13. Breathe, Lily.

1.5K 25 0
                                    

"Ready?"

Lily mengangguk. Matanya menyiratkan rasa tidak yakin. Adik lelakinya sedang tidak ada di daerah sini. Mom dan Dad-nya sibuk di kantor. Pantaskah ia keluar tanpa izin, membawa Ele pula bersama Louis? 

Sebenarnya, Lily senang. Ia senang kalau Lou perhatian dengannya. Namun hanya senang sebatas teman. Lily juga berpikir kalau Lou perhatian kepadanya sebatas teman. Mereka juga tidak terikat hubungan. Jadi untuk apa Lily takut? Untuk apa Luke cemburu? 

Oh ayolah, Luke tidak akan cemburu. Palingan hanya over protektif! Lily mengeluh. Luke tidak akan pernah bisa membalas perasaannya. 

Lily melirik ke arah Ele. Gadis kecil itu hanya melihat ke arah jalan. 

Lily hanya bungkam. Louis sibuk menyetir. Ia memang tidak ingin mengganggu konsentrasi Louis. 

"Li," panggil Louis tiba-tiba. "Ngomong dong, setahu gue, lo itu bawel."

Iyakah ? Lily berpikir. Mungkin gue cuma bawel ke Luke aja. 

"Ehehe.. lo lagi nyetir, Lou. Gue takut malah kenapa-napa."

Hening. Dan hening itu yang berat.

flashback end.

***


"Lily demam?"  Louis berdecak. Kenapa? Apa karena kemarin dia pergi sama gue sampai sore? 

"Terlalu capek katanya, Kak. Abangnya bilang dia mungkin baru bisa masuk besok."

Luke Hemmings. Nama itu terbesit di benak Louis sesaat, setelah Fallen mengucapkan kata 'abang'. Rahang Louis tanpa sadar mengeras. 

Gue harus lakuin ini. 

"Oke, makasih ya, Len." Louis tersenyum. Lalu berbalik, berjalan pergi dari kelas Lily. Meninggalkan Fallen yang terheran-heran. Mengapa Ketua OSIS-nya pindah haluan? Bukankah Lou adalah cowok playboy yang bergaul dengan perempuan barbie macam Jelin? 


***


"Kenapa lo demam?" Luke bergumam sendiri. Namun Lily mendengarnya. 

"Gak tahu. Mungkin emang lagi gak enak badan aja." Lily menjawab dengan suara lemah. Ia membuka matanya yang sayu. "Apa kemarin malam gue bicara yang aneh?"

Luke terdiam. Jelas di otaknya, terbayang Lily yang menginginkan itu. Terbayang wajah Lily yang sedih, ucapan Lily, tangisannya. Dan mendadak, hati Luke perih.

"I love you Luke, tapi kita ini kakak beradik. Why?"  Teringiang-ngiang ucapan Lily di telinganya.

Luke mengenyahkan pikiran itu. Yang penting sekarang, Lily harus sembuh. Bukan waktunya untuk memikirkan perasaan.

Tapi sampai kapan harus ditahan? Jiwa mereka sama-sama menginginkan, rasa mereka sama-sama menyukai. Naasnya, mereka saudara sedarah. Biarpun mereka menganggap satu sama lain adalah teman, sahabat, kenyataannya mereka adalah kakak-beradik

Luke menggeleng setelah beberapa saat ia diam. "Enggak, lo langsung tidur."

"Syukurlah," jawab Lily sekaligus tersenyum. "Temenin boleh? Tapi jangan terlalu deket. Gue gak mau lo ketularan."

"Gue emang mau nemenin lo," jelas Luke. Ia duduk, menyeret kursi ke samping ranjang Lily sambil membawa gitar. "Mau gue nyanyiin?"

Lily mengangguk. "Vapor."

Luke menyanyi, sambil memainkan gitar. Lily memerhatikan. 

"Look in your eyes and know just what you miss. So lie to me, just lie to me."

Kenapa hati Lily tersayat, rasanya pedih. Tapi Lily tidak bisa menangis, seakan air matanya habis. 

Luke menatap Lily dengan tatapan aneh, tidak seperti biasanya. Lalu Lily tersenyum canggung. 

"Luke, rasanya cinta itu bagaimana? Perih ya?"

Luke terdiam, tak lama mengangguk. "Gak selalu."

"Gue gak ngerti persisnya ciri-ciri falling in love, but ...  Sekarang, hati gue perih, mau napas aja rasanya susah." Lily tertawa muram.

Luke hanya terdiam, menatap kakak-nya seakan bom atom telah meledak, roket telah diluncurkan dan hatinya remuk seakan ucapan tadi adalah berita kematian. 



***


5,3k got me like ahahahhaha thank u so much!
vommentsnya blh,, hehhe, maaci yaa.

Sexy. | l.h [edited]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang