Senja Yang Tepat.

560 13 1
                                    

Devi adalah "Devi"

Aku adalah "Aku"

Kami sudah hidup tanpa saling mengenal, dengan sapaku waktu itu sekarang dia dan aku adalah "kita" sekarang. Belum belum ini masih aku dan dia.

Dengan suara yang agak rendah, dengan getaran hati, dengan kegembiraan saat aku berjalan ke arahnya lalu menyapanya dengan hati-hati dan sedikit ragu-ragu.
Setelah itu aku dan dia menyapa satu sama lain, cerita dimulai.

Dia bersamaku sekarang, dengan wajah penuh sukacita, selalu menatapku dengan mata indahnya yang sangat aku puja.
Bahkan saat aku sedang sendiri dan menyepi aku bisa melihatnya.
Aku mencoba memikirkan sesuatu yang lain, tapi kepalaku malah menjadi kosong
dan aku hanya bisa membayangkannya.

Ia sedari tadi duduk di sampingku, seorang anak IPS tersasar ke BIS kelas IPA, menatap keluar dan bercerita banyak hal padaku. Entah kenapa aku meraih tangannya menggengamnya merasakan jari jemarinya yang lebih kecil dari aku. Ia menatapku sebentar lalu memalingkan pandangannya lagi keluar. Kini aku hanya memandangi wajag sampingnya.

Berpeganglah padaku.
Hariku yang akan dipenuhi denganmu.
Kau akan menjadi hariku.
Setiap kali ia datang padaku
Aku akan merasa seperti seluruh dunia menjadi milikku.

Di pantai Pandawa, rasanya 3 tahun lalu aku kesini masih sangat sepi sekarang sudah ramai sekali. Karna sangat panas aku hanya duduk di kursi pantai dengan Ilman dan Vio. Kami ditinggalkan disini bertiga, tadi Devi minta ditemani untuk mencari teman lamanya tapi karna panas sekali aku menolak hehe. Akhirnya Athan menemaninya. Tapi ada seorang perempuan dengan wajah ala orang seberang dan rambut polwan datang menghampiriku.
“Eh temennya Devi ya?” Katanya menyapaku.
“Hooh.”
“Aku Ditha, temennya disiniii Devi nya kemana dari tadi nyariin..” Loh darimana dia tahu kalo aku temannya Devi?

“Kakak tau darimana aku temen nya Devi?” Aku sengaja memanggilnya Kakak karna ia terlihat lebih tua dariku.

“Kamu tuh Zaidan kan yang suka muncul di snapgram Devi?” Tanyanya.

Ohhh, dari socmednya ternyata.

“Hehehe iyaa..” Aku berkenalan dan berbincang dengannya layaknya orang pertama kali bertemu.

“Eh boleh ngobrol yang agak serius gak?” Tanyanya dengan wajah seriusnya juga.

“Emang kenapa?” Aku balik bertanya.

“Ini serius, sih tapi kayanya lebih enak ngobrol berdua aja..” Aku mengerti disini ada Vio dan Ilman mungkin memang hal serius yang harus ia sampaikan, aku mengikutinya..

-------------------------------------
“Bosen akutu kalo main ke Bali sebenernya..” Keluhnya.
“Tapi kan kali ini beda Dev. Sama temen-temen.” Jawabku.

Aku menemani Devi di Pantai Nusa Dua sore ini, sejak dari tadi pagi kami sudah pindah pindah pantai dari Tanjung Benoa, Pandawa, dan sekarang disini. Ia tak mau menonton pertunjukan Devdan, bosan katanya. Karna theaternya lumayan dekat dengan pantai Nusa Dua aku mengajaknya untuk keliling-keliling saja disekitar sini. Walau kelihatannya ia sudah bosan dengan suasana pantai seperti ini.

“Emang selama ini kalo ke Bali pernah jalan berdua sama aku? Belum pernah kan.” Sambungku.

“Ya belum sih, untungnya ada kamu. Bali jadi ga gitu gitu aja.”

“Ciegitu..” Jawabku.

“Kapan lagi ya bisa duduk di pantai gini berdua sama kamu, di Bogor gak ada pantai adanya tawuraann.” Sambung Devi sambil memainkan pasir pantai di kakinya.

“Dev..” Aku berusaha mengalihkan pembicaraanku.
“Yaa.”

“Aku ga pernah lupa, waktu pertama kali mau nyapa kamu berjuang memilih kata cuma buat nyapa kamu.”

“Aku juga..”

“Terus waktu itu kamu liat aku kaya apa?”

“Ya kaya Zaidan.”

“Waktu itu, kehadiran kamu itu jadi arti dan cerita baru buat aku..” Balasku.

Ia tak menjawab, ingin aku mengucapkan 1001 puji ku yang selama ini selalu ku tahan untuk aku sampaikan tapi aku sendiri malah tak sanggup saat mata indahnya menggambarkan diriku saat berkatanya padanya. Sudah banyak senja yang aku lalui bersamanya, namun kali ini adalah senja yang tepat. Sang Matahari yang mulai sembunyi, ombak yang semakin tinggi menghampiri daratan karna tertiup angin laut, anak-anak yang berlarian saling berkejaran satu sama lain, ibu yang menggendong anaknya, dan para bule yang berselancar menikmati jamuan ombak, langit yang lama kelamaan semakin oranye menjadi latar ceritaku kali ini.

“Dan aku juga jadi rajin bersyukur karna selalu dapat kesempatan buat bareng sama kamu terus, bahkan sampai hari ini.”

Ia masih tak menjawab, tatapannya malah membuat tubuhku sedikit bergetar. Aku mulai merasakan tanganku semakin dingin.

Ia yang setiap hari ku kagumi, tempat rinduku berujung. Ia selalu ada di benakku saat aku terbangun bahkan saat aku tertidur lagi, ia lah penghapus kenangan kelabuku. Bahkan saat hatiku resah, ia selalu membuatnya seakan cerah. Tiapku melihatnya aku selalu berharap seperti melihat bintang jatuh, dan seolah yakin harapanku menjadi nyata. Aku hanya bisa menyampaikan banyak kesanku dalam hati, aku tau ia tak akan merasakannya.

“Kamu selalu bisa buat aku merasa istimewa. Walau aku tau aku bukan siapa-siapa. Ya aku sayang banget sama kamu Dev.” Kataku dengan memelankan suara dibaris akhir kalimatku.

“Iyaa, kamu emang istimewa buat aku. Kamu datang, dan kasih hal yang sebelumnya ga pernah aku rasain..” Kali ini ia menjawab.

“Aku juga ngerasa seneng, nyaman, dan ga bisa jauh dari kamu Zaidann.” Sambungnya.

Kali gini giliranku yang diam. Kalimatnya membuatku tersenyum, detak jantung terasa semakin terdengar.

“Tapi...” Devi terhenti.
Cukup lama ia menatapku. Aku rasa ini terlalu serius hingga leherku sedikit agak pegal, aku berusaha mencairkan suasana dengan mengacak-ngacak poninya. Tapi ia menahan tanganku.

“Aku juga sebenernya gamau Zed bikin kamu kecewa. Tapi semakin aku nyaman sama kamu kayanya malah makin bikin kamu kecewa..” Baru kali ini aku melihat Devi serius.

“Loh kenapa?” Apa maksudnya kecewa, aku bahagia sama sekali tak kecewa.

Devi mengambil ponsel dari tas kecilnya. Aku menunggunya, dan mencoba mengartikan apa yang dimaksud dengan kecewa. Apa sesungguhnya dia seorang laki-laki atau apa?

Lalu ia menyodorkan ponselnya padaku. Aku melihat foto seorang lelaki, berfoto dengan Devi, Devi dengan seragam sekolahnya dan lelaki itu menggunakan jas dokter. Ini kan foto waktu penyuluhan gigi di sekolah beberapa bulan, lalu maksudnya apa?

“Maksudnya apa?” Tanyaku.
Devi diam sejenak.
“Kamu sakit gigi?” Tanyaku semakin tak mengerti.
Devi menggeleng, matanya sekarang seperti memohon padaku untuk tidak bertanya lagi. Tapi aku benar-benar tak mengerti apa maksudnya semua itu.

“Dia kak Jerry...”
“Aku sama dia udah jadian dua bulan lalu...” Lanjut Devi pelan dengan sorot mata penuh maaf.

Aku hanya bisa diam memandangi Devi, detak jantungku malah semakin melambat. Tanganku terasa lemas bahkan kepalaku menjadi berat. Sejatinya memang benar, Devi adalah pemilik hatiku yang hatinya tak pernah kumiliki. Aku kecewa benar, kenapa tak dari awal ia jujur. Kenapa ia membuat aku merasa sangat istimewa, kenapa tak sejak awal dia bilang kalau aku tak berhak untuk selalu di sampingnya. Pantas saja Kak Ditha bilang jangan terlalu serius dengan Devi. Ya, aku memang sudah dibutakan dengan segala rindu dan harapanku.

“Tapi Zed, setelah ini juga aku gamau kehilangan kamu. Aku emang jahat, tapi kalo aku sayang kamu juga gimana?” Tanyanya.

Aku berusaha menenangkan hatiku dulu sebelum menjawabnya, jangan sampai kalimat bodoh keluar dari mulutku ini.

Karenanya, mungkin aku menjadi hancur.
Aku ingin berhenti.
Semua yang ku rasakan seperti sebuah topeng. Menyembunyikan kebenaran yang sebenarnya akan lebih menyiksaku, menusukku tapi dialah segalanya untukku.
Saat ini aku tetap membutuhkannya meski rasanya sakit.

Akhirnya aku hanya mampu menunduk lemas, menahan pilu. Tapi aku dapat merasakan, tubuh Devi perlahan mendekap tubuhku aku ingin menolaknya tapi hangat yang aku terima malah membuatku semakin nyaman untuk berdiam dipeluknya. Langit senja dan pasir pantai yang menjadi saksinya, nafas Devi yang lembut terasa ditubuhku membuat aku tak menyesal karna telah mencintainya..

Mengagumimu Dari Jauh (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang