalan, aku adalah si buta yang tak dapat melihat hal lain selain dia.

Ia terus menarikku ke arah kantin, katanya ia mau menyusul Celine karna tak kembali sejak tadi. Kami sampai di kantin, aku segera duduk dan memperhatikan anak-anak yang sedang memainkan mainan di disekitar kantin, mereka duduk manis dan berkhayal dengan menggunakan mainannya.

Aku ingat dulu aku suka sekali berkhayal, tapi kali ini khayalanku sudah menjadinya nyata, lalu apalagi yang harus aku khayalkan. Anak kecil berambut coklat dan sedikit keriting, ya dia seorang bule memainkan boneka boneka burung yang disediakan disini warna matanya hampir sama dengan rambutnya.

“Ayooo lamunin apaan?” Aku terkejut merasakan sebuah benda dingin menyentuh pipiku.

Devi tersenyum ke arahku sambil menyodorkan minuman kaleng.

“Ah engga, itu anak bule nya lucu.” Jawabku, lalu menerima minuman kaleng itu.

“Lucuan mana sama aku?” Tanya Devi yang kemudian mencubit pipinya sendiri agar terlihat lucu.

“Anak bule lah uwuwu.” Kataku sambil terus memperhatikan anak kecil itu lagi.

“Tapi..” Balas Devi yang membuat aku melirik ke arahnya.

“Kamu sayangnya sama aku kan?” Lanjut Devi.

Lagi-lagi jantungku hampir copot, aku bingung harus menjawabnya apa. Aku ingin menjawab iya dengan lantang tapi hatiku selalu menciut di hadapannya. Belum aku menjawab, Devi pergi menghampiri anak kecil tadi dan mengajaknya berkenalan, anak kecil itu terlihat malu-malu tapi Devi terus membujuknya. Aku terus menatapnya dari tempatku. Mengagumi indahnya karya seni Tuhan dengan kearifan barat dan Indonesia dalam satu pemandangan.

--------------------------------------------------------

“Aku pengennya besok sama kamu terus..”

Hanya kalimat itu yang membuat aku memaksa Ilman untuk duduk di depan bersama dengan Pak Ridhwan.
Entah apa alasan yang dia sampaikan pada wali kelasnya & kak Angga hingga ia diizinkan untuk pindah bis besok.
Bahkan Kak Aya dan Bu Anita pun tidak keberatan, sepertinya Tuhan sedang mempercayakan aku untuk selalu disampingnya.

“Han, ini pertanda apa ya?” Tanyaku pada Behan

“Apaan?” Ia balik bertanya.

“Ini Devi pengen sama gua mulu.”

“Ya bagus lah dia nyaman sama lu, lu berdua kapan jadian masa kumpul kebo terus?”

“Ga berani gua han. Takut.”

“Takut apa lagi? Justru kelamaan malah diambil orang entar.” Katanya sambil menyisir rambutnya dan berkaca ke layar TV hotel
.
“Ya juga sih, tapi.”

“Jika tak dicoba tak akan tau, mumpung di Bali Zed tempat kelahiran dia. Bikin kenangan indah disini.”

Aku tak menjawab, Behan dan Ilham pamit keluar katanya sih mau dugem. Apa ga cape ya dugem tiap malem? Lagi lagi aku hanya berdua dengan Ilman di kamar ini, tapi ia fokus dengan laptopnya. Aku berjalan ke balkon kamar menghirup udara malam Bali yang terasa sedikit panas dan gerah sepertinya akan turun hujan. Beberapa murid berenang di kolam, ku lihat beberapa lampu kamarnya sudah mati.

Aku menatap ke langit, mencari secercah cahaya
di bawah langit yang mulai menangis ini bahuku terasa gemetar ketika aku mengingat keajaiban yang aku miliki saat ini, aku memohon dalam hati hentikanlah waktu yang mengalir perlahan.

Hati ku berdoa di sudut sini “Kuingin mengenal lebih lagi, setiap bagian dari dirinya. Kuingin rajutan cinta dan rindu ini tersampaikan padanua, itu saja harapanku.” Aku bertanya pada bintang-bintang apa aku pantas mengharapkannya?

Langit mulai menangis menjadi satu dan membasahi malam. Aku kembali masuk ke kamar, aku mengambil ponselku dan merebahkan tubuhku di kasur menatap ponselku. Menatap perempuan yang membuat aku jadi bimbang seperti ini dari layar ponsel ini, aku ingin menempatkan tubuhku di tatapan mata  yang lembut dan dalam itu. Perlahan mataku tertutup, dan tertidur.

------------------------------------------------------------

Aku terbangun karna suara ponselku. Ada telepon masuk dari nomor yang sudah menjadi langganan di ponselku.

Ibu, Ia menelponku pagi-pagi sekali sebelum ia berangkat kerja hanya untuk menanyakan kabarku, apa saja yang sudah ku lakukan, dan apa saja yang sudah aku dapatkan. Dengan sedikit malas karna masih mengantuk aku menjawab semua pertanyaan ibuku. Sepertinya Ibuku sudah rindu, padahal kalo aku di rumah pun kami jarang sekali bicara karna kesibukan masing-masing malah rasanya aku ingin berlama-lama di Bali, tiap detik yang ku lalui terasa lebih indah disini. Aku bermain ponsel setelah ditelpon oleh ibu berusaha mengumpulkan mood untuk bangun, kali ini karna telpon dari ibuku aku tidak telat bangun lagi.

Tapi aku baru tersadar saat kasurku terasa kosong. Loh, Behan kemana? Apa dia ga pulang semalam? Aku mencari riwayat obrolanku LINE ku dan Behan. Ternyata 12 pesan masuk. Aku membacanya satu persatu, ternyata aku tertidur lelap hingga tak terbangun saat Behan meminta untuk membukakan pintu. Ilman juga masih tak sadarkan diri. Aku segera mengabarinya kalau aku sudah bangun, silahkan kembali ke kamar. Sebelum menyimpan ponselku, aku menyempatkan mengirim pesan pada malaikat baikku. Loh, padahal dia bukan milikku tapi seenaknya saja aku menggunakan akhiran 'ku'.

“Haloooo, udah bangun? Mau sarapan bareng gak?”

Aku menunggu balasannya sambil bangun dari kasurku dan membuka gordain yang menjadi penutup pintu menuju balkon. Aku keluar menuju balkon, dan menghirup udara dunia luarku yang pertama pagi ini, tak lupa aku bersyukur karna masih diizinkan untuk bangun kembali pagi ini. Tak lama ponselku bergetar tanda pesan masuk.

Tumben udah bangun.
Hmm... Aku udah di lift turun ke restoran sama Celine, sini nyusul.

“Yaudah aku mandi dulu, biar ganteng. Mau ketemu kamu soalnya, hehe.” Balasku cepat. Sambil mengambil handuk aku langsung bergegas mandi.

Layaknya anak teladan. Devi dan Celine sudah duduk manis di restoran hotel padahal ini masih sepi sekali. Aku hanya sarapan dengan roti selai dan susu coklat hangat, ingin membuat bubur tapi harus menakar bumbu sendiri kalau keasinan kan bete.

Aku menghampiri Devi dan Celine yang sedang asik menyantap menu sarapannya.

“Hai cewe.” Sapaku.

“Zaidan semua cewe digenitin ya.” Jawab Celine.

Aku duduk di hadapan Celine tepat samping Devi.

“Sembarangan lin, kalo aku genit nama aku jadi Zaidan Rizky Firdaus Hehe.” Maksudku kapten basket genit itu.

“Siapa itu?” Tanya Celine.
Sepertinya aku tak perlu menjelaskannya lagi.

“Iri ya kamu kak Daffa gebetannya banyak.” Kata Devi.

Aku memikirkan jawabanku dulu sebentar, kali ini harus tepat sasaran.

“Ya engga lah, buat apalagi iri kalo udah ada kamu.” Jawabku sambil merobek roti selaiku.

“Pagi pagi gombal mau jadi Denny Cagur lu?” Suara yang sudah lumayan ku kenal dan selalu muncul di saat yang tidak tepat terdengar lagi. Siapa lagi? Kak Angga.

“Salah mulu dah guaaa..” Kataku sedikit kesal.

Kemudian ia mendekatkan badannya padaku dan berbisik.

“Ya jelas salah kalau gombal doang tapi kaga lu pacarin mah, keburu digondol orang..” Bisiknya. Kemudian ia pergi dan duduk di bangku lain.

Aku terdiam. Sudah berapa banyak orang yang bicara seperti itu. Dan semuanya hanya membuat aku semakin yakin akan keputusanku. Tapi hati kecilku selalu berkata, nanti dulu namun otakku berontak karna sudah tak tahan dengan hubungan tanpa status apalagi orang orang disekitar terus menekanku seakan semua ini begitu mudah untuk diungkapkan. Semoga Tuhan memberikan aku petunjuk kapan waktu yang tepat.

Mengagumimu Dari Jauh (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang